Mata Internasional Soroti Pengadilan HAM Kasus Paniai
Pelaksanaan pengadilan HAM kasus Paniai bersamaan dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kantor Staf Presiden atau KSP mengapresiasi pelaksanaan sidang pertama pengadilan hak asasi manusia untuk kasus Paniai, Papua, yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Rabu (21/9/2022). KSP berharap pelaksanaan sidang-sidang selanjutnya akan berjalan dengan lancar. Proses peradilan pun diharapkan bisa berjalan aman, terbuka, obyektif, independen, dan imparsial.
”Karena semua mata, termasuk internasional, tertuju ke pengadilan HAM ini,” kata Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani di Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Pelaksanaan pengadilan HAM kasus Paniai bersamaan dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan Kejaksaan Agung untuk terus melanjutkan proses hukum atas hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Adapun secara non-yudisial, dengan pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. ”Untuk itu, dua jalur, yaitu yudisial dan non-yudisial, ditempuh secara paralel untuk saling melengkapi,” tambahnya.
Pada pidato Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD tanggal 16 Agustus 2022, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah.
”RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sedang dalam proses pembahasan. Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan. Keputusan Presiden Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani,” ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi memerintahkan untuk melanjutkan proses melalui pengadilan (yudisial) dengan memerintahkan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM bekerja memenuhi unsur-unsur dan proses hukum.
Paralel dengan proses yudisial yang berlangsung, Presiden juga memberikan arahan perlunya penyelesaian di luar pengadilan (non-yudisial) yang lebih berorientasi pada perlindungan dan rehabilitasi hak korban dan keluarga korban.
Melalui keppres yang telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 26 Agustus 2022, pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu, yang disebut Tim PPHAM. Tim PPHAM berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tim PPHAM mempunyai tugas untuk melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai tahun 2020. Tim juga merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarganya.
Mereka juga merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya ini dapat berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, serta rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.
Pada Pasal 5 Keppres Nomor 17/2022 disebutkan bahwa Tim PPHAM terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Tim pengarah dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebagai ketua serta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebagai wakil ketua. Anggota tim pengarah adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Tim pelaksana beranggotakan 12 orang, yaitu ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota. Ketua tim pelaksana diisi oleh Makarim Wibisono, wakil ketua diisi oleh Ifdhal Kasim, sedangkan Suparman Marzuki menjabat sebagai sekretaris.
Sembilan anggota tim pelaksana adalah Apolo Safanpo, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, As'ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidayat, dan Rahayu.
Keppres ini mulai berlaku pada 26 Agustus 2022 hingga 31 Desember 2022. Masa kerja Tim PPHAM dapat diperpanjang dengan keputusan presiden.
Seperti diberitakan Kompas (22/9/2022), persidangan dugaan pelanggaran HAM berat Paniai tahun 2014 mulai digelar di Pengadilan Negeri Makassar. Jaksa meminta persidangan digelar secara maraton karena waktu yang tersisa hanya 83 hari.
Jaksa mendakwa Mayor (Purn) Isak Sattu (64) terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan terkait peristiwa Paniai di Papua tahun 2014 dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar, Sulsel, Rabu (21/9/2022). Sidang perdana dugaan pelanggaran HAM berat Paniai itu disikapi secara pesimistis oleh keluarga korban dan sejumlah elemen masyarakat sipil.
Dalam kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai, Isak menjadi terdakwa terkait jabatannya selaku perwira penghubung di Kodim 1705/Paniai saat masih aktif. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sutisna Sawati, didampingi empat hakim anggota, yakni Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, Sofi Rahmadewi, dan Abdul Rahman Karim. Adapun jaksa penuntut umum dipimpin Erryl Prima Putera Agoes, Direktur Pelanggaran HAM Berat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Kejaksaan Agung.
Kasus Paniai adalah peristiwa penembakan warga oleh pasukan TNI yang menyebabkan empat orang meninggal dan sepuluh orang luka-luka di Distrik Paniai, Kabupaten Paniai, Desember 2014. Penembakan itu terjadi di tengah unjuk rasa warga yang memprotes pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum TNI. Pemukulan itu dampak dari cekcok mulut saat seorang anggota TNI hampir menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum mengatakan, sebagai komandan militer, Isak Sattu dinilai tidak mampu mencegah terjadinya kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan kepada warga sipil. Padahal, kejahatan ini dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah kekuasaannya.
”Terdakwa sebagai komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer seharusnya mengetahui pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, melakukan serangan yang meluas atau sistematik,” ujar jaksa.