Ketidaknetralan ASN terus terulang saat pemilu. Untuk mencegah hal itu terulang saat pemilu dan pilkada di 2024, lima instansi menandatangani keputusan bersama tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas ASN.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lima instansi kementerian dan lembaga menandatangani keputusan bersama tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilu dan pilkada. Keputusan bersama di tingkat pusat ini diharapkan diikuti oleh jajaran ASN di daerah.
Penandatanganan keputusan bersama tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai aparatur sipil negara dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dilakukan di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Keputusan bersama tersebut ditandatangani Menpan dan RB Abdullah Azwar Anas, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Pelaksana Tugas Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja.
Anas mengatakan, keputusan bersama tersebut amat penting dalam mewujudkan birokrasi yang netral. Sebab, sumber daya manusia ASN yang netral bisa mendukung agenda pemilu dan pilkada. Karena itu, komitmen yang ditandatangani di tingkat pusat ini bisa dilakukan di daerah agar berdampak lebih luas.
”Ketidaknetralan ASN sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat karena jika ASN tidak netral, dampak yang paling terasa adalah ASN tersebut menjadi tidak profesional. Target-target pemerintah di tingkat lokal dan nasional justru tidak akan tercapai dengan baik,” ujarnya.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kemenpan dan RB Alex Denni mengatakan, keputusan bersama tersebut dibuat oleh lima instansi untuk mengawal jalannya pemilu dan pilkada serentak nasional pada 2024. Keputusan itu menegaskan kembali bahwa ASN tidak boleh berpihak serta tidak boleh melakukan aktivitas-aktivitas yang menunjukkan identitas keberpihakan kepada kontestan pemilu dan pilkada.
”Hari ini komitmen itu ditunjukkan oleh kehadiran para menteri, pimpinan lembaga, yang tugasnya mengawal netralitas ASN itu,” katanya.
Setelah penandatanganan keputusan bersama tersebut, pihaknya akan melakukan sosialisasi-sosialisasi terkait dengan apa saja yang harus dilakukan oleh ASN, apa yang harus dilakukan oleh pembina kepegawaian maupun pejabat yang berwenang, serta sanksi yang akan diberikan kepada pihak-pihak yang terbukti melanggar netralitas ini.
Mengutip Survei Nasional Netralitas ASN pada 2021 oleh Komisi ASN, sebanyak 62,70 persen responden setuju kedudukan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) menyebabkan ASN sulit bersikap netral dalam pilkada. Hanya 37,30 persen yang menyatakan tak setuju. Padahal, 93,35 responden mengaku memiliki pemahaman yang baik setelah mengikuti sosialisasi netralitas ASN. Survei yang diselenggarakan pada 1-30 Juli 2021 ini melibatkan 10.617 responden dari 270 pemerintah daerah yang menyelenggarakan pilkada pada 2020.
Dari survei juga tergambar penyebab ASN tidak netral dalam pilkada, antara lain, karena ikatan persaudaraan (50,76 persen) dan kepentingan karier (49,72 persen). Ketidaknetralan mereka dalam pilkada dipengaruhi di antaranya tim sukses (32 persen), atasan ASN (28 persen), dan pasangan calon (24 persen). Sebanyak 78,73 persen responden setuju sanksi terhadap ASN pelanggar netralitas belum memberikan efek jera.
Adapun berdasarkan data KASN, ada 2.007 ASN yang telah diproses atas kasus pelanggaran netralitas pada Pilkada 2020. Sebanyak 79,1 persen di antaranya terbukti melakukan pelanggaran dan telah mendapat rekomendasi dari KASN. Meskipun banyak yang telah dilaporkan dan diproses karena melanggar netralitas saat pilkada, 77,6 persen responden menyatakan pelanggaran banyak yang kurang terpantau lembaga pengawas.
Tito mengingatkan, ASN tidak boleh berpolitik praktis karena merupakan tenaga profesional yang menjadi motor penggerak pemerintahan. ASN mesti bekerja profesional di situasi politik apa pun, termasuk saat situasi politik memanas. Sekalipun memiliki hak politik, ASN tidak boleh berpolitik praktis dan memihak kandidat dalam pemilu dan pilkada.
”Dengan adanya komitmen di tingkat pusat, kita semua sepakat biarlah siapa pun yang bertanding, sebagai ASN harus tetap pada posisi netral siapa pun pemenangnya,” tutur Tito.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menilai, komitmen bersama seperti ini tetap penting dalam upaya mencegah dan menjaga netralitas ASN dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Oleh karena itu, sosialisasi harus terus dilakukan sebagai upaya pencegahan agar ketidaknetralan yang pernah terjadi di pemilu dan pilkada sebelumnya tidak terulang.
Meskipun demikian, ia mengingatkan, komitmen tersebut juga harus diikuti dengan penegakan hukum sehingga menimbulkan efek jera. ”Tentunya penanganan dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Problem netralitas ASN yang terus berulang, menurut Mita, salah satunya disebabkan kewenangan Bawaslu dalam menangani hal ini tidak dimandatkan secara penuh.
Ia mencontohkan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, misalnya, pelanggaran atas netralitas ASN bukan merupakan pelanggaran pemilu yang diatur secara jelas dan rigid. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan khusus yang lebih mutakhir dalam penegakan hukum netralitas ASN.
”Jika sebelumnya sanksi hanya pemberhentian sementara, dicopot dari posisi jabatan, dan mutasi, ke depan sanksi yang lebih efektif adalah denda dalam bentuk uang dan dikeluarkan dari keanggotaan ASN,” katanya.