Gerakan Sosial Dorong Percepatan Perbaikan Parpol
Kecenderungan oligarki dalam parpol menghambat sirkulasi elite. Peran gerakan sosial dibutuhkan untuk mempercepat parpol memperbaiki kaderisasi, perekrutan, dan mendorong roda demokratisasi berjalan baik.
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik niscaya ada dalam sistem demokrasi yang representatif. Namun, dinilai perlu ada perbaikan-perbaikan mendasar yang mencakup kaderisasi dan perekrutan di dalam partai politik melalui sistem merit. Sistem merit ini mengutamakan rekam jejak, prestasi, dan hasil karya nyata dari anggota partai politik yang akan dipromosikan.
”Sehingga tidak tiba-tiba saja dia langsung dipromosi tanpa ada rekam jejak jelas. Tapi, pertanyaannya, apakah kaderisasi dan rekrutmen ini bisa berjalan sendiri atas kesadaran partai politik? Kita sudah menunggu dua dekade, ternyata tidak jalan dengan sendirinya di dalam tubuh partai politik,” kata anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Syarif Hidayat, pada seminar bertema ”Gerakan Sosial demi Demokrasi” yang digelar secara daring, Rabu (14/9/2022).
Tapi, pertanyaannya, apakah kaderisasi dan rekrutmen ini bisa berjalan sendiri atas kesadaran partai politik? Kita sudah menunggu dua dekade, ternyata tidak jalan dengan sendirinya di dalam tubuh partai politik.
Webinar yang dimoderatori anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI, Ramlan Surbakti, tersebut menghadirkan pembicara lainnya, yakni Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sudjito, serta Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi.
Syarif menuturkan, salah satu tolok ukur utama dari bekerjanya sistem demokrasi representatif karena ada partai politik sebagai infrastruktur sistem politik. Mau tidak mau, suka tidak suka, partai politik itu harus ada. Namun, perlu dilakukan suatu perubahan mendasar atau reformasi yang pintu masuknya harus melalui reformasi di parpol itu sendiri.
Baca juga: Sirkulasi Elite Politik Masih Menjadi Tantangan
Partai yang sehat melakukan sirkulasi elite melalui kaderisasi dan perekrutan. Parpol sekarang cenderung oligarki yang berakibat tidak terjadi sirkulasi elite. ”Tapi, yang sekarang, karena oligarki, ya, ditentukan oleh satu atau dua orang. Akhirnya, kader parpol yang maju itu 4 L, lu lagi lu lagi. Artinya, tidak terjadi sirkulasi,” ujar Syarif.
Gerakan sosial diperlukan sebagai kelompok penekan agar parpol ke depan serius memperbaiki kaderisasi dan rekrutmen. “Penguatan gerakan sosial dan pendidikan politik pun perlu dilakukan kepada massa di tingkat bawah. Kalaupun kita perbaiki parpol, kalau masyarakat tidak dibangkitkan kesadaran politiknya, ya, itu juga tidak bisa mendorong roda demokratisasi berjalan secara baik,” katanya.
Penguatan gerakan sosial dan pendidikan politik pun perlu dilakukan kepada massa di tingkat bawah. Kalaupun kita perbaiki parpol, kalau masyarakat tidak dibangkitkan kesadaran politiknya, ya, itu juga tidak bisa mendorong roda demokratisasi berjalan secara baik.
Salah satu kesadaran politik yang perlu ditanamkan kepada masyarakat adalah bahwa pemilu merupakan suatu momen mempertaruhkan nasib masyarakat itu sendiri untuk lima tahun ke depan. Penanaman kesadaran politik seperti ini dibutuhkan untuk meminimalkan praktik politik uang saat pemilu.
“Kalau dia salah memilih karena dibayar, karena vote buying, itu berarti dia sedang menggadaikan nasibnya lima tahun ke depan kepada partai-partai politik dan kandidat-kandidat yang dia pilih dengan cara tadi. Betapa mahalnya. Hanya dengan dibayar dengan Rp 50.000 sampai Rp 200.000 tapi menggadaikan nasib lima tahun ke depan,” ujar Syarif.
Demokrasi deliberatif
Kesadaran politik akan menghindarkan tergadaikannya suara masyarakat atau pemilih. “Sehingga, vote menjadi voice. Tidak (kok) vote minus voice. Kalau ini bisa berjalan, dengan peran juga dari gerakan sosial, terutama teman-teman CSO (civil society organization/organisasi masyarakat sipil), bisa diharapkan (terjadi) demokrasi yang ideal, yang disebut dengan deliberative democracy,” katanya.
Demokrasi langsung sudah banyak dikritik karena tidak dapat bekerja secara optimal. Demokrasi representatif juga banyak digugat karena tidak berjalan secara efektif seperti diharapkan. ”Salah satu upaya menemukan titik temu dari keduanya adalah deliberative democracy, yang menggabungkan antara representative dengan suara langsung dari masyarakat,” ujar Syarif.
Baca juga: Demokrasi Masih Hadapi Banyak Tantangan dan Tekanan
Tantangan yang harus dipikirkan dari sekarang ketika menuju demokrasi deliberatif adalah menyangkut perwakilan dari masyarakat. Hal ini karena dalam demokrasi deliberatif tersebut akan dilibatkan secara langsung peran masyarakat sipil.
”Apakah komunitas atau society secara umum? Kalau misalnya organisasi, (pertanyaannya adalah) organisasi yang mana? Apakah CSO? Dan apakah CSO-nya juga tidak akan mengalami nasib sama seperti partai yang masuk angin juga? Hal-hal ini yang perlu digarap lebih matang ke depan,” kata Syarif.
Terkait reformasi keanggotaan partai, Direktur Perludem Khoirunnisa menuturkan, dalam UU Pemilu atau pilkada disebutkan bahwa proses perekrutan dijalankan secara demokratis dan terbuka. ”Tapi, kita tidak punya instrumen atau indikator demokratis dan terbuka itu seperti apa sehingga semuanya dikembalikan lagi kepada AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) partai,” katanya.
Baca juga: Peran Kaderisasi Parpol Tentukan Kualitas Pilkada
Salah satu hal untuk mendorong perbaikan di internal parpol, menurut Khoirunnisa, adalah dengan mendorong parpol tersebut mempunyai mekanisme saat ingin mencalonkan seseorang. Orang tersebut setidaknya mengikuti kaderisasi di parpol dalam jangka waktu tertentu sehingga berproses dan dapat menjawab tantangan ketika ada politik kekerabatan. Walaupun dia punya hubungan kekerabatan, setidaknya ada proses yang harus dilalui sama halnya dengan kader-kader partai lainnya.
”(Hal tersebut) karena selama ini ada kader partai yang mungkin sudah menjadi kader partai dari bawah, membesarkan partai di bawah, tetapi ketika (tiba) masanya proses pencalonan, dia harus dikalahkan dengan mereka-mereka yang punya modal finansial besar, lebih populer, hasil surveinya lebih tinggi, misalnya, dan ini tentu tidak sehat bagi organisasi partai politik,” ujarnya.
Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi berpendapat, demokrasi deliberatif cocok dengan masyarakat adat. ”Sesungguhnya (demokrasi deliberatif) seperti itulah yang cocok dengan kami, masyarakat adat. (Ada) musyawarah mufakat, membangun konsensus bersama demi kepentingan bersama,” katanya.
Usulan perubahan UU partai, menurut Rukka, merupakan hal mendasar untuk kemudian, pertama, dapat mewajibkan partai politik mengadakan uji kompetensi bagi semua calon legislatif. Kedua, mantan koruptor pun semestinya tidak boleh menjadi caleg karena secara moral sudah cacat.
”Ketiga, tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana menyampaikan kepada parpol-parpol, yang anggotanya ada di DPR, untuk meyakinkan mereka bahwa perubahan UU Parpol ini wajib untuk memastikan sebuah demokrasi yang sehat, untuk bisa mengakomodasi aspirasi genuine dari masyarakat,” kata Rukka.
Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana menyampaikan kepada parpol-parpol, yang anggotanya ada di DPR, untuk meyakinkan mereka bahwa perubahan UU Parpol ini wajib untuk memastikan sebuah demokrasi yang sehat, untuk bisa mengakomodasi aspirasi ’genuine ’ dari masyarakat.
Rukka menuturkan, delegitimasi DPR yang dipilih melalui parpol pun dapat dicek. ”Berapa banyak UU yang ditolak, diprotes, bahkan dibawa ke Mahkamah Konstitusi? Itu menunjukkan bahwa keputusan oleh mereka yang dipilih secara demokratis itu tidak punya legitimasi di mata rakyat. Ini harus menjadi perhatian karena ini lampu merah,” katanya.
Baca juga: Perbaikan Capaian Legislasi Jadi Pertaruhan DPR
Struktur keterwakilan di seluruh Indonesia pun dinilainya tidak adil dengan hanya berdasarkan jumlah penduduk seperti saat ini. Banyak masyarakat adat yang tidak bisa terdaftar sebagai penduduk warga negara yang boleh ikut pemilih karena banyak sekali hambatan kebijakan. ”(Hal ini) termasuk mereka yang berada di dalam kawasan hutan yang bermasalah. Termasuk banyak desa yang tidak bisa bikin apa-apa karena disebut sebagai berada di dalam kawasan hutan,” ujarnya.
Urusan distribusi keterwakilan, menurut Rukka, juga harus dihitung dari kontribusi terhadap pembangunan negara. Misalnya, selama ini selalu disebutkan bahwa yang dipilih oleh pemilih di Jawa karena penduduknya banyak dan padat, itulah yang akan menjadi presiden.
”Tapi, coba kita perhatikan. Kontribusi Pulau Jawa terhadap pembangunan Indonesia itu kecil bila dibandingkan terhadap kontribusi dari wilayah-wilayah adat, yang berada di luar Pulau Jawa, yang kekayaannya dikeruk untuk pembangunan Indonesia. Jadi, harus dihitung dari kontribusi ekonomi terhadap partisipasi dan legitimasi suara untuk menentukan keputusan di negeri ini,” kata Rukka.
Sebelumnya, Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam sambutan pembukaannya menuturkan, antara lain, diperlukan suatu gerakan sosial yang bertujuan membangkitkan kesadaran politik para pemilih agar menggunakan hak pilih secara cerdas. Konkretnya, gerakan sosial tersebut bertujuan agar pemilih memberikan suara hanya kepada partai yang menyetujui substansi dalam sistem pemilu yang disepakati masyarakat pemilih.
Tawarannya kepada setiap partai akan seperti ini: ’bila mengikuti suara rakyat, partai Anda akan survive , tetapi bila menolak mengikuti suara rakyat, partai Anda akan keluar dari gelanggang’.
”Tawarannya kepada setiap partai akan seperti ini: ’bila mengikuti suara rakyat, partai Anda akan survive, tetapi bila menolak mengikuti suara rakyat, partai Anda akan keluar dari gelanggang’. Inilah gerakan sosial, sebagai upaya kolektif para aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang disatukan oleh cita-cita politik yang sama,” kata Satryo.