Merujuk UU Hak Asasi Manusia, pemilihan ketua dan wakil ketua Komnas HAM semestinya tidak diputuskan DPR. Namun, DPR menolak jika pemilihan Atnike sebagai Ketua Komnas HAM itu dinilai tak sesuai undang-undang.
JAKARTA, KOMPAS — Sembilan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2022—2027 disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satunya, Atnike Nova Sigiro, dipilih sebagai Ketua Komnas HAM melalui proses musyawarah mufakat antara Komisi III DPR dan para komisioner terpilih.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui untuk memilih sembilan komisioner Komnas HAM melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Persetujuan diambil setelah mendengarkan laporan dari Komisi III DPR tentang hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komnas HAM periode 2022—2027.
Dalam laporan yang dibacakan Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Pangeran Khaerul Saleh, disebutkan bahwa pihaknya telah melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 14 calon komisioner. Dari 14 nama tersebut, dipilih sembilan nama yang di antaranya adalah Abdul Haris Semendawai, Anis Hidayah, Atnike Nova Sigiro, Hari Kurniawan, dan Prabianto Mukti Wibowo. Selain itu, ada pula Pramono Ubaid Tanthowi, Putu Elvina, Saurlin P Siagian, dan Uli Parulian Sihombing.
“Dalam rapat pleno (3 Oktober) juga memutuskan bahwa Ketua Komnas HAM RI Periode 2022—2027 yang terpilih adalah Atnike Nova Sigiro,” ujar Pangeran.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui untuk memilih sembilan komisioner Komnas HAM melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Padahal, merujuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pemilihan ketua dan wakil ketua Komnas HAM semestinya tidak diputuskan oleh DPR. Pasal 83 Ayat (3) UU No 39/1999 menyebutkan, ketua dan wakil ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari anggota.
Ditemui usai rapat paripurna, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menolak jika dikatakan proses pemilihan tersebut tidak sesuai dengan UU. Menurut dia, pemilihan ketua Komnas HAM kali ini hanya tidak dilaksanakan seperti tradisi sebelumnya.
Ia menjelaskan, pemilihan ketua dilakukan berdasarkan kesepakatan Komisi III dengan sembilan calon komisioner terpilih usai uji kelayakan dan kepatutan pada Jumat (30/9) malam. Komisi III menyampaikan kepada mereka preferensi untuk memilih ketua perempuan. Selain karena Komnas HAM belum pernah dipimpin perempuan, sebelum uji kelayakan dan kepatutan digelar, Komisi III juga menerima surat permintaan dari sejumlah koalisi perempuan yang menginginkan agar keterwakilan 30 persen perempuan di Komnas HAM bisa terwujud.
“Saat itu ada beberapa pilihan nama, tetapi akhirnya di depan kami, mereka sepakat (untuk memilih Atnike). Tidak ada perdebatan berarti,” kata Arsul. Menurut Arsul, model pemilihan ketua dengan cara musyawarah mufakat ini juga dilakukan untuk meminimalkan friksi di antara para komisioner nantinya.
Efektivitas kerja
Selain tak memilih ketua sesuai dengan tradisi, Komisi III juga menambah jumlah komisioner dibandingkan periode sebelumnya. Jika sebelumnya Komnas HAM dipimpin tujuh orang, maka saat ini dipilih sembilan orang. Hal itu bertujuan untuk memperluas lingkup kerja Komnas HAM, tidak hanya fokus pada pelanggaran HAM yang terkait tindak pidana, tetapi juga perlindungan HAM yang lebih sektoral. Misalnya pada perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan buruh migran.
Dihubungi terpisah, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rozy Brilian Sodik mengatakan, alasan pemilihan jumlah komisioner dapat diterima, mengingat ada begitu banyak kasus yang ditangani Komnas HAM dalam kurun waktu setahun. Belajar dari periode sebelumnya, Komnas HAM terkesan sangat lambat dalam berbagai penanganan kasus. Namun, terlepas dari jumlah komisioner kepastian efektivitas kerja setelah dilantik itu jauh lebih penting untuk diperhatikan.
Dengan komposisi komisioner yang seluruhnya baru tanpa petahana, Rozy berharap, mereka bisa langsung menerjemahkan visi dan misinya. Mereka harus menghadirkan perubahan, terobosan, dan kebaruan, khususnya soal penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih terkatung-katung. Selain itu, kolaborasi dengan masyarakat sipil juga harus terus dibangun untuk memajukan situasi HAM di Indonesia.
Dalam berita sebelumnya disebutkan, Kontras menilai bahwa penambahan jumlah komisioner Komnas HAM untuk memenuhi target kerja dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu relevan untuk dilakukan. Namun, Kontras menegaskan pihaknya menolak Keppres tersebut.
Secara terpisah, komisioner Komnas HAM terpilih, Putu Elvina, enggan mengomentari soal pemilihan Ketua Komnas HAM yang dinilai tidak sesuai dengan tradisi itu. Begitu pula, Atnike Nova Sigiro enggan mengomentari soal keterpilihannya menjadi Ketua Komnas HAM. Untuk menjaga semangat kolektif kolegial, ia ingin terlebih dahulu mendiskusikan semuanya dengan para komisioner terpilih yang lain.
Komisioner Komnas HAM terpilih, Putu Elvina, enggan mengomentari soal pemilihan Ketua Komnas HAM yang dinilai tidak sesuai dengan tradisi itu.
Evaluasi
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM periode 2017-2022 telah melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua pada 2014; kasus pembunuhan dukun santet di Jawa Timur pada 1998-1999; kasus Rumoh Geudong di Aceh pada 1998, dan kasus Bener Meriah pada 2001-2004 di Aceh Tengah.
“Dua kasus lain sedang berjalan yakni Bumi Flora di Aceh Timur dan kasus pembunuhan Munir (aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib),” kata Taufan saat dihubungi di Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Kasus Bumi Flora merupakan peristiwa penembakan yang menewaskan puluhan warga dan melukai sejumlah orang lain di Kabupaten Aceh Timur. Penembakan tersebut terjadi di kawasan perkebunan sawit milik swasta PT Bumi Flora pada 9 Agustus 2001.
Selain itu, lanjut Taufan, Komnas HAM juga telah mengeluarkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM) pada ribuan korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan sosial. Mereka juga telah meyakinkan Presiden Joko Widodo dalam kasus Paniai agar diteruskan oleh Jaksa Agung yang saat ini sedang berjalan proses sidangnya.
Komnas HAM juga ikut menyusun konsep penyelesaian nonyudisial yang telah dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppresnya)-nya oleh Presiden sebagai jalan lain penyelesaian pelanggaran HAM berat untuk menjembatani lahirnya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Komnas HAM tidak masuk sebagai anggota Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu karena menjadi kewenangan dari pemerintah.
Menurut Taufan, komisioner Komnas HAM periode 2022-2027 perlu menyelesaikan kasus Bumi Flora dan Munir. Selain itu, mengawal persidangan Paniai dan memastikan inisiatif dialog damai Papua terus berjalan untuk menghentikan kekerasan di Papua.