Revisi UU MK Jangan Sampai Mengancam Kemandirian Hakim
Revisi UU MK tidak bisa lepas dari nilai-nilai konstitusi. Kalau ada muatan yang memperlemah kekuasaan kehakiman yang merdeka, sudah tentu muatan semacam itu akan termentahkan oleh konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS –Revisi keempat terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi diharapkan tetap mengacu pada amanat Undang-Undang Dasar 1945. Adapun salah satu poin revisi dalam undang-undang itu adalah hakim konstitusi dapat dievaluasi oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Guru besar dan pengajar ilmu hukum dari sejumlah universitas menilai, jika poin itu mengancam independensi hakim, sebaiknya tersebut tidak diatur.
Guru Besar Bidang Ilmu Perundang-undangan Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono saat dihubungi di Jakarta, Jumat (23/9/2022), mengatakan, perubahan atau pembentukan UU sebenarnya merupakan suatu praktik yang lazim sepanjang memenuhi asas kejelasan tujuan. Artinya, jika ingin ada perubahan atau pembentukan UU, apalagi jarak perubahan UU dengan yang ketiga sangat dekat, maka kejelasan tujuan itu harus diterangkan kepada publik.
Selain asas kejelasan tujuan, seperti diatur Pasal 5 UU No13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada pula asas kedayagunaan dan kehasilgunaan yang patut diperhatikan oleh pembentuk UU. Hal tersebut juga tidak boleh luput dijelaskan kepada publik.
Jika pembentuk UU sudah mampu menjawab hal tersebut, barulah bicara substansi. Revisi UU MK tidak bisa lepas dari nilai-nilai konstitusi. Pasal 24 Ayat 1 UUD menyatakan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Jadi, sederhana saja, apa pun materi muatan RUU MK atau badan peradilan lainya, tidak boleh lepas dari apa yang dimaksud konstitusi, yaitu menjadikan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Jadi, kalau ada materi-materi muatan yang di dalamnya memperlemah kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka sudah barang tentu muatan semacam itu akan termentahkan dengan konstitusi,” ujar Bayu.
Baca juga: UU MK Kembali Direvisi, Akan Ada Mekanisme Evaluasi Hakim
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Bayu menjelaskan, hakim harus dijamin memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya. Hakim tidak boleh memiliki rasa takut serta tidak boleh memiliki rasa khawatir. Untuk itu, lanjut Bayu, jangan sampai poin evaluasi hakim MK justru menjadi praktik yang bisa mengancam kekuaasaan kehakiman yang merdeka tersebut.
“Mekanisme pengawasan tidak boleh bertentangan dengan konsep kemandirian kekuasaan kehakiman. Maka formula pengawasannya harus dijauhkan dari yang sifatnya bisa mengganggu independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Jika praktinya bisa mengancam, maka sebaiknya tidak diatur,” katanya.
Hakim harus dijamin memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya.
Konflik kepentingan
Sementara itu, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menegaskan, pihaknya sangat tidak setuju apabila mekanisme evaluasi dilakukan oleh pengusul hakim. Menurut Aan, pengusul hakim tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan para hakim konstitusi. Hubungan antara pengusul dan hakim hanyalah sebatas mekanisme rekrutmen, bukan berarti mereka perwakilan dari pengusul.
“Karena kalau seperti itu, nanti akan bias. Seolah-olah tiga orang hakim masing-masing per cabang itu hanyalah untuk mengawal cabangnya saja, tidak ada kenegawaranan kalau begitu,” ucap Aan.
Baca juga: Saat DPR ”Manjakan” Hakim MK
Ia justru melihat, apabila mekanisme evaluasi oleh para pengusul ini terlaksana, maka modelnya nanti akan seperti fraksi di DPR. Seolah-olah para hakim ini adalah milik fraksinya pemerintah, fraksinya DPR, maupun fraksinya MA. Jika situasinya demikian, ia meyakini, kinerja para hakim tidak akan objektif.
“Nanti kalau misal akan membatalkan atau menyatakan sebuah UU ini bertentangan dengan UUD. Para hakim MK yang berasal dari pemerintah dan DPR, kan, akan merasa khawatir, karena akan dievaluasi. Istilahnya conflict of interest. Karena dia (hakim) ingin tetap dipertahankan, dia ingin dipilih lagi, akhirnya main aman. Menurut saya, ini salah kaprah kalau konsep evaluasi seperti itu,” tutur Aan.
Konsep yang benar, menurut Aan, pengawasan terhadap kinerja hakim atau etika hakim dilakukan oleh pihak independen atau pihak luar. dengan begitu, dalam pengawasan dan evaluasi, semua lebih objektif dan tidak ada konflik kepentingan.
Pengawasan terhadap kinerja hakim atau etika hakim dilakukan oleh pihak independen atau pihak luar.
Mencari format
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengaku belum membaca draf RUU MK karena RUU tersebut disiapkan oleh Badan Legislasi DPR. Namun, Arsul menegaskan, independensi MK tetap perlu dijaga.
“Fraksi PPP akan mencari format terkait dengan pasal yang terkait evaluasi kinerja. Yang paling penting bagi PPP adalah bahwa revisi UU MK harus menjawab bukan hanya independensi di atas, tetapi merespons situasi di mana terjadi pelanggaran terus-menerus asas mendasar dalam dunia peradilan,” ujar Arsul.
Baca juga: DPR Dinilai Ingin Intervensi Hakim MK
Asas mendasar dalam dunia peradilan adalah asas "Nemo Judex Idoneus In Propria Causa". Artinya, hakim tidak boleh mengadili perkara yang menyangkut dirinya sendiri atau yang dirinya memiliki benturan kepentingan (conflict of interest). Asas "Nemo Judex Idoneus In Propria Causa" ini bertujuan menghindari hakim dari keberpihakan dalam menjalankan tugasnya.
Ia melihat, dalam beberapa perkara yang ditangani oleh MK, hakim konstitusi justru dengan semaunya mengesampingkan asas "Nemo Judex Idoneus In Propria Causa" atas nama prinsip konstitusionalisme dan mengklaim bahwa mereka adalah seorang negarawan.
“UU MK yang ada, tidak menjawab tentang pelanggaran asas di atas sehingga hakim MK mengadili uji materi pasal-pasal UU MK yang mengatur dirinya sendiri, juga semaunya membatalkan kewenangan KY (Komisi Yudisial) terlibat dalam pengawasan hakim MK. Demikian juga hakim MK yang berasal dari MA juga ikut mengadili UU MA dan lembaga peradilan. Padahal hakim MK yang belum masuk pensiun akan kembali ke MA atau peradilan di bawah MA. Ini jelas-jelas pelanggaran asas di atas yang tidak boleh dibiarkan terus karena ketiadaan pengaturan dalam UU MK,” ucap Arsul.
Arsul hanya ingin menegaskan bahwa kekhawatiran independensi itu tidak hanya terkait dengan evaluasi kinerja hakim, tetapi juga terkait dengan benturan-benturan kepentingan hakim MK yang begitu tampak dalam putusan yang pernah mereka buat terkait uji materi UU MK, UU MA, UU KY, dan UU lembaga peradilan.