Belum Sempat Nikmati Hasil Korupsi, Terdakwa Kasus Korupsi KTP Elektronik Dituntut 5 Tahun Penjara
Dua terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik 2011-2012 yang rugikan negara Rp 2,3 triliun Husni Fahmi dan Isnu Edhy Wijaya dituntut pidana selama lima tahun. Keduanya akan susul delapan terpidana sebelumnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Dua terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik, bekas Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Husni Fahmi dan bekas Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhy Wijaya mengikuti sidang tuntutan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (17/10/2022). Mereka dituntut pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp 300 juta subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan.
JAKARTA, KOMPAS — Dua terdakwa bekas Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Husni Fahmi dan bekas Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhy Wijaya dituntut pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp 300 juta subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan. Mereka diduga menyalahgunakan wewenang dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik 2011-2012 yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Tuntutan tersebut dibacakan jaksa Surya Dharma Tanjung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (17/10/2022). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yusuf Pranowo dan dihadiri kedua terdakwa dengan didampingi penasihat hukumnya.
Dalam pertimbangan jaksa, kedua terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Rangkaian perbuatan kedua terdakwa juga telah menyebabkan kerugian negara yang besar.
Surya mengungkapkan, salah satu hal yang meringankan Husni adalah telah mengembalikan seluruh uang hasil korupsi yang diperolehnya sebesar 20.000 dollar AS. Sementara itu, Isnu belum sempat menikmati hasil korupsi yang diduga dilakukannya.
”Salah satu hal yang meringankan Husni adalah telah mengembalikan seluruh uang hasil korupsi yang diperolehnya sebesar 20.000 dollar AS. Sementara itu, Isnu belum sempat menikmati hasil korupsi yang diduga dilakukannya .”
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Isnu Edhi Wijaya memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Markus Nari, mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan ktp elektronik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (11/9/2019). Setelah pekan lalu eksepsi yang diajukan Markus Nari ditolak majelis hakim sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi.
”Terdakwa II, Isnu Edhi Wijaya, belum sempat menikmati hasil korupsi hasil keuntungan atas proyek e-KTP karena uang yang berada di rekening Manajemen Bersama sudah disita KPK,” kata Surya.
Ia menjelaskan, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Husni mempunyai kedudukan sebagai ketua tim teknis proyek pengadaan penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-el) tahun anggaran 2011-2013. Husni memiliki tugas dan fungsi antara lain membantu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam penyusunan spesifikasi teknis terhadap pengadaan barang dan jasa yang akan dilakukan pengadaannya oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sementara itu, Isnu memiliki kedudukan sebagai Direktur Utama Perum PNRI. Terkait dengan proyek pengadaan KTP elektronik, Konsorsium PNRI sebagai pemenang tender bertindak sebagai pelaksana pekerjaan. Isnu yang berkedudukan sebagai ketua konsorsium menandatangani kontrak pekerjaan dengan bekas Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto selaku PPK.
Surya mengungkapkan, Husni dan Isnu memiliki keterkaitan erat dengan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan bekas Direktur Jenderal DukcapilKemendagri Irman dan Sugiharto.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Husni Fahmi (Ketua Tim Lelang) memberikan keterangan ke majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (17/4). Husni Fahmi merupakan salah satu saksi dari enam saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum KPK dalam kasus dugaan korupsi KTP-el dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Punya relasi kuat
Selain itu, kata Surya, Husni dan Isnu sesuai peran serta tugas masing-masing dalam pengadaan KTP elektronik memiliki hubungan yang erat dan berkorelasi dengan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong yang memiliki kepentingan terhadap pengadaan KTP elektronik. Andi disebut memiliki kepentingan terhadap pengadaan KTP elektronik dan mempunyai kedekatan dengan beberapa pejabat publik dari Kemendagri maupun DPR.
”Oleh karena itu terdakwa I (Husni) dan terdakwa II (Isnu) dan Andi Agustinus alias Andi Narogong secara bersama-sama telah ikut menyalahgunakan wewenang yang melekat pada Irman dan Sugiharto yang notabene adalah para pejabat publik tersebut karena jabatannya. ”
Husni dan Isnu merupakan kepanjangan tangan dari Irman dan Sugiharto ketika melakukan rangkaian perbuatan menyalahgunakan wewenang. Perbuatan tersebut antara lain mengintervensi proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa penerapan KTP elektronik berbasis NIK secara nasional pada 2011-2012.
”Oleh karena itu, terdakwa I (Husni) dan terdakwa II (Isnu) dan Andi Agustinus alias Andi Narogong secara bersama-sama telah ikut menyalahgunakan wewenang yang melekat pada Irman dan Sugiharto yang notabene adalah para pejabat publik tersebut karena jabatannya,” kata Surya.
Dalam kasus ini, delapan orang sudah dipidana. Diantaranya, Irman, Sugiharto, Ketua DPR Setya Novanto, dan Andi.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Setya Novanto.
Seusai jaksa membacakan tuntutannya, hakim Yusuf memberikan kesempatan kepada kedua terdakwa untuk mengajukan pembelaan. Husni memilih mengajukan pleidoi sendiri dan melalui penasihat hukumnya. Sementara itu, Isnu menyerahkan kepada penasihat hukumnya untuk mengajukan pleidoi.