Pada Kamis (22/9/2022), Badan Legislasi DPR menyetujui RUU tentang Perubahan Keempat UU MK menjadi inisiatif DPR. Padahal, baru dua tahun lalu UU itu direvisi. Sejumlah poin revisi pun dikritik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat (24/5/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Baru dua tahun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi berlaku, Dewan Perwakilan Rakyat akan merevisi undang-undang tersebut untuk keempat kalinya. Poin-poin revisi masih seputar tentang masa jabatan hakim, mekanisme evaluasi hakim konstitusi, yang oleh sejumlah pakar dinilai sangat membahayakan karena berpotensi mengganggu independensi hakim.
Pada Kamis (22/9/2022), Badan Legislasi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat UU MK menjadi inisiatif DPR. Persetujuan diberikan oleh sembilan fraksi, meski masing-masing fraksi memberikan catatan terhadap draf yang disusun oleh Panitia Kerja (Panja) Revisi Keempat UU MK yang diketuai M Nurdin yang juga Wakil Ketua Baleg DPR.
Sejumlah poin revisi, antara lain, batas usia minimal hakim konstitusi diturunkan menjadi 50 tahun (dari semula 55 tahun seperti diatur di UU No 7/2020), mekanisme evaluasi untuk hakim konstitusi oleh lembaga pengusul (DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung) setelah lima tahun menjabat atau sewaktu-waktu jika ada laporan pengaduan ke lembaga pengusul, pembentukan majelis kehormatan MK, dan terakhir penghapusan Pasal 87 (terkait batas maksimal hakim konstitusi menjabat, yaitu 15 tahun).
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie saat dimintai tanggapan menyebutkan bahwa DPR seharusnya berhati-hati jika hendak merevisi sebuah undang-undang. Apabila dipaksakan masuk Prolegnas 2022, ia mempertanyakan alasannya. Secara proses legislasi, menjadi berbeda jika RUU MK itu hendak dimasukkan untuk Prolegnas tahun 2023. Namun, apabila dipaksakan dibahas pada tahun ini, publik menjadi bertanya-tanya.
”Karena kalau sekarang, kan, sudah bulan September. Sudah ada Prolegnas 2022 yang belum selesai semua. Ada apa, kok, untuk soal yang enggak begitu penting untuk kepentingan nasional gitu kan. Apalagi baru direvisi tahun lalu. Kecuali ada kepentingan mafia untuk kepentingan pribadi-pribadi sendiri atau kelompok sendiri orang yang memutuskan,” ujar Jimly.
Mengenai substansi, Jimly banyak memberikan catatan kritis. Ia menyoroti tentang sistem periodisasi masa jabatan hakim MK (lima tahun) yang kemudian diubah menjadi sistem usia pensiun (70 tahun) di dalam UU No 7/2020. DPR seyogianya memahami ide penggunaan sistem usia pensiun yang awalnya dimaksudkan untuk memastikan independensi hakim dalam proses rekrutmen hakim.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, beberapa hakim konstitusi yang periode jabatan pertamanya berakhir enggan mengikuti kembali proses seleksi oleh lembaga pengusul, dalam hal ini DPR. Ini seperti yang terjadi pada Jimly dan Hamdan Zoelva yang tidak berkenan mengikuti proses seleksi di DPR yang sarat dengan kepentingan politik.
Menurut Jimly, dengan alasan itulah sistem periodisasi jabatan hakim MK diubah menjadi sistem pensiun. Namun, ia mempertanyakan, jika usia minimal hakim MK 50 tahun, maka ada kemungkinan seorang hakim akan menjabat selama 20 tahun. Jangka waktu ini dinilai terlalu lama karena idealnya adalah 10 tahun. Menurut dia, lebih baik usia minimal hakim MK adalah 60 tahun dan pensiun 70 tahun.
Jimly sangat menolak adanya gagasan mengevaluasi hakim MK. Sebab, hal itu akan membuat hakim tersebut tidak independen. ”Tidak ada itu jabatan hakim dievaluasi. Tidak ada di seluruh dunia ini. Ciri negara hukum modern itu adalah independent judiciary atau peradilan yang independen,” ujarnya.
Menurut dia, peradilan yang independen menyangkut peradaban politik baik masa kini maupun masa depan.
”Jadi jangan diganggu independence of judiciary itu dengan macam-macam istilah, mau dievaluasi mau apa. Itu tidak tepat. Apalagi (dievaluasi) sewaktu-waktu. Setiap tahun dievaluasi, dipanggilin. Ya, kan, itu ndak bener,”katanya sembari meyakini bahwa pasal tersebut nantinya pasti akan dibatalkan oleh MK.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengucapkan sumpah hakim konstitusi di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Selasa (7/1/2019).
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani Wardhana menyayangkan revisi keempat UU MK kembali tidak menyentuh persoalan substansial yang dibutuhkan untuk perbaikan kelembagaan MK. Revisi kembali hanya menyentuh hal-hal seperti masa jabatan atau masalah periodisasi dan semacamnya.
Terkait substansi, Allan menyoroti dihapusnya Pasal 87 UU No 7/2020 terkait pembatasan masa jabatan maksimal hakim konstitusi hingga 15 tahun. Hal itu akan membuat hakim konstitusi bisa menjabat lebih dari 15 tahun. Ada beberapa hakim yang diuntungkan oleh ketentuan ini, misalnya Wakil Ketua Aswanto yang bisa menjabat hingga 2034. Padahal, jika mengacu pada UU sebelumnya, ia akan selesai mengabdi di MK pada 2029. Sementara hakim konstitusi Saldi Isra bisa menjabat hingga 2038, dan lainnya.
Ia juga mempertanyakan alasan perubahan usia minimal menjadi hakim MK yang diturunkan dari 55 tahun menjadi 50 tahun. Pengaturan syarat usia minimal calon hakim konstitusi tidak dibarengi alasan yang komprehensif dan konseptual. Tidak ada analisis teoretis atau psikologisnya mengapa syarat usia minimal calon hakim MK diturunkan.
”Ini menunjukkan mereka ragu-ragu berapa usia yang diperbolehkan,” kata Allan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi mengikuti persidangan dengan agenda pembacaan putusan perkara di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022).
Rusak keyakinan publik
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menilai, revisi keempat UU MK yang dilakukan hanya dua tahun setelah revisi ketiga menunjukkan betapa tidak matangnya proses legislasi di DPR. Hal itu sekaligus menunjukkan betapa tidak terencananya proses legislasi.
”Kelihatan betul proses legislasi tidak terencana. Bagaimana mungkin baru diperbaiki lalu diperbaiki lagi. Kan, bukan kewajiban apa-apa yang diputuskan MK harus diikuti dengan perubahan undang-undang,” katanya.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari
Lebih lanjut Feri mengatakan, perubahan tersebut juga tidak memperlihatkan adanya partisipasi bermakna seperti yang diinginkan oleh MK.
”Kelihatan banget bahwa proses legislasi berdasarkan amarah ke MK. Yang pasti ini memperjelas sakit parah proses legislasi kita. Revisi UU MK ini bukti valid betapa grasa-grusunya legislative process. Seperti main-main dan merusak keyakinan publik terhadap proses legislasi,” ujarnya.