Impunitas Parpol dan Pencatutan Data Warga yang Berulang
Setidaknya 1.290 warga melapor ke Bawaslu bahwa data pribadinya dicatut sebagai anggota parpol yang terekam di Sistem Informasi Parpol. Pencatutan itu merugikan warga, tetapi belum ada regulasi yang mengatur sanksinya.

Sri Sunarsih (57) mengecek nomor induk kependudukannya di laman infopemilu.kpu.go.id milik KPU di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Sebuah pesan disertai tautan masuk ke nomor Whatsapp Salfiah Karim dari seorang temannya, awal September lalu. Setelah tautan dibuka, ia pun mengikuti instruksi yang terdapat di laman tersebut agar memasukkan nomor induk kependudukan atau NIK. Alangkah kagetnya, NIK-nya tercatat sebagai anggota Partai Pergerakan Kebangkitan Desa dan Partai Republik Satu.
”Saya langsung bertanya ke teman yang mengirimkan pesan itu. Ini partai apa ya, kok, nama saya bisa tercantum di situ. Bahkan nama partainya pun baru kali ini saya dengar, apalagi kantornya tidak pernah terlihat di daerah saya,” ujar Salfiah saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Kekecewaan pun menggelayuti warga Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tersebut. Pasalnya, ia berencana mendaftar sebagai penyelenggara pemilu untuk Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah 2024. Namun, salah satu syaratnya, ia tidak boleh menjadi anggota parpol mana pun. Oleh sebab itu, ia dan temannya berinisiatif memeriksa namanya dalam keanggotaan parpol melalui laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Cari_nik untuk memastikan bisa memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu.
Salfiah memang pernah terdaftar sebagai salah satu anggota parpol beberapa tahun lalu. Namun, parpolnya saat itu bukanlah Perkasa dan Republik Satu. Apalagi sejak 2019, ia sudah mengundurkan diri dari keanggotaan parpol karena mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai salah satu perusahaan badan usaha milik negara yang melarang pegawainya menjadi anggota parpol. Surat keterangan yang menyatakan dirinya bukan lagi anggota parpol pun sudah dikantongi sejak tiga tahun silam.
Agar keinginannya turut menjadi pengawal demokrasi dengan menjadi penyelenggara pemilu bisa tercapai, ia pun mendatangi Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Wakatobi. Dari Bawaslu, dia diarahkan melapor ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan mengisi formulir tanggapan masyarakat karena namanya dicatut oleh parpol.
Baca juga: Publik Tuntut Tanggung Jawab Parpol Pencatut Identitas

Sri Sunarsih (57) mengecek nomor induk kependudukannya di laman infopemilu.kpu.go.id milik KPU di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Ia pun mendatangi Kantor KPU Wakatobi pada 21 September untuk menyampaikan keluhannya. Oleh pegawai KPU setempat, ia diminta kembali datang untuk mengklarifikasi keanggotaan parpol pada 23 September.
Setibanya kembali ke kantor KPU sesuai dengan yang dijadwalkan, Salfiah mengklarifikasi sesuai fakta bahwa ia bukan anggota parpol mana pun. Ia pun menyatakan keberatan karena namanya dicatut sebagai anggota dua parpol dan tidak akan mengambil jalur hukum jika pencatutan itu bisa diselesaikan secara baik-baik.
”Sayangnya, KPU tidak bisa langsung menghapus nama saya di Sipol karena katanya yang bisa menghapus adalah parpol yang bersangkutan,” katanya.
Rasa kesal pun masih menyelimuti perasaan Salfiah karena hingga akhir September namanya belum juga hilang dari Sipol. Padahal, sebagai pegawai BUMN yang berencana menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di desanya, ia berharap namanya segera dihilangkan sebagai anggota parpol.
Rasa kesal pun masih menyelimuti perasaan Salfiah karena hingga akhir September namanya belum juga hilang dari Sipol.
Sebagai salah satu korban pencatutan oleh parpol, ia tidak mengetahui asal muasal kedua parpol mendapatkan salinan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) miliknya. Sepengetahuannya, KTP-el sangat jarang diberikan ke pihak-pihak lain karena sadar bahwa data pribadi tersebut bersifat rahasia. Ia mengingatkan agar parpol tidak lagi mencatut warga untuk kepentingan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. Apalagi jika ketahuan warga yang namanya dicatut, parpol pun harus bekerja dua kali karena mesti menghapus dan menggantinya dengan anggota yang lain.
Baca juga : Pencatutan Nama Indikasikan Problem Rekrutmen di Partai Politik

Anggota KPU, Mochamad Afifuddin (kiri) dan August Mellaz, hadir dalam uji publik terhadap rancangan peraturan KPU tentang partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Jika Salfiah sengaja mengecek namanya di Sipol, Nurul Hidayah tidak sengaja ikut-ikutan temannya mengecek namanya di laman Infopemilu. Namun hasilnya pun sama, Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jember itu juga tercatat sebagai anggota Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Nasdem. Padahal, ia tidak pernah mendaftar sebagai anggota parpol.
Sebagai orang yang biasa mengikuti dunia kepemiluan itu, ia langsung menghubungi nomor yang tersedia di laman Infopemilu dan diarahkan untuk mengisi formulir tanggapan masyarakat. Ia pun menghadiri jadwal klarifikasi di KPU Jember untuk menjelaskan bahwa namanya dicatut oleh parpol. ”Saat itu yang dihadirkan hanya dari PKB, padahal nama saya dicatut oleh PKB dan Nasdem,” ucap Nurul.
Sebagai aktivis pemilu, Nurul merasa dirugikan atas pencatutan yang dilakukan oleh kedua parpol tersebut. Sebab, statusnya sebagai anggota parpol bisa menurunkan kredibilitasnya sebagai pemantau. Apalagi jika ia ingin mendaftar aparatur sipil negara ataupun penyelenggara pemilu, statusnya yang masih tercatat sebagai anggota parpol bisa membuatnya gagal meraih keinginannya tersebut.
Sama halnya dengan korban pencatutan lainnya, Nurul pun tidak mengetahui asal muasal KPT-el miliknya bisa ada di tangan parpol. Sebab, selama berkuliah, ia hanya memberikan salinan KTP-el ke organisasi kemahasiswaan yang diikutinya. ”Pada 26 September lalu nama saya sudah tidak ada lagi di Sipol, tetapi teman-teman saya yang lain namanya masih tercatat di Sipol,” ucapnya.
Salfiah dan Nurul hanya sebagian dari ribuan orang yang namanya diduga dicatut oleh parpol. Tak hanya masyarakat biasa, pencatutan pun juga menimpa penyelenggara pemilu dari kalangan KPU dan Bawaslu. Adapun KPU pernah merilis ada 98 orang di jajaran KPU yang namanya dicatut, sedangkan di Bawaslu ada 282 pengawas pemilu yang dicatut namanya oleh parpol.
Baca juga: Penuhi Syarat Gugatan, Dua Parpol Menyusul ke Sidang Pemeriksaan

Pemilih di TPS 003 Bumi Beringin, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, membawa KTP-el dan surat undangan memilih pada hari pemungutan suara, Rabu (9/12/2020).
Manajer Pemantauan Seknas JPPR Aji Pengestu menuturkan, JPPR menginisiasi pembentukan Posko Pencatutan Nama Pada SIPOL yang melibatkan 23 sekretariat provinsi di seluruh Indonesia. Posko ini digagas dengan harapan JPPR dapat membantu meneruskan informasi kepada KPU dan KPU provinsi apabila warga yang dicatut namanya belum diklarifikasi oleh KPU hingga memastikan nama yang bersangkutan sudah dihapus dari keanggotaan parpol.
Posko yang dibuka sejak 30 Agustus 2022 ini mendapatkan laporan dari 60 warga yang mengadukan namanya dicatut oleh parpol. Hasil pemantauan menunjukkan, terdapat 23 dari 24 parpol yang mengikuti verifikasi administrasi parpol diduga mencatut nama warga dan digunakan sebagai syarat menjadi parpol peserta pemilu.
Atas temuan-temuan itu, lanjut Aji, JPPR mendorong KPU untuk menyediakan informasi mengenai berkas persyaratan parpol peserta pemilu yang diunggah di Sipol ke laman Infopemilu tanpa menampilkan data pribadi. Bawaslu sebagai lembaga pengawas juga harus memublikasikan hasil pengawasannya dengan menyebut parpol mana saja yang diduga mencatut nama warga. Hal ini diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai akuntabilitas parpol sekaligus pemberian sanksi sosial. Sebab, dalam PKPU No 4 Tahun 2022 tidak mengatur mengenai ketentuan sanksi bagi partai politik yang menyalahgunakan data pribadi masyarakat.
JPPR mendorong KPU untuk menyediakan informasi mengenai berkas persyaratan parpol peserta pemilu yang diunggah di Sipol ke laman Infopemilu tanpa menampilkan data pribadi.
Sementara KPU harusnya menindaklanjuti temuan Bawaslu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KPU juga harus segera menindaklanjuti aduan masyarakat yang NIK-nya dicatut oleh parpol dan segera menghapusnya dari Sipol. ”Parpol harus segera mencabut nama-nama masyarakat yang sudah melakukan pengaduan baik ke Bawaslu maupun KPU di akun Sipol,” katanya.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, menyebutkan, pihaknya saat ini memproses surat berisi saran perbaikan terhadap 1.290 warga yang mengadu ke Bawaslu karena namanya diduga dicatut oleh parpol. Adapun sebelumnya Bawaslu sudah memberikan saran perbaikan pada 23 Agustus terhadap 514 orang yang namanya diduga dicatut, yang kemudian dibalas oleh KPU pada 7 September.
”Surat balasan dari KPU pada pokoknya menyatakan akan ada klarifikasi terhadap nama-nama yang bersangkutan dan dibagi dalam empat termin, terakhir pada 7 Desember. Jadi, mari kita cermati prosesnya hingga selesai nanti,” katanya.

Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar
Untuk diketahui, pada Pemilu 2024 KPU mewajibkan semua parpol yang mengunggah data anggotanya di Sipol disertai dengan KTP-el, bukan hanya kartu tanda anggota parpol. Dengan demikian, parpol-parpol yang diduga mencatut warga dipastikan memiliki salinan KTP-el tersebut tanpa diketahui oleh warga yang bersangkutan.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, semua perolehan dan pemrosesan data pribadi harus memenuhi dasar hukum, salah satunya harus melalui mekanisme persetujuan dari penduduk untuk didaftarkan sebagai anggota parpol. Ketika data tersebut tidak didaftarkan melalui persetujuan, bisa dianggap parpol melakukan tindakan ilegal.
”Ketika KPT-el untuk didaftarkan sebagai anggota parpol diperoleh tanpa persetujuan, harusnya dilakukan tindakan pemusnahan,” katanya.
Meskipun Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi telah disahkan, lanjut Wahyudi, posisi parpol masih abu-abu, belum digolongkan sebagai pengendali ataupun pemroses data. Padahal, parpol memiliki kapasitas sebagai pengendali data karena memiliki data keanggotaan. Jika sudah tergolong dalam salah satu entitas tersebut, parpol pun wajib mengikuti melakukan tanggung jawab terhadap data yang dimilikinya.
Selain itu, sanksi pidana sulit diterapkan ke parpol karena hanya bisa diterapkan pada orang ataupun korporasi. Hal ini akhirnya membuat sulit dalam menjangkau parpol dan menerapkan sanksi pidana ketika ada penggunaan data pribadi secara ilegal. Pada akhirnya, parpol seakan mendapat impunitas sehingga praktik-praktik pencatutan nama dan NIK bisa terus berulang.