Elektabilitas Gerindra Meningkat Setelah Prabowo Dideklarasikan sebagai Capres
Meski elektabilitas Gerindra meningkat, elektabilitas capres Gerindra, yakni Prabowo Subianto, masih tertinggal dari Ganjar Pranowo.
JAKARTA, KOMPAS — Elektabilitas Partai Gerindra meningkat setelah partai mendeklarasikan ketua umumnya, Prabowo Subianto, menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden 2024. Meski demikian, elektabilitas Prabowo sebagai capres masih tertinggal dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang bertahan di posisi puncak.
Dari hasil survei yang dilakukan Charta Politika Indonesia pada 6-13 September 2022, terlihat bahwa elektabilitas Gerindra mencapai 14,8 persen. Elektabilitas Gerindra ini meningkat jika dibandingkan dengan hasil survei pada akhir Mei lalu, yang sebesar 13,8 persen. Survei kali ini dilakukan terhadap 1.220 responden dengan margin of error 2,82 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya dalam rilis survei ”Kondisi Sosial Politik dan Peta Elektoral Setelah Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak”, yang digelar secara virtual, Kamis (22/3/2022), mengatakan, elektabilitas Gerindra naik setelah Prabowo Subianto dideklarasikan sebagai calon presiden yang akan maju pada Pilpres 2024 mendatang.
Baca juga: Ikhtiar Keempat Prabowo Subianto
Dengan pendeklarasian tersebut, minimal Gerindra menjadi lebih solid dan konsolidasi sudah bisa dilakukan.
”Kita juga tahu partai ini adalah jenis partai yang menyerupai fans club. Kecenderungan dari magnet elektoralnya adalah ketumnya sendiri dan dia akan menjadi magnet ketika ketumnya maju menjadi seorang capres, berbeda situasinya ketika dia tidak lagi menjadi seorang capres. Jadi, spekulasi saya, ini terkait dengan bagaimana kepastian Pak Prabowo untuk maju kembali,” ujar Yunarto.
Sementara itu, dari hasil survei, didapati pula tren elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang justru mengalami penurunan. Akhir Mei lalu, elektabilitas PDI-P masih menyentuh 24,1 persen. Sedangkan pada September ini, elektabilitas PDI-P menjadi 21,4 persen.
Yunarto melihat, penurunan elektabilitas PDI-P ini sebenarnya lebih disebabkan oleh posisi partai tersebut yang dianggap sebagai partai berkuasa (the ruling party). Artinya, jika ada kebijakan pemerintah yang membawa efek negatif dan membawa penurunan kepuasan publik terhadap pemerintah, maka partai yang terasosiasi dengan presiden akan mengalami efek yang sama.
Baca juga: Tekad Bulat PDI-P Mengejar ”Hattrick” Kemenangan Pemilu
Adapun dalam survei kali ini, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan mengalami penurunan hampir 5 persen dibandingkan dengan survei pada empat bulan lalu. Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan saat ini 63,5 persen. Mayoritas publik menyatakan tidak setuju dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Yunarto tidak ingin menduga-duga apakah penurunan elektabilitas PDI-P ini berkaitan dengan situasi di internal partai tersebut yang hingga kini tak kunjung menentukan arah dukungan terhadap sosok capres tertentu. Namun, ia meyakini, ketika ada partai dengan tingkat elektabilitas di atas 20 persen justru mencalonkan sosok capres yang elektabilitasnya tidak sampai satu persepuluh atau hanya sepersepuluhnya, artinya sosok capres tersebut berpotensi malah akan menjadi beban elektoral.
Berbeda ketika partai tersebut mengusung capres dengan tingkat elektabilitas di atas 30 persen, yang artinya jauh di atas tingkat elektabilitas PDI-P, maka sosok capres tersebut berpotensi menjadi pendongkrak dan magnet elektoral dari PDI-P.
”Tetapi, balik lagi, kompleksitas pengambilan keputusan partai, kan, tidak hanya melihat apa yang ada di dalam hasil survei,” ucap Yunarto.
Ganjar masih unggul
Untuk diketahui, dalam survei kali ini, dari 10 tokoh nasional, elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menempati posisi teratas dengan 31,3 persen. Posisi selanjutnya, Prabowo Subianto (24,4 persen), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (20,6 persen), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (7,2 persen), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (2,5 persen), dan Ketua DPR Puan Maharani (2,4 persen).
Apabila dikerucutkan menjadi tiga nama, elektabilitas Ganjar Pranowo merupakan yang tertinggi, yakni 37,5 persen. Sedangkan Prabowo Subianto sebesar 30,5 persen dan Anies Baswedan 25,2 persen.
Selain PDI-P, penurunan elektabilitas juga terjadi pada Golkar. Dalam survei pada akhir Mei lalu, elektabilitas Golkar bisa mencapai 11,3 persen. Namun, pada September ini, elektabilitas Golkar hanya 9,3 persen.
Bersabar
Secara terpisah, seusai acara konsolidasi dengan kepala daerah PDI-P, Kamis sore ini, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sudah menegaskan agar semua kader bersabar terkait capres-cawapres yang akan diusung partainya pada Pemilu 2024. ”Tadi Ibu Megawati menegaskan, ya, urusan capres dan cawapres, semua sabar saja, ada waktunya nanti untuk diumumkan,” katanya.
Baca juga: Rakyat Berembuk Cari Capres, Parpol Pun Menuai Hasil
Megawati, lanjut Hasto, telah berpesan kepada para kadernya agar terus melakukan konsolidasi. Sebab, tiga pilar partai harus terus-menerus berada di tengah rakyat dan tidak perlu ikut dansa politik. Sebab, kerja bersama di dalam mengatasi situasi yang penuh tantangan saat ini adalah jauh lebih penting. Sekaligus menciptakan segala hal yang kondusif.
Ketua DPP PDI-P Bidang Kehormatan Komarudin Watubun menambahkan, pihaknya akan menegakkan disiplin partai terhadap para kader yang arogan dan melanggar kebijakan partai terkait capres dan cawapres. ”Arahan Ibu Ketua Umum agar seluruh kader partai lebih mengedepankan kerja kerakyatan, akan kami kawal dengan sebaik-baiknya,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, Gerindra kini tengah mencari sosok cawapres dari Prabowo untuk bisa semakin mengerek elektabilitas ketua umum partainya tersebut. Sosok cawapres tersebut diharapkan dapat melengkapi Prabowo di Pilpres 2024.
Artinya, dengan Prabowo sebagai sosok nasionalis, maka pendampingnya harus lebih dekat dengan agamis. Begitu pula, apabila Prabowo berlatar belakang militer, maka wakilnya harus merupakan kalangan sipil.
”Itu yang komplementer. Tetapi, menurut saya, itu dinamikanya masih berproses. Kami belum bisa bilang apa-apa karena dinamika masih terus jalan dan berproses. Jadi, diskusi-diskusi tentang hal itu (cawapres) masih terlalu pagi,” tutur Fadli Zon.