PT Dirgantara Indonesia Mulai Jajaki Industri Pertahanan Udara
Dirut PT Dirgantara Indonesia Gita Amperiawan menyatakan, pihaknya siap menjajaki industri jet tempur tanpa meninggalkan pesawat transportasi. Pengembangan pesawat tempur KFX/IFX hingga Rafale jadi langkah awalnya.
PT Dirgantara Indonesia pernah menjadi contoh terwujudnya ekosistem industri pertahanan sejak BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi di masa pemerintahan Orde Baru. Hal ini tentu tidak lepas dari visi Presiden Soeharto yang dalam kondisi ekonomi Indonesia baru beranjak naik ingin bangsanya menguasai teknologi. Namun, pascakrisis 1998, PT Dirgantara Indonesia sempat terpuruk.
Walau masih jauh dari optimal, PT Dirgantara Indonesia terus mengembangkan diri. Salah satu yang dijajaki adalah industri pertahanan udara. Pada November mendatang, sebagai bagian dari holding industri pertahanan Defend Id, PT Dirgantara Indonesia juga akan mengambil bagian dalam ajang pameran Indo Defence 2022 di Jakarta, pada 2-5 November.
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Gita Amperiawan yang ditemui pada akhir September lalu pun menyampaikan, pihaknya kini tengah mengembangkan kapasitas untuk mewujudkan PT Dirgantara Indonesia sebagai industri pertahanan udara. Hal ini mengingat selama ini PT Dirgantara Indonesia fokus pada pengembangan pesawat transportasi.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Gita yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat:
Kompas: Apa saja pencapaian PT Dirgantara Indonesia dalam 10 tahun terakhir di sisi teknologi dan pemasaran, misalnya terkait sertifikasi produk?
Gita Amperiawan: Dari sisi teknologi, ada pengembangan pesawat N219 sampai diperolehnya Type Certificate (TC) pada 22 Desember 2020, dan (untuk pesawat) N-219 Amphibious. PT DI juga menjadi lead integrator (pengembangan pesawat nirawak) UAV MALE dan Rudal Nasional, serta lewat program (pengembangan jet tempur) KFX/IFX.
Dari sisi pemasaran, PT DI telah merakit dan melepas sebanyak 116 unit pesawat terbang dan helikopter di dalam negeri dan sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Nepal, Senegal, Brunei Darussalam, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Pakistan, Burkina Faso, dan Guinea.
Kompas: Ada berapa kontrak yang dicapai terakhir ini?
Gita Amperiawan: Belakang ini juga ada beberapa pencapaian, seperti kontrak modernisasi C130 senilai 150 juta dollar Amerika Serikat yang mendorong kemampuan PT DI dalam maintenance repair and overhaul (MRO). Juga ada beberapa kontrak baru, seperti pesawat NC212i untuk MOAC Thailand (kelompok 1 & 2). Di kuartal IV tahun 2022 ini PTDI akan menandatangani kontrak (pengadaan) 6 unit pesawat NC212i DND Philippines (Departemen Pertahanan Filipina), 10 unit N-219 dan 3 unit CN235 untuk TNI AD, serta 2 unit CN235 untuk TNI AL.
Kompas: Bagaimana rencana menjajaki industri pertahanan, terutama pesawat tempur ?
Gita Amperiawan: Produk PT DI sebagai industri pertahanan harus ada daya saing. Kami ingin masuk ke era manufaktur pesawat tempur. Namun, tentu tidak semudah itu membalikan telapak tangan. Oleh karena itu, kita perlu kerja sama, mulai perakitan sampai produksi komponen.
Langkah awal menuju ini adalah membangun kemampuan MRO dengan mendapatkan kesempatan untuk memelihara dan merawat pesawat tempur TNI Angkatan Udara. MRO yang telah dipersiapkan ini mulai dari pesawat tempur Rafale dari Perancis hingga pesawat tempur KFX/IFX dari kerja sama Indonesia-Korea Selatan.
Selain MRO, PT DI juga akan memaksimalkan imbal dagang kandungan lokal dan ofset (IDKLO) dalam perjanjian pembelian Rafale. Artinya, Indonesia bisa berkontribusi dalam membuat sejumlah komponen yang menjadi bagian dari pesawat tersebut sehingga mampu memasuki rantai pasok global (global supply chain).
Kompas: Apakah dengan fokus ke produk-produk pertahan, PT DI akan meninggalkan produksi pesawat ”transport”/penumpang?
Gita: Tidak. PT DI tetap akan mengembangkan pesawat yang mampu menjadi jembatan udara di Indonesia. Konektivitas dari daerah terpencil ini juga menjadi modal penting dalam pembangunan pertahanan. Alasannya, kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut menjadi hal yang penting agar mereka merasakan kehadiran negara dan pada akhirnya turut berkontribusi dalam mempertahankan wilayah. Untuk menjangkau lokasi itu, dibutuhkan pesawat yang bisa memanfaatkan rute-rute perintis.
Untuk itu dibutuhkan pesawat-pesawat perintis yang bisa mendarat di landasan tidak beraspal dan minim fasilitas serta mempunyai kemampuan manuver tinggi karena harus bisa melintasi peggunungan tinggi dan curam. Kemampuan penerbangan perintis ini menjadi jembatan udara, apalagi untuk daerah yang tidak bisa dipaksakan dengan jalur darat ataupun laut.
Kompas: Bagaimana strategi PT DI untuk masuk ke dalam rantai pasok global?
Gita Amperiawan: Saat ini PT DI sudah menjadi global supply chaintier (rantai pasok global tingkat) satu untuk produk militer. Tier dua untuk produk komersial dari OEM (original equipment manufacturer/produsen peralatan asli) kelas dunia, seperti Bell Helicopters, Airbus, Boeing, dan Lockheed Martin. Ke depannya, PTDI menargetkan menjadi tier satu untuk produk komersial dari OEM kelas dunia, dengan meningkatkan kontribusi dari industri dalam negeri dan memegang peran sebagai lokomotif untuk mendorong pengembangan ekosistem nasional.
Adapun untuk mencapai target tersebut, secara paralel PTDI juga sudah memulai transformasi bisnis aerostructure dan menandatangani kerja sama peningkatan bisnis aerostructure dengan Airbus untuk mencapai value bisnis sebesar 500 juta dollar AS dalam waktu 10 tahun ke depan.
Kompas: Bagaimana strategi untuk pengembangan sumber daya manusia di PT DI?
Gita Amperiawan: Saat ini jumlah karyawan PT DI ada 3.612 orang. Proporsi karyawan yang S-2 hingga S-3 berjumlah 4,35 persen, sementara yang lulusan SLTA 46,46 persen. Dari sisi usia, saat ini karyawan yang berusia kurang dari 35 tahun berjumlah 50,19 persen. Segmen yang di atas 55 tahun ada 22,29 persen.
Peningkatan kapasitas jadi prioritas. Tahun 2022 ini, target rekrutmen ada 100 orang. Adapun beberapa upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) dilakukan dengan membuat key performance indicator (indikator kinerja utama) individual mulai November 2022, career path (jalur karier) yang jelas, dan management development program.
Kompas: Ada kerja sama dengan pihak lain untuk meningkatkan SDM?
Gita Amperiawan: Iya, terutama dengan ToT (training of trainer/pelatihan bagi pelatih) untuk pesawat tempur KFX/IFX, para kaum milenial ka miikut sertakan. Para karyawan yang muda juga didorong untuk ambil beasiswa. Kami membangun jaringan dari perguruan tinggi hingga memperkuat kerja sama global agar SDM di sini bisa belajar, baik itu transfer teknologi maupun lainnya. Pengembangan SDM itu penting, tetapi perusahaan harus kreatif karena untuk mengandalkan dari perusahaan, itu tidak akan cukup.
Kompas: Perkembangan ToT KFX/IFX itu seperti apa?
Gita Amperiawan: Fase engineering dan manufacture berlangsung tahun 2016 hingga 2026. Sekarang, kami ada 37 personel PT DI dan dua tes pilot TNI AU di Korea. Aktivitas ToT meliputi observasi, diskusi, partisipasi dalam briefing, training, simulator, pengolahan data, dan operasi manufaktur.
Ada beberapa kendala yang kami temui, seperti pembatasan untuk bidang integrasi senjata. Sebab, terkait export license, pembatasan teknologi khas pesawat tempur oleh Technology Source Nation (TSN), terutama dari Amerika Serikat, ini perlu peran pemerintah yang aktif mendekati TSN. Kendala lain, dokumen dan briefing dalam bahasa Korea.