Kasus suap oleh Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati memantik momen reformasi hukum oleh Presiden. Menko Polhukam Mahfud MD pun kumpulkan sejumlah ahli hukum bahas konsep besar sistem peradilan yang akan ditata kembali.
Oleh
Stephanus Aranditio, PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
—
Saat diskusi bersama dengan sejumlah ahli hukum membahas reformasi hukum pasca-tertangkapnya Hakim Agung kamar perdata nonaktif, Sudrajad Dimyati, di kantor Kementerian Bidang Politik, Hukum ,dan Keamanan, Jakarta, Selasa (4/10/2022), Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, penataan sistem peradilan itu bukan pada hukum acaranya, melainkan pada pengaturan kelembagaannya.
”Misalnya ini ada perkara. Polisi wajib begini begini. Sesudah masuk kejaksaan wajib begini-begini. Pengawasan di tiap proses juga begini, begini. Lalu di Mahkamah Agung, seperti ini dan sebagainya,” ujar Mahfud.
Misalnya ini ada perkara. Polisi wajib begini begini. Sesudah masuk kejaksaan wajib begini-begini. Pengawasan di tiap proses juga begini, begini. Lalu di Mahkamah Agung, seperti ini dan sebagainya.
Dalam diskusi yang berlangsung tiga jam, hadir antara lain mantan Hakim Mahkamah Konstitusi seperti I Dewa Gede Palguna dan Maruarar Siahaan, anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, dan ahli hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar.
Juga mantan Pimpinan KPK Laode M Syarif, ahli hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, ahli hukum Jentera Bivitri Susanti, Direktur Lokataru Haris Azhar, Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, dan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, serta Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
”Sesudah itu nanti akan diusahakan membuat rumah besar. Konsep besar yang sistematis tentang lembaga peradilan yang tersistem, terintegrasi dalam satu sistem yang disusun sehingga proses atau fungsi-fungsi dan batas-batas kewenangan serta kepengurusan di dunia peradilan di setiap lembaga akan diatur kembali,” ujarnya.
Sesudah itu nanti akan diusahakan membuat rumah besar. Konsep besar yang sistematis tentang lembaga peradilan yang tersistem, terintegrasi dalam satu sistem yang disusun sehingga proses atau fungsi-fungsi dan batas-batas kewenangan serta kepengurusan di dunia peradilan di setiap lembaga akan diatur kembali.
Konsep besar ini diharapkan bisa selesai sebelum Pemilu 2024 sehingga agenda reformasi hukum bisa dilanjutkan pemerintahan berikutnya.
Mantan pimpinan KPK, Laode M Syarif, menambahkan, reformasi hukum tidak seharusnya dilakukan pada MA saja, tetapi juga mereformasi para penegak hukum lainnya dalam criminal justice system, yaitu Kejaksaan Agung, Polri, dan advokat.
”Ada beberapa fokus perbaikan tatanan pengelolaan di MA agar tak terjadi lagi hal serupa di masa datang. Poinnya banyak, perbaikan internal, sampai pada sistem seleksi di MA yang harus diperbaiki. Harusnya, Komisi Yudisial juga diberi hak suara untuk penentuan karier hakim. Percuma perbaiki MA, tanpa memperbaiki criminal justice system , mulai dari polisi, jaksa, pengacara, sampai MA-nya,” ujar Laode.
Saling menguatkan
Hal senada disampaikan ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. ”Perbaikan Mahkamah Agung tak mungkin sendirian karena berkaitan dengan kelembagaan lain, jadi MA itu satu sistem dengan lembaga lainnya. Sementara lembaga lainnya juga saling menguatkan, termasuk perbaikan KY secara kelembagaan,” katanya.
Dari sisi substansi perundang-undangan, tambah Arifin, banyak sekali ide untuk memperkuat sistem lembaga peradilan. Di antaranya, dengan mengubah beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan lainnya.
Presiden Joko Widodo bisa berperan besar melakukan reformasi hukum. Ada beberapa terobosan yang barangkali bisa dibuat dalam bentuk peraturan baru termasuk, misalnya jika penting ya, mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) walaupun perppu ini juga terbatas. Barangkali penguatan KY dan transparansi peradilan mungkin bisa di-perppu-kan untuk didorong.
”Presiden Joko Widodo bisa berperan besar melakukan reformasi hukum. Ada beberapa terobosan yang barangkali bisa dibuat dalam bentuk peraturan baru termasuk, misalnya jika penting ya, mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) walaupun perppu ini juga terbatas. Barangkali penguatan KY dan transparansi peradilan mungkin bisa di-Perppu-kan untuk didorong,” tutur Zainal Arifin.
Penataan berikutnya, tambah Zainal Arifin, terkait pula pada pengawasan sistem-sistem di internal, sistem keterbukaan peradilan. Mulai dari sistem e-court, sistem keterbukaan promosi-mutasi-demosi jabatan. Bahkan, ada usulan menghidupkan kembali Komisi Hukum Nasional yang dulu pernah membuat konsep yang cukup baik dalam perbaikan kekuasaan kehakiman.
Menurut Zainal Arifin, ada ide juga yang berkaitan dengan persoalan yang lebih bersifat kultural, misalnya, KPK mungkin bisa buat peta jalan yang dapat lebih menekankan pada pemberantasan korupsi di tubuh peradilan. ”Jadi dapat lebih kuat mengawasi MA, kepolisian, kejaksaan, dan lainnya,” tambah Zainal Arifin.
Adapun Boyamin Saiman, mengusulkan adanya pernyataan tegas sumber hukum yang masuk dalam materi RKUHAP. Hal itu bertujuan mencegah liarnya kemandirian hakim. Boyamin mencontohkan, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dinilai terlalu liar memberikan diskon hukuman eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari, dari 10 tahun jadi 4 tahun di tingkat kasasi.
Tersangka ke-10 Intidana
Setelah menahan Heryanto Tanaka, yang juga debitor Koperasi Simpan Pinjam Intidana, kemarin, KPK juga menahan debitor KSP Intidana, Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Tersangka ke-10 yang ditahan KPK tersebut diduga telah memberikan dana ke pengacaranya untuk menyuap Sudrajad Dimyati.
”Tim penyidik menahan seorang tersangka, yaitu IDKS (Ivan Dwi Kusuma Sujanto) selama 20 hari pertama,” tandas Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto saat konferensi pers di Jakarta, Selasa.