Pemerintah Dinilai Melanggengkan Malaadministrasi dalam Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Ombudsman RI menilai, pemerintah melanggengkan malaadministrasi karena terus mengangkat penjabat kepala daerah dengan mengabaikan tindakan korektif yang diminta Ombudsman dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik tiga penjabat kepala daerah untuk DKI Jakarta, Kepulauan Yapen, dan Kabupaten Tolikara, di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (17/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pengangkatan penjabat kepala daerah yang terus dilakukan pemerintah dinilai melanggengkan malaadministrasi. Tak hanya itu, banyak aturan lama yang dijadikan landasan pengangkatan penjabat, yang tak lagi sejalan dengan kebutuhan hukum saat ini.
Pada Senin (17/10/2022), tiga penjabat kepala daerah dilantik di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. Ketiga penjabat dimaksud ialah Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, Penjabat Bupati Kepulauan Yapen Cyfrianus Y Mambay, serta Penjabat Bupati Tolikara Marthen Kogoya. Pengangkatan penjabat ini menyusul berakhirnya masa jabatan kepala/wakil kepala daerah sebelum digelarnya pemilihan kepala daerah serentak nasional 2024. Tahun ini, total ada 101 kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, persisnya sejak Mei lalu.
Pengangkatan penjabat ini terus berlangsung meski pada akhir April lalu Mahkamah Konstitusi meminta pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana pengisian penjabat kepala daerah yang terbuka, transparan, dan akuntabel. Kemudian pada Juli lalu, Ombudsman merilis temuan sejumlah malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat. Salah satunya, pemerintah dinilai mengabaikan kewajiban hukum terhadap putusan MK yang menetapkan perlu adanya peraturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah.
Namun, hingga kini, peraturan pelaksana yang diminta dalam bentuk peraturan pemerintah tak kunjung ada.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, Selasa (18/10/2022), terus berlanjutnya pengangkatan penjabat dengan mengabaikan tindakan korektif yang diminta ORI dan putusan MK menunjukkan pemerintah terus melanggengkan malaadministrasi. Proses pengangkatan penjabat tetap tidak transparan, tak akuntabel, dan tak melibatkan publik. Konflik kepentingan pun rentan terjadi.
”Jangan sampai kemudian praktik (yang) membiasakan pelanggaran atau praktik malaadministrasi seperti ini diawetkan,” ujar Robert.
Presiden seharusnya mengingatkan Mendagri bahwa pengangkatan penjabat seharusnya peraturan perundang-undangan yang memadai. Banyak aturan lama yang digunakan, yang sebenarnya sudah tak sejalan dengan kebutuhan hukum saat ini. Hal tersebut yang ingin didorong oleh ORI.
Aturan yang dinilai sudah usang itu seperti peraturan pemerintah (PP) yang mengatur soal pengangkatan penjabat, yakni PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta PP No 49/2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala/Wakil Kepala Daerah. PP ini keluar sebelum Undang-Undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga lingkup kewenangan penjabat kepala daerah masih sangat terbatas.
Aturan lama tersebut, lanjut Robert, hanya dipakai untuk pengangkatan penjabat kepala daerah sementara. Mereka hanya bertugas 1-3 bulan dalam masa kampanye pilkada, sedangkan durasi penugasan penjabat kepala daerah saat ini mencapai 2,5 tahun. Dengan demikian, pemakaiannya pun berbeda.
Robert pun mengingatkan pentingnya adab hubungan antar-kelembagaan. Pentingnya pihak pemerintah juga memperhatikan produk dan lembaga lain. ORI terus berupaya memberikan laporan hasil pemeriksaan atau rekomendasi kepada presiden sebagai wujud produk hukum berdasarkan UU No 37/2008 tentang Ombudsman RI dan UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan berkukuh bahwa proses pengangkatan penjabat telah selaras dengan yang diinginkan putusan MK. Proses diklaimnya telah transparan dan akuntabel. Prinsip itu pula yang dituangkan dalam rancangan peraturan Mendagri yang mengatur soal mekanisme pengusulan calon penjabat kepala daerah.
Meski rancangan peraturan ini belum disahkan, proses pengangkatan penjabat kepala daerah diklaimnya sudah mengikuti substansi dalam rancangan aturan. Di dalamnya juga tertuang mekanisme evaluasi dan pembinaan. Tujuan penyusunannya guna menciptakan proses penunjukan kepala daerah yang lebih demokratis, lebih transparan, dan lebih akuntabel.
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan
”Meskipun itu (permendagri) belum ditetapkan, sebenarnya substansi-substansi yang ada dalam permendagri itu sudah mulai kita terapkan,” ujarnya.
Sebagai contoh, pengusulan penjabat gubernur Aceh dan DKI Jakarta turut melibatkan DPRD kedua provinsi. Kemudian Kemendagri melakukan pemeriksaan latar belakang pada tiap calon yang diusulkan guna dibahas dalam sidang pembahasan akhir.
Selain keterlibatan DPRD, ada pula pembahasan awal yang melibatkan pejabat eselon I dengan kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan sejumlah hal, seperti pengecekan latar belakang, verifikasi, dan evaluasi. Setelah itu akan diikuti pembahasan akhir bersama presiden, menteri, dan pimpinan lembaga terkait.
”Di forum itulah ajang transparansinya, ajang akuntabilitasnya, karena tidak diputuskan satu orang. Diputuskanlah di situ,” kata Benni.
Sebanyak lima penjabat gubernur yang dilantik Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022).
Penerapan substansi permendagri ini mulai dilakukan sejak Juli lalu. Saat itu, pelantikan penjabat kepala daerah memasuki gelombang kedua.
Benni menambahkan, pengesahan rancangan permendagri tak akan memakan waktu lama jika seluruh kementerian/lembaga telah menyepakatinya. Ia menjanjikan peraturan tersebut akan disahkan pada tahun ini.