Atasi Korupsi di Lembaga Peradilan, Diperlukan Reformasi Hukum Menyeluruh
Presiden tidak bisa mengintervensi MA. Namun, Presiden bisa memperkuat subsistem, yakni keterbukaan peradilan dan penguatan KY sebagai lembaga.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Hakim Agung Sudrajad Dimyati mengenakan rompi oranye dan digiring menuju mobil tahanan setelah menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (23/9/2022). KPK melakukan operasi tangkap tangan suap terkait pengurusan kasasi gugatan aktivitas Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Mahkamah Agung sebesar Rp 2,2 miliar. Dari pengembangan pemeriksaan KPK, kasus ini menyeret Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang memperoleh bagian suap sebesar Rp 800 juta.
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi hukum terhadap lembaga peradilan dapat dilakukan dengan perbaikan undang-undang dan proses rekrutmen, promosi, serta mutasi. Dalam hal ini, peran Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas peradilan perlu diperkuat dan diupayakan transparansi pada Mahkamah Agung.
Selain itu, dibutuhkan pula kehadiran badan eksaminasi nasional untuk mengeksaminasi atau menguji ulang putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi menimbulkan kontroversi di masyarakat. Putusan pailit terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana, contohnya, diduga terkait dengan dugaan suap Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dalam pengurusan perkara.
Mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Selasa (27/9/2022), mengatakan, mereformasi lembaga peradilan merupakan pekerjaan besar yang memerlukan waktu, komitmen, dan konsistensi dari pemerintah dan DPR. Langkah pertama yang mutlak harus dilakukan adalah perbaikan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Umum, UU Mahkamah Agung, dan juga UU Komisi Yudisial. Fokus perubahan regulasi adalah pada pembenahan sistem rekrutmen hakim, promosi mutasi, reward and punishment, serta pengawasan yang mengacu pada prinsip transparan dan akuntabel.
Mereformasi lembaga peradilan merupakan pekerjaan besar yang memerlukan waktu, komitmen, dan konsistensi dari pemerintah dan DPR.
Secara khusus, Suparman menyarankan agar proses rekrutmen, promosi, dan mutasi hakim sebaiknya tidak lagi diserahkan kepada MA, tetapi kepada Komisi Yudisial (KY). Hal ini perlu diatur dalam perubahan sejumlah UU tersebut. Selain itu, kewenangan KY perlu diperluas, yakni tidak hanya merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada MA.
”Akses pengawasan eksternal diperluas. Pemeriksaan dan sanksi non-pemberhentian menjadi kewenangan KY,” ujar Suparman.
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) di Kantor KPK, Jakarta, memberi keterangan kepada wartawan terkait operasi tangkap tangan dugaan pemberian suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung, Jumat (23/9/2022) pagi. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 10 tersangka dengan satu di antaranya adalah hakim agung.
Khusus mengenai aparat pengadilan, Suparman berpendapat, pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh dan memutasi pegawai negeri sipil (PNS) di pengadilan, mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga MA. ”Mereka-mereka ini sudah bercokol lama dan menjadi ’kerajaan’ sendiri yang sudah terbukti berkali-kali menjadi pintu masuk suap. Tidak sedikit yang nembak di atas kuda, ngintip hasil musyawarah tentang putusan hakim, lalu menghubungi pihak-pihak beperkara,” ujarnya.
Sebelumnya, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, pimpinan MA sudah melakukan langkah-langkah tegas menyusul ditetapkan dan ditahannya Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dalam perkara dugaan suap. Langkah itu antara lain merotasi dan memutasi semua anggota staf di Mahkamah Agung.
Namun, atas pernyataan tersebut, Suparman merasa skeptis. ”Sejak lama mereka bilang begitu, tapi tidak pernah jalan,” pungkasnya.
Menanggapi terungkapnya dugaan korupsi di MA, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan, saat ini ada urgensi untuk mereformasi bidang hukum. Presiden telah memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk melaksanakan reformasi di bidang hukum tersebut.
Badan eksaminasi
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun mengusulkan dibentuk badan eksaminasi nasional untuk mengeksaminasi atau menguji ulang putusan-putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi menimbulkan kontroversi di masyarakat. Badan tersebut perlu diisi oleh orang-orang yang kredibel, baik dari unsur tokoh masyarakat, hakim agung, maupun Komisi Yudisial.
Para hakim agung menunggu pelantikan di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (9/11/2011). Mereka antara lain Suhadi, Nurul Elmiyah, Dudu Duswara Machmudin, Andi Samsan Nganro, Hary Dajtmiko, dan Topane Gayus Lumbuun.
Pembentukan badan eksaminasi nasional, menurut Gayus, merupakan perlakuan yang serupa ketika pemerintah melakukan perang terhadap narkotika dengan membentuk Badan Narkotika Nasional atau perlawanan terhadap terorisme dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Badan eksaminasi nasional yang dapat dibentuk presiden melalui peraturan presiden itu, tambah Gayus, dapat bekerja melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) khusus, seperti yang sempat dilontarkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1967. Dalam surat edaran MA tersebut, seperti dikutip mantan hakim agung tersebut, disebutkan adanya kemungkinan dilakukannya PK khusus oleh lembaga khusus.
Saat ditanya bahwa badan eksaminasi nasional akan memperpanjang sistem penanganan perkara karena seolah menjadi peradilan keempat, Gayus mengatakan bahwa tidak semua perkara bisa masuk ke badan eksaminasi. Badan tersebut hanya akan menangani perkara-perkara yang menjadi kontroversi masyarakat.
Selama ini satu per satu kewenangan KY dikebiri, seperti keterlibatan dalam seleksi hakim di tingkat bawah yang diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
”Badan tersebut bisa saja berjalan untuk waktu yang terbatas. Misalnya, satu periode, (selama) tiga tahun. Melalui kewenangan presiden, (badan eksaminasi nasional) dibatasi untuk masa reformasi peradilan. Nanti dibubarkan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat (saja). Karena kalau MA lagi (yang melakukan), tidak dipercaya,” ungkapnya.
Menurut pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, dalam upaya reformasi hukum, presiden bisa menguatkan pengawasan terhadap MA melalui KY. Sebab, selama ini satu per satu kewenangan KY dikebiri, seperti keterlibatan dalam seleksi hakim di tingkat bawah yang diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Transparansi MA
Ia mengungkapkan, KY lahir karena MA dianggap tidak bisa dipercaya. ”Saya kira bisa dikuatkan kembali. Dasarnya adalah kalau independensi itu berkaitan dengan integritas dan akuntabilitas. Kalau integritas dan akuntabilitasnya tinggi, saya kira independensinya bisa ditinggikan,” kata Zainal.
Pakar hukum tata negara dari UGM, Zaenal Arifin Mochtar.
Selain itu, ia mendorong transparansi dan akuntabilitas MA yang selama ini jalan di tempat. Sebab, proses koruptif terjadi ketika akuntabilitas dan transparansi minim. Ruang-ruang tersebut mempermudah terjadinya korupsi.
Menurut Zainal, apa yang terjadi di MK bisa direplikasi di MA, seperti putusan bisa diakses publik setelah dibacakan. Pemerintah bisa membantu menyediakan sarana dan prasarana agar lebih transparan. Ia menegaskan, seharusnya transparansi tersebut bisa diterapkan di MA dan pengadilan di bawahnya. Hal tersebut menjadi bentuk keterbukaan peradilan.
Ia menegaskan, presiden tidak bisa mengintervensi MA. Namun, lanjutnya, presiden bisa memperkuat subsistem, yakni keterbukaan peradilan dan penguatan KY sebagai lembaga.
Sementara itu, Juru Bicara KY Miko Ginting mengklarifikasi bahwa KY tidak pernah mengeluarkan pernyataan akan memeriksa Ketua MA Muhammad Syarifuddin. Menurut Miko, saat Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata diwawancarai wartawan seusai bertemu pimpinan KPK pada Senin (26/9/2022), kondisinya sangat berisik. Pertanyaan jurnalis yang terdengar hanya apakah akan memeriksa hakim lain yang tergabung dalam satu majelis dengan Sudrajad dalam kasasi terkait pengurusan gugatan pailit terhadap KSP Intidana.
Meski demikian, Miko mengatakan, KY terbuka kemungkinan untuk memeriksa hakim ataupun pihak terkait lain guna membuat terang peristiwa dugaan korupsi yang dilakukan Sudrajad. Bahan awalnya adalah apa yang sudah dimiliki oleh KPK. Pemeriksaan KY berada dalam wilayah etik.