Penjelasan Pemerintah soal Pengurangan Subsidi BBM Tak Solid
Kenaikan harga BBM ditentang masyarakat. Namun, kebijakan ini semestinya didukung penjelasan yang rinci dengan argumen dan data solid.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komunikasi politik pemerintah dalam menjelaskan rencana dan latar belakang kenaikan harga BBM dinilai masih kurang. Penjelasan secara detail didukung data yang solid akan memudahkan masyarakat lebih memahami kebijakan pengurangan subsidi yang diputuskan pemerintah.
Hal ini terungkap dalam pemaparan hasil survei nasional Indikator Politik terkait sikap publik terhadap pengurangan subsidi BBM, Rabu (7/9/2022), Jakarta. Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, survei dilakukan sebelum keputusan mengenai harga BBM ditetapkan, yakni 25-31 Agustus 2022.
Sebanyak 1.219 responden dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak, validasi, dan screening (metode random digit dialing/RDD) dari populasi di atas 17 tahun atau sudah menikah dan memiliki ponsel. Menurut BPS, 83 persen warga di atas 17 tahun memiliki ponsel. Hasil survei memiliki tingkat kesalahan (margin of error) lebih kurang 2,9 persen, tingkat kepercayaan 95 persen, dengan wawancara melalui telepon.
Dalam survei, persentase responden yang mengetahui rencana kenaikan harga BBM cukup tinggi. Setidaknya 71,8 persen mengetahui atau pernah mendengar berita mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Namun, hanya sepertiga (32,1 persen) responden yang mengetahui bahwa beban APBN membengkak sampai Rp 502 triliun. Sekitar 67,9 persen menjawab tidak tahu. Dari para responden ini, setidaknya 43 persen menjawab percaya dengan berita anggaran subsidi membengkak.
Penolakan kenaikan harga BBM disampaikan mayoritas (78,7 persen) responden. Namun, apabila dilihat dari responden yang menyatakan tahu bahwa anggaran subsidi mencapai Rp 502 triliun pada tahun 2022, setidaknya 20,9 persen setuju dengan kenaikan harga BBM, sedangkan 77,6 persen tidak setuju. Dari responden yang tidak tahu anggaran subsidi membengkak, hanya 16,5 persen yang setuju dengan kenaikan harga BBM, sedangkan 79,2 persen tidak setuju.
Tingkat persetujuan juga relatif lebih tinggi pada responden yang percaya anggaran subsidi mencapai Rp 502 triliun, yakni 27,2 persen, sedangkan 70,1 persen tidak setuju. Pada responden yang tidak memercayai pembengkakan subsidi, hanya 6,9 persen yang menyetujui kenaikan harga BBM. Adapun 92,7 persen tidak menyetujuinya.
Jadi, ada efek dari sosialisasi. Meski overall tetap menolak (kenaikan harga BBM), ada perbedaan (tingkat persetujuan responden yang tahu dan tidak tahu).
”Jadi, ada efek dari sosialisasi. Meski overall tetap menolak (kenaikan harga BBM), ada perbedaan (tingkat persetujuan responden yang tahu dan tidak tahu),” kata Burhanuddin.
Penolakan responden yang memercayai alokasi subsidi membengkak tersebut juga relatif lebih rendah ketimbang mereka yang tidak memercayainya.
Dibeli oleh mereka yang tidak berhak
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira yang hadir menanggapi hasil survei ini menilai narasi yang disampaikan sebagai argumen kebijakan mudah dipertanyakan. Narasi yang kerap digunakan pemerintah, termasuk saat menaikkan harga BBM tahun 2015, adalah lebih baik subsidi BBM dipotong dan dialokasikan untuk hal produktif. Narasi berikutnya, masyarakat yang menikmati BBM bersubsidi adalah kelompok yang mampu secara ekonomi.
Kalau memang BBM dibeli oleh yang tidak berhak, sejak 2014 sampai 2022, apa yang dilakukan pemerintah untuk membatasi penjualan BBM bersubsidi. ”Dari survei, tampak banyak yang meragukan narasi-narasi yang terus diputar,” ujarnya.
Bhima juga menyoroti tiadanya kreativitas dalam mengatasi pembengkakan subsidi. Kebocoran solar bersubsidi ke industri skala besar dan perkebunan skala besar, misalnya, tidak diatasi.
Dari survei, tampak banyak yang meragukan narasi-narasi yang terus diputar.
Selain itu, pembengkakan subsidi senilai Rp 502 triliun yang apabila dilanjutkan bisa mencapai Rp 700 triliun tidak dijelaskan secara rinci.
”Dalam outlook APBN 2022 yang saya kutip dari nota keuangan RAPBN 2023, subsidi BBM hanya Rp 14,6 triliun. Rp 502 triliun itu campur-campur, ada carry over Pertamina, PLN, elpiji juga, tapi kita enggak membahas pembatasan elpiji 3 kg. Yang diklaim adalah Rp 14,6 triliun (subsidi BBM). Ini yang membikin kita juga bingung, apa enggak ada terobosan,” tutur Bhima.
Di sisi lain, pemerintah tidak menunjukkan empati dengan menghemat anggaran yang tidak prioritas. Anggaran belanja pemerintah daerah, misalnya, sebanyak Rp 200 triliun masih mangkrak di bank. Anggaran ini, kata Bhima, ketimbang menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa), sebaiknya digeser dulu untuk menalangi subsidi BBM.
Jadi, kita enggak punya benchmarking mana yang prioritas dan mana yang harus diselesaikan.
Dukungan data kurang
Selain itu, pembayaran bunga utang senilai Rp 400 triliun masih bisa ditunda menggunakan mekanisme penangguhan sementara pembayaran bunga utang kepada kreditor, baik kreditor Bank Dunia, IMF, dan ADB maupun kreditor swasta (DSSI/debt service suspension initiative). Mekanisme ini ada di G20 dan bisa dimanfaatkan negara berkembang yang ruang fiskalnya kritis.
Megaproyek yang tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak semestinya masih bisa ditunda. Bhima mencontohkan, Malaysia, saat membangun ibu kota Putrajaya tahun 1998, juga sempat menunda pembangunan ketika ada krisis finansial Asia demi menyelamatkan daya beli masyarakat. ”Jadi, kita enggak punya benchmarking mana yang prioritas dan mana yang harus diselesaikan,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Philips J Vermonte lebih melihat kebijakan ini diterapkan semua rezim. Jika dilakukan, diperlukan konsistensi. Selain itu, masyarakat harus mendapat penjelasan.
Burhanuddin menambahkan, penjelasan mengenai latar belakang dan dukungan data sebagai latar keputusan menaikkan harga BBM masih kurang. ”Banyak menteri yang bersembunyi di balik Pak Jokowi, padahal tugas mereka menjelaskan secara detail dengan data solid sehingga tidak muncul spekulasi-spekulasi liar. Kenyataannya hanya 32 persen yang tahu argumen yang diberikan pemerintah,” tuturnya.
Selain itu, data harga keekonomian pertalite, misalnya, berbeda-beda antara yang disebutkan Pertamina, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Perekonomian. ”Apa mereka enggak punya grup Whatsapp? Bagaimana masyarakat bisa percaya (kalau data saja beda-beda),” seloroh Burhanuddin.
Oleh karena itu, argumen generik diharapkan tak melulu digunakan. Justru, pemerintah semestinya menunjukkan bahwa pemerintah belajar dari masalah yang dihadapi dari masa ke masa.