Akurasi 93 Persen, Hasil Uji Poligraf Putri Candrawathi Tak Dibuka untuk Publik
Berbeda dengan tiga tersangka pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, hasil uji kebohongan atau poligraf terhadap Putri Candrawathi tak diungkap kepada publik.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dan seorang saksi telah menjalani tes untuk mendeteksi kebohongan atau uji poligraf. Namun, kepolisian tidak membuka hasil uji menggunakan pendeteksi kebohongan terhadap tersangka Putri Candrawathi dengan alasan demi keadilan atau pro justitia.
Sebelumnya, Senin lalu, tersangka Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Brigadir Kepala Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf telah menjalani uji poligraf. Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian Djajadi, ketiganya tak menunjukkan indikasi penipuan atau no deception indicated.
Selasa kemarin, giliran tersangka Putri dan saksi bernama Susi yang menjalani uji poligraf. Adapun tersangka Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, menurut rencana, akan menjalani uji poligraf pada Kamis (8/9/2022).
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo dalam keterangan pers, Rabu (7/9/2022), menolak mengungkap hasil tes uji kebohongan Putri dan Susi. Menurut Dedi, hasil uji poligraf tersebut merupakan konsumsi penyidik.
”Setelah saya berkomunikasi dengan Kapuslabfor dan operator poligraf, hasil poligraf atau lie detector itu adalah pro justitia. Itu konsumsinya penyidik,” kata Dedi.
Menurut Dedi, tingkat akurasi dari alat untuk melakukan uji poligraf yang dimiliki Polri mencapai 93 persen. Jika tingkat akurasinya di bawah 90 persen, lanjutnya, hasil uji poligraf tersebut tidak masuk ranah penegakan hukum atau pro justitia. Adapun alat poligraf yang dimiliki Polri disebutnya didatangkan dari Amerika Serikat tahun 2019.
Oleh karena itu, lanjut Dedi, hasil uji poligraf terhadap para tersangka, termasuk Putri, diserahkan kepada penyidik untuk proses pembuktian di persidangan. Menurut dia, hasil uji poligraf tersebut merupakan petunjuk dan bisa masuk dalam keterangan ahli.
Setelah saya berkomunikasi dengan Kapuslabfor dan operator poligraf, hasil poligraf atau lie detector itu adalah pro justitia. Itu konsumsinya penyidik.
”Penyidik yang berhak mengungkapkan, termasuk nanti penyidik juga menyampaikan di persidangan,” ujar Dedi.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan bahwa hasil uji poligraf bukanlah alat bukti. Sebab, yang dimaksud sebagai alat bukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, keterangan tersangka, dan petunjuk. Petunjuk yang dimaksud adalah kesesuaian di antara dua alat bukti.
Adapun hasil uji poligraf atau tes untuk mendeteksi kebohongan, lanjut Fickar, adalah untuk kepentingan penyidik, yakni untuk mengukur keterangan seseorang berbohong atau sebaliknya. Sementara, di pengadilan, yang berwenang memberikan penilaian terhadap keterangan para saksi dan tersangka adalah hakim.
”Menurut saya, uji poligraf itu hanya berguna di penyidikan, bukan pro justitia. Sebab, di pengadilan, hanya hakim yang boleh menilai apakah betul si terdakwa bersalah atau tidak, dan itu tergantung persesuaian dengan saksi-saksi,” tutur Fickar.
Fickar tidak sependapat jika hasil otopsi oleh kedokteran forensik disamakan dengan hasil dari uji poligraf. Kedua hal itu tidak bisa disamakan karena hasil otopsi berupa visum et repertum merupakan alat bukti surat yang bisa digunakan sebagai pembuktian di pengadilan. Adapun uji poligraf dilakukan terhadap seseorang yang dimungkinkan untuk berbohong atau ingkar di persidangan.
Sebab, seorang tersangka memiliki hak untuk ingkar sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sementara seorang saksi yang disumpah di persidangan memiliki konsekuensi pidana jika berbohong.
Sidang etik
Dalam keterangan kepada pers, Dedi juga menyampaikan bahwa sejak Selasa, komisi etik melangsungkan sidang etik terhadap Komisaris Besar Agus Nurpatria. Sidang diskors pada Selasa pukul 23.00 dan dilanjutkan kembali pada Rabu pukul 13.00. Terdapat 14 saksi yang diperiksa oleh hakim komisi etik, yakni 13 orang hadir secara langsung dan 1 orang hadir secara virtual, yakni Brigjen (Pol) Hendra Kurniawan.
Terhadap Agus, hakim komisi etik memutuskan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran dengan perbuatan tercela. Ia pun dijatuhi sanksi berupa penempatan khusus selama 28 hari dari 9 Agustus sampai 6 September 2022 yang telah dijalani yang bersangkutan dan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai anggota kepolisian. Terhadap putusan tersebut, Agus melakukan banding.
Adapun perbuatan tercela yang dilakukan Agus adalah melakukan perusakan rekaman kamera pemantau (CCTV) yang berada di pos satpam, tidak profesional dalam melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), serta melakukan pemufakatan untuk menghalangi penyidikan.
Menurut rencana, besok akan digelar sidang etik terhadap AKP DC. Namun, dugaan pelanggaran yang dilakukan AKP DC tersebut tidak terkait dengan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice dan hanya diklasifikasikan sebagai pelanggaran berkategori sedang.
”Untuk terkait sidang kode etik obstruction of justice, mungkin akan dilanjutkan minggu depan," terang Dedi.