Selamat Jalan, Azyumardi Azra, Sang Inteligensia Bangsa
Azyumardi Azra mewariskan mozaik pemikiran yang mencerahkan. Sikapnya yang kritis, independen, dan rendah hati patut menjadi teladan.
JAKARTA,KOMPAS - Khazanah pemikiran Azyumardi Azra semasa hidupnya telah mencerahkan dan mencerdaskan bangsa hingga masyarakat internasional. Pendiriannya yang independen sekaligus kepiawaiannya menjaga jarak dengan penguasa telah menempatkannya sebagai figur terhormat. Dari sang inteligensia bangsa, generasi penerus bisa memetik pelajaran, melanggengkan pemikirannya, saat Azyumardi telah pergi.
Berdasarkan informasi dari Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (18/9/2022), Azyumardi yang kini menjabat Ketua Dewan Pers mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 12.30 waktu setempat, Minggu, di Rumah Sakit (RS) Serdang di Selangor, Malaysia. Mengacu pada keterangan RS Serdang, ia wafat karena kelainan jantung.
Profesor Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu dirawat di RS Serdang sejak Jumat (16/9). Ia dilarikan ke RS itu setelah mengalami sesak napas saat perjalanan dari Tanah Air ke Kuala Lumpur. Di Malaysia, Azyumardi, yang wafat di usia ke-67, direncanakan menjadi narasumber Konferensi Internasional Kosmopolitan Islam yang digelar Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), di Selangor, Sabtu (17/9).
Menurut rencana, jenazah Azyumardi akan diterbangkan ke Tanah Air pada Senin (19/9) dan disemayamkan di UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Baca juga: Azyumardi Azra, Tokoh yang Berani Menjaga Jarak dengan Kekuasaan
Selama sekitar 30 tahun, Azyumardi telah mengabdikan dirinya sebagai pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Posisi puncak di birokrasi kampus pun telah diraih dengan menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode, yaitu 1998- 2002 dan 2002-2006. Baru empat bulan lalu, Azyumardi dipercaya menjabat Ketua Dewan Pers. Sebelum menjadi PNS pada 1985, Azyumardi menjadi wartawan di majalah Panji Masyarakat (1979-1985). Ia juga produktif menulis, termasuk buku.
Pemikiran sekaligus pengetahuannya yang luas membawanya menjadi figur yang dihormati, baik di dalam maupun luar negeri. Setumpuk penghargaan pun diraihnya. Kerajaan Inggris, misalnya, memberinya gelar Commander of the Order of British Empire pada 2010 sehingga Azyumardi menjadi satu-satunya tokoh non-Persemakmuran yang memperoleh gelar bangsawan Sir.
Saat diwawancarai Kompas, pada 2015, Azyumardi mengutarakan soal alasan memilih jalan hidupnya untuk mengabdi pada dunia keilmuan di kampus dan memberi pencerahan dalam lingkungan umat Islam.
”Pengabdian saya memang di UIN Syarif Hidayatullah. Saya tidak punya kantor di tempat lain secara permanen. Dunia kampus adalah dunia yang sepi, soliter, bukan dunia riuh rendah. Di kampus saya bisa mengkritik secara obyektif. Kalau saya di struktur partai atau lainnya, mungkin saya tak obyektif dan ada konflik kepentingan,” tuturnya (Kompas, 25/6/2015).
Baca juga: Menjaga Asa Azyumardi Azra Mengawal Kemerdekaan Pers dan Demokrasi Indonesia
Rendah hati
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Azyumardi merupakan cendekiawan muslim dan intelektual bangsa yang maqom-nya sudah begawan atau ar-rasih fil-’ilmi. Pemikirannya jernih dan komprehensif yang menggambarkan kedalaman ilmu, khususnya ilmu keislaman yang terhubung dengan berbagai aspek kehidupan. Selain itu, sikap dan pemikirannya semasa hidup berkesan karena penuh rendah hati meski ia di puncak posisi sebagai intelektual ternama.
Karena itu, menurut Haedar, penting bagi generasi penerus berguru dan menyerap mozaik pemikiran-pemikiran Azyumardi yang mencerdaskan dan mencerahkan. ”Kami sungguh kehilangan sang inteligensia begawan bangsa,” ujarnya, Minggu (18/9).
Adapun Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Saifullah Yusuf melihat almarhum sebagai akademisi, pemikir, dan penulis yang berkontribusi nyata kepada masyarakat. Sebagai akademisi, Azyumardi tak hanya berurusan dengan kampus, tetapi juga aktivis yang memperjuangkan kepentingan publik. Almarhum pun memiliki hubungan baik dengan berbagai pihak dan sering memberikan masukan kepada pengambil kebijakan.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom menambahkan, Azyumardi memiliki kedekatan dengan penguasa. Namun, ia tetap bisa menjaga pemikirannya agar tetap kritis dan independen.
”Beliau seorang pemikir independen. Kedekatannya dengan pemerintahan Joko Widodo tidak menghilangkan kemandiriannya untuk menyampaikan pandangan-pandangan kristisnya atas kebijakan yang ditempuh Jokowi,” tuturnya.
Menurut Gomar, Azyumardi termasuk salah satu guru bangsa. ”Semoga semua jerih payah beliau membangun keadaban publik bisa kita teruskan bersama,” ucap Gomar.
Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan, meski Azyumardi teruji tak tergoda untuk masuk dalam politik praktis, bukan berarti ia apolitis. Keahliannya sebagai seorang sejarawan Islam tak menghentikannya terlibat dalam wacana kontemporer, khususnya demokrasi, politik, hukum, dan sosial keagamaan.
Ia tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan terus menjadi intelektual yang vokal menyuarakan aspirasi publik.
Ucapan dukacita atas berpulangnya Azyumardi juga disampaikan banyak tokoh negeri ini, antara lain Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Ikatan Alumni UIN (Ikaluin) pun menggelar acara takziah virtual, Minggu malam. Dalam acara itu, turut hadir putra dari Azyumardi, Firman El Amny Azra, yang membagikan momentum terakhirnya melihat ayahnya.
“Bersih putih sepertinya tidak ada beban. Dari situ saya bisa melihat mungkin inilah jalan terbaik. Saya percaya, ayah saya pasti diterima di sana karena meninggalnya, pastinya sedang membagikan dakwah. Membagikan ilmu pengetahuan,” tuturnya.
Dalam memori keluarga, Azyumardi dikenang sebagai sosok yang total memang mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan. “Dari keluarga, saya sebagai anak sudah sangat terbiasa ya dengan kesibukan beliau dari kecil. Kesibukannya terbang kemana-mana, seringkali jarang di rumah. Bahkan ya sempat beberapa kali juga bahkan dari satu tempat ke tempat lain nggak pulang tapi hanya ganti koper di airport bertemu sopir. Ganti koper,” ucap Firman.
Dari pengalaman masa kecil itu, Firman menegaskan bahwa dedikasi Azyumardi untuk ilmu pengetahuan sangat luar biasa dan harus dicontoh oleh generasi muda. Dalam acara itu, istri Azyumardi, Ipah Farihah tidak bisa hadir karena masih lelah dan syok. “Karena kepergian Bapak yang luar biasa mendadak,” ucapnya.
Guru Besar UIN Jakarta Profesor Euis Amalia dan Ketua Umum Ikatan Alumni UIN Jakarta Ace Hasan Syadzily sama-sama menyatakan merasa sangat kehilangan atas wafatnya Azyumardi. “Beliau adalah milik bangsa dan beliau jadi kebanggaan dari dunia Islam. Apa yang telah diletakkan karya-karya intelektual kaliber internasional akan selalu kita kenang menjadi kebanggaan mejadi inspirasi alumni UIN. Juga bagi seluruh bangsa Indonesia,” kata Ace.
Menurut Ace, Azyumardi dikenal dengan berbagai macam prestasi intelektual kelas dunia. Ia mampu menebarkan Islam Indonesia sehingga punya kekhasan sendiri sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. “Buya Azra bukan hanya milik UIN, milik bangsa, dan bahkan milik umat Islam dunia,” tambahnya.
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Amany Lubis mengatakan, tak sebatas ilmu, banyak kebaikan lain yang diwariskan almarhum. “Meninggalkan banyak kenangan baik, bukan hanya ilmu. Amal jariah beliau amat banyak. Tulisannya banyak dan mahasiswa tersebar hingga mancanegara. Bagi saya, beliau adalah sosok yang sangat saya hormati,” ucapnya.
Baca juga: Azyumardi Azra, Muazin Bangsa yang Kritis dan Sederhana
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto yang juga hadir saat acara takziah virtual, turut mengucapkan rasa duka atas nama keluarga besar Wantimpres. “Kiprahnya meneguhkan Islam yang ramah dan moderat serta pentingnya komunikasi damai,” kata Sidarto.
Ia pun menyebut Azyumardi sebagai guru bangsa yang patut diteladani. Azyumardi juga disebut seringkali berdiskusi dengan Wantimpres. Ia juga aktif dalam berbagai kajian tentang Pancasila di berbagai daerah. “Gagasan Islam ramah dan moderat sangat relevan terutama saat sekarang. Bangsa Indonesia kehilangan tokoh yang jadi panutan,” ucap Sidarto.