Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap sejumlah usulan untuk reformasi hukum seperti diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo. Salah satunya, mengganti aparatur sipil negara di lingkup peradilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, SUSANA RITA, MADINA NUSRAT
·5 menit baca
Penangkapan hakim agung kamar perdata Sudrajad Dimyati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap pengurusan perkara membuat Presiden Joko Widodo geram. Kejadian tersebut seperti meruntuhkan kerja pemerintah membenahi sektor penegakan hukum yang indikasi perbaikannya sebenarnya sudah terlihat dari hasil survei dengan membaiknya citra kejaksaan.
Tak hanya dalam kasus Sudrajad, seringkali kerja penegakan hukum ”digembosi” di pengadilan. Terdakwa korupsi, misalnya, banyak yang mendapat potongan hukuman oleh hakim. Tak sedikit pula yang divonis ringan, tak setimpal dengan perbuatannya, sehingga ujungnya membuat orang tidak takut untuk korupsi.
Atas rentetan peristiwa itu, Presiden melihat ada urgensi untuk mereformasi hukum. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pun diperintahkan untuk menyusun dan sekaligus mengambil langkah reformasi hukum itu. Namun, menurut Mahfud, instruksi dari Presiden itu tidak mudah, terutama reformasi di pengadilan. Ini karena eksekutif tidak bisa mengintervensi yudikatif.
Lantas, bagaimana Mahfud akan melaksanakan instruksi dari Presiden tersebut? Apa saja kendala yang dihadapi? Berikut petikan wawancara secara daring dengan Mahfud MD sebelum ia mengawali kunjungan kerjanya di Bali, Jumat (30/9/2022).
Bagaimana tanggapan Presiden atas rentetan peristiwa yang mengguncang instansi penegak hukum, termasuk yang terbaru penangkapan hakim agung Sudrajad?
Presiden mengatakan kepada saya beliau kecewa dengan kinerja aparat penegak hukum. Hasil survei lembaga survei, seperti Litbang Kompas, beberapa waktu lalu, padahal sudah menunjukkan perbaikan kinerja kepolisian dan kejaksaan. Ada peningkatan kepuasan dan kepercayaan publik di situ. Namun, kini, lagi-lagi prestasi itu mentah dan digembosi lagi di unsur pengadilan.
Tidak hanya penangkapan hakim agung, tetapi juga banyaknya koruptor yang mendapatkan potongan hukuman atau divonis ringan. Orang korupsi tidak dianggap sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), padahal menurut Undang-undang Tipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), itu adalah korupsi kejahatan luar biasa.
Dari rentetan peristiwa di pengadilan itu, pemerintah justru yang disalahkan masyarakat. Padahal, itu sudah cabang kekuasaan berbeda, yaitu yudikatif. Pemerintah tidak bisa masuk terlalu dalam ke sana karena hakim punya prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
Mereka merdeka dan tak boleh diintervensi. Presiden lalu memerintahkan saya untuk mereformasi hukum. Saya sekarang sedang menyiapkan langkah-langkah yang sungguh tak mudah itu, terutama reformasi di pengadilan.
Bagaimana formulasi reformasi hukum itu? Sebab, pemerintah tak bisa masuk jauh mengintervensi kekuasaan yudikatif?
Soal formulasi reformasi hukum ini masih akan kami kaji dulu, mengundang pakar, dan lain sebagainya. Akan ada rapat yang nanti apa rekomendasinya, kami himpun dulu.
Bayangan Bapak, reformasi hukumnya seperti apa?
Beberapa usul yang masuk seperti sahkan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset. Karena regulasi itu bisa melacak harta orang yang berbuat pidana dengan menyita hartanya secara perdata melalui pembuktian terbalik. DPR tidak perlu takut dengan undang-undang ini.
Selain itu, juga ada usulan untuk menarik dan mengganti semua aparatur sipil negara (ASN) di lingkup MA. Pintu masuk suap dalam berbagai kasus itu melalui pegawai dan tenaga yudisial. Seperti kasus di Medan, (pengacara) OC Kaligis dulu (suap) melalui panitera, (kasus) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga melalui panitera, lewat situ semua.
Mulai dari kesekretariatan sampai kepaniteraan, ASN kami tarik semua. Tidak dipecat, tetapi dipindah. Saya akan bicara dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi soal ini. Yang masih bisa dijangkau oleh pemerintah, akan kami lakukan. Ini cuma masalah administratif.
Apakah pengawasan eksternal seperti dari Komisi Yudisial (KY) akan diperkuat?
Pengawasan eksternal yang fungsional adalah KY. Tetapi juga ada pengawasan eksternal itu oleh masyarakat dan media juga. Pengawasan oleh KY sudah ditumpulkan oleh kekuasaan MA yang mandiri. Bahkan, Ketua MA sendiri secara aturan tidak boleh ikut campur pada putusan hakim yang salah. Ini aturannya biar hakim merdeka, harus seperti malaikat karena disebut wakil Tuhan di Bumi. Justru, saking mandirinya, kemudian terjadi rangkaian mafia di pengadilan tingkat satu sampai kasasi di MA. Satu kasus putusan kasasi bisa lebih dari satu dan berbeda-beda. Ini luar biasa.
Kemudian perjalanan KY sendiri, menurut saya, adalah salah satu ironi sejarah. Waktu reformasi saya ingat, karena saya ikut di situ, Reformasi 1999-2000, kami sepakat ada lembaga pengawasan kuat terhadap MA. Lalu, dibentuk KY untuk mengawasi hakim-hakim agung. Diskusinya saat itu, MA menjawab tidak mampu mengawasi hakim kalau KY hanya lembaga internal. MA minta, saat itu melalui Ketua MA, lembaga eksternal yang kuat. Sebab, mereka ingin berbenah diri dan bisa menindak dengan tegas.
Cerita itu dimuat dalam blueprint (cetak biru) pembaruan peradilan MA. Di situ disebutkan bahwa KY dibentuk karena tidak mampu mengawasi hakim yang terlalu parahnya. Ada juga di risalah persidangan MPR di amendemen konstitusi. Namun, KY yang sejajar dengan MA ternyata diamputasi kewenangannya oleh MA sendiri. Fungsinya ditiadakan diuji materi undang-undang ke MK oleh MA, lalu dibuntungi semua. Sehingga, sekarang hanya formalitas. KY tidak ada pernah ada kabarnya yang dilakukan karena jika ada temuan, harus berembuk dulu dengan MA. Ini hukumannya apa, lalu setelah itu diserahkan kepada MA lagi. Sehingga KY sudah lepas dari gagasan pertamanya dulu.
Bagaimana dengan usulan reformasi hukum melalui revisi sejumlah undang-undang yang terkait hukum?
Ini masalah moral saja sebenarnya. Semua teori sudah habis di gudang, karena sudah dijadikan undang-undang, tetapi tetap tidak efektif. Sekarang adalah saat membuat peta jalan yang baru yang sesuai dengan konstitusi. Saya selalu katakan, jika ingin hidup bernegara, jangan hanya tunduk pada aturan hukum, tetapi juga moral dan religiusitasnya.