Selaraskan Strategi Pertahanan dengan Tantangan Geopolitik
Tantangan geopolitik mewujud di antaranya dalam bentuk ancaman perang asimetris, perang siber, dan perang proksi. Meski demikian, kesiapan alutsista tetap harus diperhatikan.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perang konvensional dianggap bukan menjadi tantangan Tentara Nasional Indonesia atau TNI saat ini. Namun, kesiapan terhadap alat utama sistem persenjataan atau alutsista tetap harus diperhatikan.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna mengatakan, harus ada penyesuaian kebijakan strategi pertahanan yang menyesuaikan dengan tantangan geopolitik regional ataupun global.
”Kebijakan strategis pertahanan harus fokus pada tantangan dan ancaman perang saat ini, yaitu asimetris war, cyber war, dan proxy war,” kata Agus secara daring dalam acara diskusi menyambut Hari Ulang Tahun Ke-77 TNI yang jatuh pada 5 Oktober 2022, dengan tajuk ”TNI adalah Kita”, di Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jakarta Pusat, Minggu (9/10/2022).
Selain Agus, hadir pula sebagai pembicara, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto; pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie; mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal (Purn) Ganip Warsito; Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto; dan mantan Deputi Bidang Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Laksamana Muda (Purn) Yuhastihar.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, lanjut Agus, TNI harus mempertahankan konsolidasi ataupun soliditas ketiga matra TNI, yakni TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), dan TNI Angkatan Udara (AU). Ketiga matra tersebut tidak ada yang boleh menonjol secara sektoral.
Kurikulum pendidikan TNI di berbagai lini dan tingkatan juga harus dievaluasi dengan mempertimbangkan ancaman dan tantangan. Selain itu, TNI harus disterilkan dari kepentingan politik praktis. ”Memang TNI harus tahu politik, tapi jangan selalu membawa ke dalam politik praktis,” kata Agus.
Kapasitas sumber daya manusia prajurit TNI pun harus diperhatikan secara obyektif dan profesional serta dilihat dari pengalaman penugasan. TNI harus melakukan penguatan di bidang informasi teknologi, siber, hingga artificial intelligence, tetapi tidak lupa dengan alutsista konvensional.
Terkait alutsista, strategi anggaran pemeliharaan perlu dipertimbangkan. ”Jangan kita hanya membeli alutsista, tapi kita tidak tahu kekuatan dan kemampuannya untuk menghadapi ancaman masa kini dan masa mendatang,” ucap Agus.
Yuhastihar melihat ancaman yang harus diantisipasi TNI saat ini bukan ancaman militer saja. Meski begitu, TNI tidak bisa berbuat apa pun jika kemampuan pertahanan tidak direncanakan. Perencanaan itu tidak hanya dilakukan TNI, tetapi juga seluruh komponen bangsa.
”Pada masa damai ini adalah kesempatan kita mempersiapkan TNI menghadapi berbagai bentuk ancaman itu. Karena tidak bisa ujug-ujug dalam waktu sebulan dua bulan, satu tahun dua tahun, kita menyiapkan kemampuan TNI,” kata Yuhastihar.
Terlebih kuat lemahnya TNI dinilainya berpengaruh pada kekuatan diplomasi negara saat berhadapan dengan negara lain. ”Jadi, kalau TNI kita lemah, itu juga akan melemahkan diplomasi kita terhadap negara-negara lain,” ucapnya.
Yuhastihar tidak memungkiri kemampuan anggaran di sektor pertahanan terbatas. Namun, ia berharap, pemerintah bisa mengatasi ini. Industri swasta di Indonesia, misalnya, dapat ikut didorong untuk membangun dan memikirkan kebutuhan alutsista TNI agar ketergantungan terhadap pihak luar semakin berkurang.
”Ketergantungan kita pada tahun 2015-2019, 65 persen belanja (alutsista) itu dibelanjakan keluar. Kenapa kita tidak belanjakan di dalam (negeri) seoptimal mungkin? Itu juga bisa membangkitkan ekonomi kita,” ucap Yuhastihar.
Utut Adianto mengatakan, alokasi anggaran pertahanan saat ini Rp 134 triliun, di mana TNI AD mendapat Rp 55 triliun, TNI AL 24 triliun, dan TNI AU 19 triliun. Menurut Utut, angka tersebut masih jauh dari cukup. ”Apakah ini cukup? Jauh. Idealnya paling enggak jika dibandingkan negara seperti Singapura, kita idealnya kali dua atau kali tiga,” kata Utut.
Utut menyampaikan, perang konvensional memang sudah tidak ada. Tetapi, ketika Rusia menginvasi Ukraina sejak Februari 2022, potensi perang sangat rentan terjadi di Indonesia. Belum lagi, alutsista TNI belum memadai.
Soal anggaran, Komisi I DPR sudah mendorong kepada pemerintah. Namun, belum ada kesepakatan mengenai akan adanya perang konvensional atau tidak. Pemerintah, kata Utut, lebih mengefektifkan anggaran untuk infrastruktur dan kesejahteraan rakyat.
”Kalau ini sepakat, tentu akan beli alat-alat, pasukannya dilatih lebih top lagi dan sebagainya,” ucap Utut.
Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, tidak mudah membuat visi pertahanan. Menilik perang Rusia dan Ukraina, ia menilai peristiwa itu berdampak bagi Indonesia. Connie berpandangan, Indonesia harus menjadi kekuatan poros maritim dan dirgantara.
”Dampak perang itu akan parah. Misalnya kepada logistik, kepada inflasi, kepada bagaimana pergerakan barang. Anggaran pertahanan itu investasi asal kita tahu investasinya dalam bentuk apa,” ujar Connie.
Hasto Kristiyanto berujar, TNI memiliki peran yang sangat penting. Ia mengungkit kekuatan TNI yang disegani dunia internasional saat era kepemimpinan Presiden Soekarno. Menurut Hasto, sektor pertahanan Indonesia harus terus dibangun.
”Kita adalah negara besar. Seharusnya kekuatan angkatan perang kita bangun sehingga tidak mudah dikerdilkan oleh negara-negara tetangga kita,” ujar Hasto.