Tim Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan Harus Fokus terhadap Korban
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta diharapkan tidak sekadar mendalami insiden kerusuhan Tragedi Kanjuruhan. Perspektif korban harus diutamakan guna menemukan rangkaian peristiwa yang sebenarnya.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF Tragedi Kanjuruhan resmi bekerja sejak Selasa (4/10/2022) seusai Presiden Joko Widodo menerbitkan keputusan presiden. Tim tersebut diharapkan tidak hanya mendalami insiden, tetapi juga memiliki perspektif terhadap korban.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, pengusutan seluruh peristiwa itu harus bertujuan mencari keadilan bagi korban.
Para keluarga korban harus dilibatkan dengan meminta berbagai perspektif dari mereka. Jika tidak, sulit bagi TGIPF menemukan rangkaian peristiwa yang sebenarnya.
”Harapannya, TGIPF ini tidak hanya bicara soal insiden. Kalau cuma bicara insiden, siapa yang masuk lapangan, siapa yang pukul, siapa yang tendang, kemudian pintu berapa yang terbuka, saya pikir tidak perlu membentuk tim di bawah level kekuasaan nasional,” kata Julius dalam konferensi pers daring Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Rabu (5/10/2022).
Harapannya, TGIPF ini tidak hanya bicara soal insiden. Kalau cuma bicara insiden, siapa yang masuk lapangan, siapa yang pukul, siapa yang tendang, kemudian pintu berapa yang terbuka, saya pikir tidak perlu membentuk tim di bawah level kekuasaan nasional.
Sebagaimana dilaporkan, kerusuhan yang berbuntut pembubaran massa menggunakan gas air mata oleh aparat di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu pekan lalu, membawa korban meninggal 125 orang. Tragedi ini terjadi seusai laga Liga 1 Indonesia antara Arema FC dan Persebaya Surabaya.
Menurut Julius, mengusut kasus tersebut cukup mudah lantaran banyak bukti berupa video yang beredar di media sosial. Investigasi TGIPF diharapkan tidak hanya sekadar mendalami insiden kerusuhan. Julius juga mendesak negara bertanggung jawab kepada korban. Ini karena tragedi tersebut menimbulkan dampak bagi korban, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun kultural dan sebagainya.
”Makanya, saya katakan dari awal, perspektif korban yang harus dikedepankan oleh TGIPF itu. Jangan justru TGIPF datang ke rumah sakit minta data, datang ke polisi minta data, datang ke klinik minta data. Ya, ini hanya kayak pengepul data biasa,” ujarnya.
Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengatakan, munculnya ratusan korban dalam Tragedi Kanjuruhan menunjukkan ada unsur pembunuhan dan penyiksaan. Ia berharap TGIPF menyelidiki hal itu secara terbuka dan independen.
”Tugas tim penyelidikan ini harus independen, bukan hanya sebatas menyelidiki di level etik, tapi di level pidana. Penting sekali karena ini sebenarnya yang diharapkan publik untuk menjawab keadilan untuk korban dan keluarga,” ucap Nurina.
Tugas tim penyelidikan ini harus independen, bukan hanya sebatas menyelidiki di level etik, tapi di level pidana. Penting sekali karena ini sebenarnya yang diharapkan publik untuk menjawab keadilan untuk korban dan keluarga.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya mengatakan, TGIPF akan menyimpulkan masalah tersebut paling lama satu bulan ke depan. Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, tim pencari fakta akan melihat langsung lokasi kerusuhan serta memintai keterangan dari sejumlah saksi.
Tim pencari fakta juga akan mengumpulkan data dan fakta serta keterangan dari sejumlah lembaga, seperti Polri dan FIFA. Selain itu, juga mempelajari sejumlah peraturan perundang-undangan.
Target
Dihubungi terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyampaikan, TGIPF bisa lebih cepat mengusut tragedi tersebut. Bukti-bukti, saksi-saksi, dan informasi dari pihak terkait sudah sangat jelas dan mudah diakses.
”Dalam waktu 10-14 hari dari pembentukan sudah cukup, tinggal tujuh hari berikutnya membuat analisis, kesimpulan, dan rekomendasi pada Presiden,” kata Bambang.
Rekomendasi tersebut, lanjutnya, tergantung dari target TGIPF. Jika targetnya hanya mengusut siapa yang harus bertanggung jawab kepada korban, TGIPF cukup melihat siapa pelaku yang menembakkan gas air mata serta melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian.
Bambang menilai, para pelaku sudah tampak jelas dalam video-video yang beredar di media sosial, yakni personel level bawah yang bertugas di lapangan. Rekomendasi itu bisa berupa sanksi pidana bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya itu.
Namun, jika target TGIPF menjadikan peristiwa ini sebagai momentum pembenahan secara total, yang didalami harus lebih detail lagi. Pendalaman itu meliputi audit sistem manajemen pengamanan industri olahraga hingga audit anggaran pengamanan yang melibatkan aparat keamanan masuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau tidak.
”Kalau tidak, masuk dalam pos anggaran apa? Apakah ada peraturan Kapolri yang memperbolehkan personelnya disewa swasta? Bagaimana pertanggungjawabannya apabila ada insiden? Siapa penanggungjawabnya? Ini harus dilakukan agar tidak hanya aparat di level bawah menjadi kambing hitam dari problematika penanganan yang sangat kompleks ini,” tutur Bambang.