Ombudsman RI menilai Mendagri belum sepenuhnya menjalankan tindakan korektif sesuai masukan ORI terkait pengangkatan penjabat kepala daerah. ORI akan mengirim rekomendasi ke Presiden dan DPR.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, memberikan paparan saat diskusi publik bertajuk "Penjabat Kepala Daerah: Kebijakan Pengangkatan dan Implikasi bagi Tata Kelola Pemda", yang diselenggarakan di Kantor ORI, Jakarta, Kamis (6/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Rekomendasi Ombudsman RI kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat terkait pengaduan pengangkatan penjabat kepala daerah segera dikirim bulan ini. Rekomendasi akan dikeluarkan karena Ombudsman menganggap Menteri Dalam Negeri tidak komprehensif menjalankan tindakan koreksi perbaikan malaadministrasi, terutama pembuatan produk hukum berupa peraturan pemerintah.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Robert Na Endi Jaweng, di Kantor ORI, Jakarta, Kamis (6/10/2022), mengatakan, pihaknya terus melanjutkan proses kerja terkait pengaduan sejumlah organisasi masyarakat tentang pengangkatan penjabat kepala daerah. Setelah menindaklanjuti laporan pengaduan, memeriksa berbagai pihak, hingga mengeluarkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP), kini Ombudsman tengah memasuki proses resolusi dan pemantauan.
”Karena tenggat melakukan tindakan koreksi sudah selesai, maka sesuai tata cara akan masuk ke proses selanjutnya, yakni resolusi dan monitoring. Produk akhir berupa rekomendasi akan ditujukan ke atasan terlapor, yakni Presiden, juga ke Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Robert saat diskusi publik bertajuk ”Penjabat Kepala Daerah: Kebijakan Pengangkatan dan Implikasi bagi Tata Kelola Pemda”.
Dalam diskusi tersebut, ORI turut mengundang Kantor Staf Presiden yang diwakili Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM, Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungkas serta Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Khalilul Hairi.
Karena tenggat waktu melakukan tindakan koreksi sudah selesai, maka sesuai tata cara akan masuk ke proses selanjutnya yakni resolusi dan monitoring. Produk akhir berupa rekomendasi akan ditujukan ke atasan terlapor yakni Presiden juga ke Dewan Perwakilan Rakyat.
"Kami mengundang KSP untuk sounding awal ada isu ini. Soal respons dari KSP soal lain, karena kami menyampaikan dulu rencana untuk memberikan rekomendasi ke Presiden," kata Robert.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berfoto bersama lima penjabat gubernur seusai pelantikan di Kantor Kementrian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022).
Pada pertengahan Juli 2022, ORI merilis LAHP terkait pengaduan soal pengangkatan penjabat kepala daerah. Di dalamnya, ORI memaparkan temuan malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat. Untuk itu, ORI meminta Mendagri melaksanakan tiga tindakan koreksi.
Pertama, menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak pelapor. Kedua, meninjau kembali pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif. Terakhir, menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah terkait proses pengangkatan, luang lingkup, kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian kepala daerah. LAHP ini telah diserahkan ke Mendagri pada 19 Juli dan diberikan tenggat 30 hari kerja untuk melaksanakan tindakan koreksi.
Namun, hingga tenggat waktu terlampaui, kata Robert, Mendagri hanya melaksanakan tindakan korektif yang pertama. Sedangkan dua tindakan koreksi lainnya tidak dijalankan oleh Mendagri. Bahkan Peraturan Mendagri yang akan mereka buat, meskipun bukan berupa peraturan pemerintah, hingga saat ini belum diterbitkan.
"Kami tidak melihat ada tindakan yang signifikan dari Mendagri, karena bagi kami yang paling penting adalah tindakan korektif ketiga terkait penyusunan regulasi berupa Peraturan Pemerintah"
"Kami tidak melihat ada tindakan yang signifikan dari Mendagri, karena bagi kami yang paling penting adalah tindakan korektif ketiga terkait penyusunan regulasi berupa peraturan pemerintah," kata Robert.
Rekomendasi tersebut, lanjutnya, saat ini sedang disusun dan ditargetkan bisa diberikan ke Presiden dan DPR pada bulan ini. Sebab rekomendasi tersebut diharapkan bisa relevan dengan kalender pemerintahan daerah terutama bisa dilaksanakan sebelum pengangkatan penjabat kepala daerah pada Oktober ini. Sebab di bulan ini akan ada 11 kepala daerah yang masa jabatannya habis.
"Bentuk rekomendasi bermacam-macam, antara lain koreksi kebijakan, menyusun kebijakan baru, ataupun penjatuhan sanksi. Untuk kasus ini saya belum tahu arahnya karena masih di tahap awal," ujar Robert.
Bentuk rekomendasi bermacam-macam, antara lain koreksi kebijakan, menyusun kebijakan baru, ataupun penjatuhan sanksi. Untuk kasus ini saya belum tahu arahnya karena masih di tahap awal (Robert Na Endi Jaweng).
Sigit, mengakui, berbagai regulasi yang digunakan untuk penunjukan penjabat kepala daerah memang sudah tidak relevan. Oleh sebab itu perlu konsolidasi dan penyempurnaan yang bisa digunakan sebagai satu pedoman pokok penunjukan penjabat kepala daerah agar tidak ada interpretasi yang beragam sehingga menimbulkan kegaduhan.
"Sejauh ini yang berprores regulasinya berupa Permendagri. Tadi ORI mengusulkan berupa peraturan pemerintah, nanti kami pertimbangkan sebagai masukan kepada Presiden tentang isu ini, level pengaturan penunjukan penjabat kepala daerah apakah Permendagri atau PP," ujarnya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan HAM, Kantor Staf Presiden Sigit Pamungkas.
Sigit mengatakan, pihaknya akan mengkaji bentuk hukum penunjukan kepala daerah. Sebab Mahkamah Konstitusi tidak menyebut secara spesifik bentuk regulasi aturan turunan yang harus dibuat oleh pemerintah. Oleh sebab itu, ada fleksibilitas dalam menerjemahkan pertimbangan MK tersebut.
Sekalipun dibentuk Permendagri, lanjutnya, aturan itu hanya akan mengatur mengenai teknis untuk mendapatkan penjabat kepala daerah dan tidak mengatur kewenangan Presiden dalam mengangkat penjabat kepala daerah karena hal tersebut merupakan mandat Undang-Undang Pilkada. Permendagri itu pun dibuat dengan mengonsolidasikan beberapa kementerian/lembaga sehingga tidak hanya dibuat oleh Kemendagri saja.
"Perintah untuk membuat PP mengenai penjabat kepala daerah ada di UU Pemda, sedangkan putusan MK terkait dengan UU Pilkada. Jadi harus dikaji dengan baik, apakah bentuknya Permendagri atau PP," kata Sigit.
Khalilul menilai, produk hukum yang tepat dalam pengangkatan penjabat kepala daerah adalah Peraturan Pemerintah. Sebab Permendagri dinilai tidak tepat untuk mengatur Presiden yang juga menjalankan kewenangan pengangkatan penjabat kepala daerah. "Peraturan presiden memang cukup lama prosesnya, tetapi kalau ada perhatian dari Presiden bisa cepat selesai," ucapnya.