Seruan Anti-Monopoli Oligarki di Pemilu 2024 dari Pimpinan Perguruan Tinggi di DIY
Para rektor dan pimpinan perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan seruan moral terkait Pemilu 2024. Seruan itu, antara lain, berisi ajakan untuk menjaga pemilu agar tak dimonopoli elite oligarki.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Para rektor dan pimpinan perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan seruan moral terkait dengan Pemilu 2024. Dalam seruan itu, para pemimpin perguruan tinggi, antara lain, mengajak semua komponen bangsa untuk menjamin pemilu berjalan secara partisipatif dan tidak dimonopoli oleh segelintir elite kelompok oligarki.
Seruan moral itu disampaikan oleh rektor dan pimpinan dari 32 perguruan tinggi di DIY, baik negeri maupun swasta. Penyampaian seruan moral dilakukan di depan Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, DIY, Sabtu (17/9/2022) sore.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain UGM, ada sejumlah pimpinan perguruan tinggi yang ikut menandatangani seruan moral itu, misalnya Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Widya Mataram, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
”Pada 2024, Indonesia memasuki babak baru demokrasi dengan penyelenggaraan pemilu serentak secara nasional. Pemilu merupakan aktualisasi nilai, perjuangan kebangsaan, dan pembentukan konsensus demokrasi yang mulia. Jika berlangsung dengan baik, Indonesia akan menjadi contoh negara besar yang mampu berdemokrasi secara dewasa,” kata Rektor UGM Ova Emilia saat membacakan seruan moral itu.
Seruan moral tersebut dari sepuluh poin. Poin pertama adalah mengajak semua komponen bangsa untuk menjadikan pemilu sebagai media pendidikan politik guna pembangunan moral bangsa yang lebih mengedepankan nilai kejujuran, keteladanan, dan keadaban kontestasi dalam sistem demokrasi, dan menghindari persaingan politik kotor demi kekuasaan semata.
Kedua, menyeru semu komponen bangsa untuk menjamin pemilu berjalan secara partisipatif bagi seluruh bangsa Indonesia dan tidak dimonopoli oleh segelintir elite kelompok oligarki yang mengabaikan kepentingan publik.
”Tiga, mengajak semua komponen bangsa untuk menghindari politik biaya tinggi, mencegah politik uang, dan menolak nepotisme yang kian mendangkalkan makna pemilu,” ujar Ova.
Keempat, mengajak semua komponen bangsa untuk menghindari jebakan penyalahgunaan identitas dengan politisasi agama, etnis, dan ras, yang berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan tidak berkesudahan yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Kelima, mendesak para elite politik, penguasa ekonomi, partai politik, dan penyelenggara pemilu untuk memberikan keteladanan, berintegritas, dan bermartabat dalam berdemokrasi sesuai dengan konstitusi.
Keenam, mendorong semua komponen bangsa menjadi warga merdeka yang tidak mudah terpengaruh hasutan, hoaks, dan ujaran kebencian, atau berbagai upaya lain yang menciptakan perpecahan dan pembelahan sosial yang sering terjadi dan berdampak buruk pada masyarakat.
”Tujuh, menuntut partai politik untuk menjamin akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta memastikan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat,” ucap Ova.
Kedelapan, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan kritis dalam penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat sebagai bentuk kualitas kewarganegaraan. ”Sembilan, mengajak semua komponen bangsa untuk tidak menggunakan kebebasan demokrasi secara manipulatif yang justru mencederai hak-hak orang lain atau melanggar konstitusi,” ujar Ova.
Sementara itu, poin kesepuluh adalah mengajak semua sivitas akademika, masyarakat sipil, dan media massa berperan aktif untuk melakukan edukasi publik guna meningkatkan literasi demokrasi dan kebangsaan, serta mengawasi jalannya kekuasaan.
Menyeru semua komponen bangsa untuk menjamin pemilu berjalan secara partisipatif bagi seluruh bangsa Indonesia.
Integritas dan kejujuran
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al Makin, mengatakan, melalui seruan moral itu, para pemimpin perguruan tinggi berharap demokrasi bisa dikembalikan ke fungsinya, yakni untuk menghadirkan check and balance di antara para pihak yang berkuasa. Selain itu, proses demokrasi di Indonesia diharapkan juga bisa kembali diwarnai dengan integritas dan kejujuran.
”Sudah banyak sekali kritik dari para ilmuwan, kritik dari para komentator, kritik dari orang-orang yang bijaksana tentang proses demokrasi yang perlu dipikirkan lagi lebih mendalam untuk kembali pada moral, integritas, dan kejujuran,” kata Al Makin.
Rektor Universitas Widya Mataram Edy Suandi Hamid mengatakan, seruan moral itu diharapkan bisa mengingatkan semua elemen bangsa, termasuk partai politik, untuk mencari pemimpin bangsa yang kompeten, berintegritas, dan memiliki komitmen untuk memecahkan persoalan-persoalan besar bangsa.
”Kita berharap, dengan seruan ini, pemilu yang akan datang akan menjadi lebih baik dan Indonesia segera menjadi negara yang betul-betul maju, sejahtera, berkeadilan,” ujarnya.
Rektor Universitas Sanata Dharma Albertus Bagus Laksana memaparkan, perguruan tinggi memiliki peran untuk ikut menghadirkan kebaikan bersama. Dalam momen pemilu, peran perguruan tinggi juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas proses demokrasi yang berlangsung.
”Universitas diandalkan oleh banyak pihak untuk berperan serta tidak hanya berefleksi secara intelektual akademis, tetapi juga bergandengan tangan dengan kekuatan-kekuatan publik untuk membangun demokrasi dan membangun kesejahteraan umum,” ucap Bagus.
Sementara itu, Rektor UPN ”Veteran” Yogyakarta Irhas Effendi mengatakan, semua komponen bangsa harus menjaga persatuan meskipun berbeda pilihan dalam pemilu mendatang. Selain itu, masyarakat juga diingatkan untuk terus setia kepada Pancasila dan mencintai Tanah Air Indonesia.
”Kita juga harus tetap rela berkorban untuk orang-orang yang barangkali berbeda aspirasi, berbeda latar belakang, dan berbeda agama,” kata Irhas.
Wakil Rektor UGM Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni Arie Sujito menuturkan, seruan moral itu sengaja dikeluarkan jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2024 untuk mencegah terjadi pembelahan di masyarakat, seperti yang terjadi pada beberapa pemilu sebelumnya.
”Ini adalah bagian dari kekhawatiran, kerisauan, sekaligus tanggung jawab. Pengalaman sebelumnya, kan, terjadi pembelahan akibat dari friksi dan ketegangan politik. Itu kalau tidak sejak awal kita ingatkan, hal itu akan terjadi,” ucap Arie.