Pengungkapan korupsi yang diduga melibatkan hakim agung dinilai tidak terlalu sulit. Selain mengandalkan penyidikan KPK, hal itu dapat dicapai lewat dukungan penuh pimpinan MA.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tak berhenti pada penetapan Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati sebagai tersangka dugaan suap untuk pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Hal ini mengingat, putusan majelis hakim terbit manakala minimal dua anggota majelis mengabulkan atau menolak gugatan perkara. Dalam hal ini dibutuhkan pula dukungan dari pimpinan MA.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi bahwa dugaan suap yang diduga diterima Sudrajad itu terkait dengan pengurusan gugatan pailit terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di tingkat kasasi. Perkara itu diajukan oleh dua tersangka dalam dugaan suap terhadap Sudrajad, yakni Ivan Dwi Kusuma Sujanto dan Heryanto Tanaka. Gugatan itu dikuasakan kepada seorang pengacara, Yosep Parera, yang juga jadi tersangka dugaan suap kepada Sudrajad.
Konfirmasi itu disampaikan oleh Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu (24/9/2022). Namun, untuk pemeriksaan lebih lanjut, kata Fikri, tim penyidik KPK juga mengamankan berbagai dokumen penanganan perkara dan data elektronik yang diduga erat berkaitan dengan kasus dugaan suap pengurusan perkara perdata di Mahkamah Agung.
”Jumat (23/9), tim penyidik telah selesai melakukan penggeledahan di beberapa tempat dan lokasi di wilayah Jabodetabek, yaitu Gedung MA (Mahkamah Agung) dan kediaman para tersangka,” kata Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu (24/9/2022).
Ali mengatakan, dari kegiatan tersebut ditemukan dan diamankan berbagai dokumen penanganan perkara dan data elektronik yang diduga erat terkait dengan perkara. Analisis dan penyitaan terhadap barang bukti tersebut segera dilakukan untuk melengkapi berkas penyidikan para tersangka.
Selain Sudrajad, Ivan, Heryanto, dan Yosep Parera, KPK telah menetapkan enam tersangka lainnya dalam dugaan suap untuk penanganan perkara ini. Kasus ini terungkap dari penangkapan delapan orang oleh tim KPK di Semarang (Jawa Tengah) dan Jakarta. Dari penangkapan itu, KPK menyita uang 205.000 dollar Singapura atau setara Rp 2,17 miliar, dan Rp 50 juta.
Adapun gugatan pailit terhadap KSP Intidana yang ditangani Sudrajad itu telah terbit putusannya dengan Nomor 874 K/Pdt.Sus-Pailit/2022. Dalam perkara itu, Sudrajad duduk sebagai anggota majelis hakim bersama Ibrahim. Adapun majelis itu diketuai oleh Syamsul Ma’rif.
Dalam putusannya, majelis hakim tersebut mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon dan membatalkan putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, dengan putusan KSP Intidana dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Putusan majelis hakim terbit manakala minimal dua anggota mengabulkan atau menolak.
Kemungkinan hakim lain
Dalam kasus Sudrajad ini, mantan hakim ad hoc tipikor pada MA, Krisna Harahap meminta agar KPK memeriksa kemungkinan adanya keterlibatan hakim lain yang menangani kasus kasasi tersebut. Sebab, putusan majelis hakim terbit manakala minimal dua anggota mengabulkan atau menolak. “Anggota majelis lainnya (bisa) ikut setuju, menolak, atau berbeda pendapat,” ucapnya.
Menurut Krisna, untuk mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan hakim tidak terlalu sulit. Apabila pimpinan MA memiliki kemauan, tentu bisa mengungkapnya. Sebab, di antara hakim agung mengetahui hakim mana saja yang suka “main api”. Pimpinan, terutama Ketua Kamar Pembinaan dan Pengawasan, tentu juga tahu.
Akan tetapi, mereka ingin menjaga marwah MA agar jangan sampai tercemar di mata masyarakat sebagai benteng terakhir keadilan dan mahkamah yang diidam-idamkan agung serta modern. Akibatnya, kata Krisna, pimpinan MA sangat protektif menjaga agar jangan sampai ada kabar negatif keluar. Cara itu seolah-olah memberi kesempatan, sehingga yang “main api” kian berani.
Kompas sudah meminta tanggapan kepada Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro melalui pesan singkat maupun telepon terkait harapan agar pimpinan MA memiliki kemauan untuk mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan hakim, tetapi tidak direspons.
Akibat serakah
Krisna juga mengungkapkan, jika ada hakim agung masih terlibat korupsi itu lebih disebabkan oleh keserakahan karena gaji dan tunjangan yang diperoleh sudah tinggi. “Bayangkan gaji dan tunjangan yang sudah begitu tinggi, biaya hidup ditanggung negara, ditambah setiap perkara yang diputus dinilai jutaan rupiah, sehingga setiap hakim agung dapat mengantongi miliaran rupiah setiap tahun. Lalu, mengapa masih korupsi? Ya karena serakah,” tutur Krisna.
Koordinator Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga berharap agar KPK mengembangkan dugaan korupsi di MA ke pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Pengalaman MAKI ikut mengawasi penanganan sejumlah kasus korupsi, makelar kasus di lembaga peradilan dilakukan dengan canggih. "Bahkan, ada dugaan kamuflase transaksi (suap) lewat pinjaman atau utang-piutang," ujarnya.
Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha mengatakan, peristiwa penangkapan hakim agung telah mengungkap skandal yang sebetulnya biasa hadir dalam penegakan hukum Indonesia. Praktik korup telah dirasakan oleh para pemangku kepentingan yang bersentuhan dengan penegak hukum.
Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dengan mencermati reaksi awal Yosep Parera, salah satu tersangka pemberi suap kepada Sudrajad, yang merepresentasikan minimnya peluang praktisi hukum melakukan aktivitas secara bersih. Yosep, kuasa hukum Ivan dan Heryanto untuk kasasi pailit KSP Intidana, itu sempat menyatakan, sistem di Indonesia di setiap aspek harus mengeluarkan uang.
“Lembaga peradilan adalah ujung dari segala proses hukum baik perdata, administratif, maupun pidana. Tanpa adanya peradilan yang bersih maka segala proses tersebut sia-sia,” kata mantan penyidik KPK ini.