Sejak satu bulan lalu, PPATK menemukan transaksi tidak wajar dalam beberapa rekening milik Gubernur Papua Lukas Enembe.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain dicekal pergi ke luar negeri, rekening milik Gubernur Papua Lukas Enembe juga diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Pemblokiran sejumlah rekening dilakukan karena PPATK menemukan adanya transaksi yang tidak wajar sehingga perlu dianalisis secara mendalam.
Sebagaimana diberitakan, Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menerima pengajuan pencegahan terhadap Lukas Enembe dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu, 7 September 2022. Pencegahan berlaku selama enam bulan atau hingga 7 Maret 2023.
Selain dicekal, rekening milik Lukas Enembe juga diblokir oleh PPATK. Perihal pemblokiran itu dibenarkan oleh Ketua PPATK Ivan Yustiavandana yang dikonfirmasi melalui pesan singkat pada Selasa (13/9/2022). ”Ada beberapa rekening (yang diblokir),” katanya.
Ivan mengungkapkan, pemblokiran rekening tersebut dilakukan sejak bulan lalu. Namun, Ivan tidak menyebut bahwa pemblokiran tersebut merupakan permintaan KPK. Pemblokiran beberapa rekening Lukas Enembe dilakukan karena PPATK menemukan adanya transaksi yang tidak wajar dan tidak sesuai profil yang bersangkutan sehingga perlu dianalisis.
Hingga saat ini, lanjut Ivan, PPATK masih berkoordinasi secara intensif dengan KPK. Koordinasi sudah dilakukan sejak tiga bulan lalu terkait dengan temuan transaksi yang tidak wajar tersebut. ”Kami mengikuti mekanisme yang ada,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri tidak merespons pertanyaan mengenai perkara yang kini tengah menjerat Lukas Enembe. Namun, kuasa hukum Lukas Enembe, Roy Rening, sebelumnya mengatakan, KPK menetapkan kliennya sebagai tersangka dugaan kasus gratifikasi senilai Rp 1 miliar tahun 2020. KPK menyatakan pemberian gratifikasi bersumber dari APBD yang terkait proyek Pemerintah Provinsi Papua.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berpandangan, tidak terbukanya informasi mengenai Lukas Enembe yang disebut telah ditetapkan sebagai tersangka itu patut dipertanyakan. Sebab, pada pimpinan KPK periode sebelumnya, ketika sebuah surat perintah penyidikan (sprindik) sudah dikeluarkan, biasanya KPK akan segera mengumumkan penetapan seseorang sebagai tersangka. Hal itu berarti KPK sudah memiliki miminal dua alat bukti.
Pemblokiran beberapa rekening Lukas Enembe dilakukan karena PPATK menemukan adanya transaksi tidak wajar dan tidak sesuai profil yang bersangkutan sehingga perlu dianalisis.
Dalam kasus ini, lanjut Kurnia, KPK tampak lambat dalam memberikan penjelasan kepada publik terkait status hukum Lukas Enembe dan perkara yang diduga melibatkannya. Sementara di Jayapura sudah diberitakan adanya massa yang menyatakan dukungan kepada Lukas Enembe ketika Lukas diketahui akan diperiksa penyidik KPK di Markas Brimob Polda Papua meski kemudian Lukas tidak hadir.
”Pergolakan di tengah masyarakat itu karena ada ketidakpastian dari KPK mengenai perkara dan proses penanganan perkaranya. Kalau sudah ada kepastian hukum, maka akan bisa dijelaskan secara utuh sebenarnya bagaimana konstruksi perkaranya,” tutur Kurnia.
Di sisi lain, menurut Kurnia, pemblokiran yang dilakukan PPATK tersebut diharapkan memperkuat dugaan gratifikasi yang dilakukan Lukas Enembe. Dengan proses pembuktian terbalik, akan dilacak harta yang merupakan pendapatannya dan yang merupakan gratifikasi.
Kurnia pun berharap KPK tidak segan-segan menerapkan Padal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pemidanaan bagi mereka yang merintangi proses penyidikan. Hal itu diperlukan untuk memastikan proses penanganan perkara bisa berjalan sebagaimana mestinya.