Putusan Komisi Kode Etik dan Profesi Polri final dan mengikat. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi ruang bagi Ferdy Sambo untuk melakukan upaya hukum di internal Polri.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Bekas Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo (tampak pada rekaman televisi) saat menjalani sidang perdana kasus dugaan pelanggaran kode etik di Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Surat berisi petikan sidang Komisi Kode Etik dan Profesi atau KKEP tingkat banding dengan substansi pemberhentian tidak dengan hormat Ferdy Sambo sebagai anggota Polri sudah diberikan kepada Ferdy, Jumat (23/9/2022) ini. Terhadap keputusan pemecatan tersebut, kuasa hukum Ferdy Sambo belum memastikan langkah hukum yang akan diambil selanjutnya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, pada jumpa pers, Jumat (23/9/2022), mengatakan, pada hari ini, petikan putusan berupa pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Ferdy Sambo diserahkan kepada yang bersangkutan. Dedi memastikan bahwa proses administratif tersebut tidak akan mengubah substansi, yakni pemecatan dari anggota Polri.
”Enggak ada kaitannya dengan Pak Presiden. Subtansinya tidak akan diubah, tetap PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat). Setelah (surat) diterima, nanti ada tanda terimanya dan itu sebagai bukti ke Wabprof Propam (Biro Pertanggungjawaban Profesi Divisi Profesi dan Pengamanan) Polri,” kata Dedi.
Ia pun menegaskan bahwa pemecatan terhadap Ferdy Sambo cukup dilakukan dengan pemberian surat. Sebab, substansi surat tersebut sudah jelas, yakni pemberhentian tidak dengan hormat.
Bekas Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo (tengah) seusai menjalani sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (26/8/2022) dini hari.
Menanggapi kemungkinan Ferdy Sambo melayangkan gugatan perdata, menurut Dedi, hal itu merupakan hak yang bersangkutan. Namun, Dedi menegaskan, keputusan PTDH terhadap Ferdy Sambo sudah final dan mengikat. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi ruang bagi yang bersangkutan untuk melakukan upaya hukum di internal Polri.
”Sudah tidak ada upaya hukum lagi di Polri. Kalau, misalnya, dia mengajukan gugatan (perdata), itu haknya mereka. Silakan saja, tidak ada masalah,” kata Dedi.
Secara terpisah, kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis, ketika dikonfirmasi, membenarkan bahwa Ferdy telah menerima surat berisi petikan putusan sidang KKEP tingkat banding. Ketika ditanya terkait dengan kemungkinan kliennya akan mengajukan upaya hukum berupa gugatan perdata kepada Polri, Arman Hanis belum bisa memastikan.
”Klien kami pasti memiliki alasan yang kuat dan secara hukum berhak bila pada waktunya kelak memutuskan untuk melakukan setiap upaya hukum yang diatur dalam undang-undang,” kata Arman.
Tim pengacara Putri Chandrawati, istri Ferdy Sambo, Arman Hanis (berjas hitam) dan rekannya mendatangi Dewan Pers di Jakarta, Jumat (15/7/2022).
Sidang etik
Dedi mengatakan, terkait dengan pelanggaran kode etik yang harus disidangkan melalui sidang etik, total terdapat 35 berkas perkara. Hingga saat ini sudah 15 perkara yang disidangkan, termasuk Ferdy Sambo. Dengan demikian, masih ada 20 perkara yang harus ditangani KKEP. Adapun, tim sidang kode etik yang menangani kasus tersebut ada dua tim. Dengan demikian, pelaksanaan sidang harus dilakukan secara maraton agar segera selesai.
Terakhir adalah sidang etik terhadap Iptu Hardista Pramana Tampubolon (HT) yang dilaksanakan pada Kamis (22/9). Ia adalah mantan Panit I Unit 1 Den A Ropaminal Divpropam Polri.
Sidang etik memutuskan bahwa Hardista telah melakukan perbuatan tercela dan menjatuhkan sanksi untuk meminta maaf secara lisan di hadapan sidang dan secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan. Selain itu, yang bersangkutan diwajibkan menjalani pembinaan mental, kejiwaan, keagamaan, dan pengetahuan profesi selama 1 bulan dan sanksi administrasi mutasi bersifat demosi selama 1 tahun.
”Bentuk pelanggaran yang bersangkutan adalah tidak profesional di dalam melakukan proses penyelidikan awal terkait dengan tindak pidana dugaan penembakan itu,” ujar Dedi.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri menyidangkan tersangka Brigadir FF atau Frillyan Fitri Rosadi, Selasa (13/9/2022).
Sebelum Hardista, sidang etik dilaksanakan terhadap Ajun Komisaris Polisi (AKP) Idham Fadilah (IF), mantan Panit II Unit III Den A Ropaminal Divpropam Polri. Idham diputuskan telah bersalah karena tidak profesional dalam menjalankan tugas. Ia dikenai sanksi meminta maaf secara lisan di hadapan sidang dan secara tertulis kepada pimpinan Polri serta pihak yang dirugikan.
Idham juga diwajibkan mengikuti pembinaan mental, kepribadian, kejiwaan, keagamaan, dan pengetahuan profesi selama 1 bulan.
Untuk sanksi administratif, yang bersangkutan dikenai sanksi berupa demosi selama 1 tahun. Atas putusan tersebut, yang bersangkutan menerimanya. Demikian pula Hardista juga menerima putusan terhadapnya.
Menurut Dedi, pembinaan mental, kepribadian, kejiwaan, keagamaan, dan pengetahuan profesi tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki etika dan pemahaman yang bersangkutan tentang nilai dasar Tribrata dan Catur Prasetya. Proses pembinaan tersebut diselenggarakan oleh Divisi Propam Polri.
Terkait dengan sidang etik terhadap Brigadir Jenderal (Pol) Hendra Kurniawan, menurut Dedi, akan dilaksanakan pada minggu depan. Namun, Dedi belum bisa memastikan hari pelaksanaannya. Menurut Dedi, Hendra merupakan saksi kunci dalam kasus perintangan penyidikan.
”Informasi yang saya dapat hari ini, (pelaksanaan sidangnya) minggu depan. Sesuai dengan arahan Bapak Kapolri, harus cepat prosesnya,” ujar Dedi.
Ia pun menyampaikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung yang kini tengah memproses berkas kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dan kasus perintangan penyidikan. Menurut dia, para jaksa tersebut telah meneliti berkas perkara tersebut secara maraton dan berkoordinasi secara intens dengan penyidik.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, hingga saat ini berkas perkara masih diteliti oleh jaksa peneliti. Ia juga menegaskan bahwa keputusan untuk menggabungkan perkara merupakan kewenangan jaksa penuntut umum.