Papua Barat Daya Segera Susul Tiga DOB Papua Baru
Malam ini, pemerintah, Komisi II DPR, Komite 1 DPD, sepakat agar RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru Papua Barat Daya dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan.RUU ini akan susul tiga DOB yang UU-nya terbit baru-baru ini.
JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Baru Papua Barat Daya selesai dalam waktu kurang dari sebulan. Dua isu krusial yang selama ini menjadi perdebatan, yakni soal lokasi ibu kota negara dan cakupan wilayah, telah mendapat titik temu. Rancangan undang-undang tersebut akan dibawa ke dalam rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pemerintah, Komisi II DPR, serta Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah, dalam rapat kerja, di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (12/9/2022) malam, bersepakat agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Papua Barat Daya dibawa ke tingkat II atau rapat paripurna. Dalam rapat tersebut hadir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa, serta perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU DOB Papua Barat Daya Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, setelah mendengarkan pandangan dari seluruh fraksi di Komisi II DPR, Komite I DPD, dan wakil dari pemerintah, semua setuju bahwa tidak ada lagi isu dan masalah di dalam pembahasan RUU DOB Papua Barat Daya. Untuk itu, RUU tersebut disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna.
“Untuk jadwal rapat paripurna, itu bergantung pada pimpinan DPR. Prinsipnya, tadi, saya sudah menandatangani surat untuk pimpinan DPR agar dijadwalkan,” ujar Doli.
“Untuk jadwal rapat paripurna, itu bergantung pada pimpinan DPR. Prinsipnya, tadi, saya sudah menandatangani surat untuk pimpinan DPR agar dijadwalkan”
Panja RUU DOB Papua Barat Daya melaporkan bahwa pembahasan RUU ini bermula dari kunjungan kerja Komisi II DPR ke Kota Sorong, Papua Barat pada 25-27 Agustus 2022. Tujuan kunjungan kerja tersebut adalah ingin melihat cakupan wilayah calon ibu kota Provinsi Papua Barat Daya. Dalam kunjungan itu, Komisi II DPR didampingi oleh Penjabat Gubernur Papua Barat Paulus Waterpauw, serta perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua barat dan Majelis Rakyat Papua Barat.
Baca Juga: Komisi II: RUU Pembentukan Papua Barat Daya Hanya Ganti Judul
Selanjutnya, pada 29 Agustus 2022, dilakukan rapat kerja untuk penyerahan daftar inventarisasi masalah (DIM) pada RUU Papua Barat Daya, serta pembentukan Panja RUU Papua Barat Daya. Pada 31 Agustus 2022, panja menyelesaikan pembahasan 154 DIM pada RUU Papua Barat Daya selama kurang dari tiga jam.
Awalnya, dalam pembahasan itu, didapati dua isu yang belum mendapat titik temu, yakni lokasi ibu kota dan cakupan wilayah. Namun, dalam rapat panja terakhir pada Senin (12/9) siang ini, kesepakatan telah didapati untuk dua isu tersebut. Ibu kota Provinsi Papua Barat Daya akan berkedudukan di Kota Sorong.
Adapun untuk cakupan wilayah Provinsi Papua Barat Daya, disepakati terdapat enam kabupaten/kota, meliputi Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrau, Kabupaten Maybrat, dan Kota Sorong. Sebelumnya, ada keinginan agar Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fakfak untuk masuk ke dalam Provinsi Papua Barat Daya.
Tito Karnavian mengatakan, sama dengan pembentukan tiga DOB Papua sebelumnya, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, pemerintah optimistis pembentukan DOB Papua Barat Daya ini dapat mempercepat pembangunan di Papua. Selain itu, ia juga meyakini, dengan pembentukan DOB Papua Barat Daya, kesejahteraan masyarakat di Papua dapat meningkat, birokrasi akan lebih pendek, pelayanan publik lebih efisien, dan memberikan afirmatif untuk orang asli Papua.
"Pemerintah optimistis pembentukan DOB Papua Barat Daya ini dapat mempercepat pembangunan di Papua"
Wakil Mendagri John Wempi mengklaim, keputusan di RUU DOB ini sudah sesuai dengan aspirasi yang disampaikan oleh para tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. Ia pun menyebut, timnya sudah bekerja untuk mempersiapkan Papua Barat Daya menjadi provinsi baru, terutama terkait aparatur pemerintahannya.
Memenuhi syarat formil dan materil
Ahmad Doli mengklaim, meski RUU Papua Barat Daya dibahas dalam waktu singkat, namun semua syarat formil dan materil telah terpenuhi. Aspirasi masyarakat pun tak luput untuk diserap. Salah satunya terkait dengan keinginan masyarakat di Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fakfak yang terbelah, yakni sebagian menginginkan tetap menjadi bagian dari Papua Barat sedangkan sebagian lainnya ingin bergabung di Papua Barat Daya.
Untuk memutuskan perbedaan aspirasi itu, DPR, pemerintah, dan DPD menggunakan sejumlah pendekatan penyelesaian. Mulai dari pendekatan wilayah adat, historis, rentang kendali, dan jumlah penduduk.
Secara adat, Kaimana dan Fakfak merupakan bagian dari Bomberay, sehingga jika dimasukkan ke wilayah Sorong, mereka akan menjauh dari wilayah adatnya. Masyarakat di kedua kabupaten itu justru mengusulkan agar ke depan ada pembentukan provinsi Bomberay Raya. Kemudian jika dilihat dari prinsip rentang kendali, jarak dari Kaimana dan Fakfak ke Kota Sorong, ibu kota Papua Barat Daya, lebih jauh ketimbang ke Manokwari, ibu kota Papua Barat. Oleh karenanya, memasukkan kedua kabupaten itu ke Papua Barat Daya dinilai bertentangan dengan prinsip pembentukan DOB yang salah satunya adalah memperpendek rentang kendali.
Selain itu, dari segi jumlah penduduk, mengikutsertakan Kaimana dan Fakfak ke Papua Barat Daya akan menyebabkan ketimpangan jumlah penduduk yang signifikan. Sebab, saat ini total penduduk Papua Barat mencapai 1,2 juta orang. Sebanyak 800 ribu orang di antaranya akan menjadi penduduk Papua Barat Daya. Artinya, hanya akan tersisa 200 ribu penduduk di Papua Barat, jika kedua kabupaten tersebut masuk di Papua Barat Daya.
“Berdasarkan analisis dan pertimbangan empat pendekatan itu, akhirnya DPR, pemerintah, dan DPD sepakat agar Fakfak dan Kaimana tetap berada di Papua Barat. DPR juga merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan agar dalam waktu dekat, Bomberay Raya bisa menjadi provinsi yang baru”
“Berdasarkan analisis dan pertimbangan empat pendekatan itu, akhirnya DPR, pemerintah, dan DPD sepakat agar Fakfak dan Kaimana tetap berada di Papua Barat. DPR juga merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan agar dalam waktu dekat, Bomberay Raya bisa menjadi provinsi yang baru,” kata Doli.
Adapun terkait dengan lokasi ibu kota provinsi, Doli menjelaskan, telah diputuskan untuk tetap berada di Kota Sorong sebagaimana telah dirancang dalam draf awal yang dibuat oleh Komisi II DPR. Sebelumnya, muncul pula aspirasi untuk menetapkan Kabupaten Sorong sebagai Ibu kota Papua Barat Daya. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pada pertimbangan percepatan pembangunan dan kesiapan sarana prasarana. “Berdasarkan pembicaraan antarbupati yang ada di Sorong Raya bersama Gubernur Papua Barat, mungkin nanti juga akan dicari daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Sorong,” kata anggota Fraksi Partai Golkar di DPR itu.
“Berdasarkan pembicaraan antarbupati yang ada di Sorong Raya bersama Gubernur Papua Barat, mungkin nanti juga akan dicari daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Sorong”
Doli menjamin, pembangunan Papua Barat Daya nantinya tidak akan meminggirkan orang asli Papua. Sebab, setiap naskah RUU pembentukan DOB di Papua telah menyertakan aturan tentang kebijakan afirmatif terhadap orang asli Papua. “Itu sudah diatur, mulai dari pengisian formasi pegawai negeri sipil dan lainnya itu letterlijk harus memprioritaskan orang asli Papua, bahkan ada persentasenya 80 persen,” ujarnya.
Tanpa partisipasi publik
Peneliti senior Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas menyayangkan proses pembahasan RUU DOB Papua Barat Daya yang berlangsung singkat. Ini sama halnya dengan tiga RUU Papua lainnya yang sudah disahkan sebagai UU. Pembahasan dalam waktu singkat, kata Cahyo, dapat menihilkan partisipasi bermakna masyarakat yang semestinya dilibatkan secara intens.
Partisipasi bermakna ini terutama diperlukan dari masyarakat adat. Sebab, jika merujuk pada peta wilayah adat Papua Barat, Provinsi Papua Barat Daya yang akan dibentuk berpotensi tidak sejalan dengan teritori wilayah adat. Selain itu, kelompok agama dan perempuan juga semestinya dilibatkan, karena keduanya adalah pihak yang paling terdampak oleh pembentukan DOB.
“Ke depan, proses pembahasan RUU pembentukan DOB yang sangat cepat itu sebaiknya tidak diulangi lagi. Harus ada proses yang deliberatif, membuka ruang publik seluas-luasnya baik secara digital maupun langsung dengan melibatkan tokoh adat secara intensif,” ucap Cahyo.
“Ke depan, proses pembahasan RUU pembentukan DOB yang sangat cepat itu sebaiknya tidak diulangi lagi. Harus ada proses yang deliberatif, membuka ruang publik seluas-luasnya baik secara digital maupun langsung dengan melibatkan tokoh adat secara intensif”
Baca Juga: DOB, Merajut atau Merajah Papua?
Menurut Cahyo, tanpa partisipasi publik yang bermakna, pembentukan DOB hanya akan sebatas menghasilkan perubahan insfrastruktur, namun tidak mendorong kemajuan di bidang pelayanan publik. Hal itu terjadi karena kurangnya legitimasi dari orang asli Papua atau kelompok sipil yang mengakar di masyarakat. Sekalipun pemerintah dan DPR selama ini mengklaim bahwa pembentukan DOB berasal dari aspirasi publik, hal itu bisa dipertanyakan.
Ia juga melihat masih ada sejumlah persoalan terkait dengan pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Salah satunya terkait ketimpangan sumber daya manusia jika dilihat dari tingkat pendidikan dan indeks pembangunan manusia. Begitu juga mengenai kesiapan ekonomi sejumlah daerah yang diprediksi belum mampu menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) ke depan.
“Dalam kondisi tersebut, pembentukan Papua Barat Daya akan semakin meningkatkan ketergantungan daerah pada pusat. Sebab, daerah akan sangat mengandalkan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat,” kata Cahyo. Padahal semestinya ketergantungan ini dihindari, apalagi keuangan negara dalam kondisi yang tak optimal di tengah pandemi Covid-19.
Cahyo pun mengingatkan agar pola pembangunan di Papua Barat Daya ke depan tidak meminggirkan orang asli Papua. Berdasarkan penelitian BRIN, pada 2010 proporsi penduduk asli di Papua sudah mencapai 50 persen. Namun, pemekaran daerah umumnya berdampak meningkatkan arus migrasi yang mendatangkan orang non-Papua dan menggeser orang asli Papua ke wilayah yang belum terbangun.