Kemendagri telah melewatkan waktu untuk melaksanakan tindakan korektif dari Ombudsman RI yang berakhir pada 28 Agustus lalu. Saat ini, ada waktu 60 hari bagi ORI dan Mendagri untuk proses resolusi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI atau ORI berusaha mencari jalan keluar melalui proses resolusi dalam persoalan pengangkatan penjabat kepala daerah sebelum mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden. ORI masih menginginkan Menteri Dalam Negeri membuat peraturan pemerintah dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, Jumat (2/9/2022), mengatakan, Kemendagri telah melewatkan waktu untuk melaksanakan tindakan korektif yang berakhir pada 28 Agustus lalu. Saat ini, ada waktu 60 hari untuk proses resolusi. ”Proses resolusi itu pendekatan upaya jalan keluar dengan Kemendagri agar ada titik temu. Kalau komitmen peraturan pemerintah (PP) dibuat, bisa jadi tidak keluar rekomendasi,” kata Robert saat dihubungi di Jakarta.
Kemendagri telah melewatkan waktu untuk melaksanakan tindakan korektif yang berakhir pada 28 Agustus lalu.
Ia menjelaskan, dalam proses resolusi, ORI bersama dengan pihak terlapor aktif mencari jalan keluar bersama. Rekomendasi kepada presiden merupakan putusan akhir apabila dalam proses resolusi tidak ada itikad baik dari terlapor. Karena itu, Robert berharap ORI dan Kemendagri dapat mencari jalan keluar bersama dalam menyelesaikan persoalan pengangkatan penjabat kepala daerah tanpa harus keluar rekomendasi.
Adapun salah satu tindakan korektif yang dikeluarkan oleh ORI ialah meminta adanya PP dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Menurut Robert, PP menjadi wadah partisipasi yang bermakna dalam proses pengangkatan tersebut seperti yang diharapkan masyarakat sipil.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa Kemendagri menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai payung hukum penunjukan penjabat kepala daerah. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR pada 31 Agustus, Tito mengungkapkan tidak memilih PP atau peraturan presiden (perpres) sebagai payung hukum mekanisme penunjukan penjabat kepala daerah karena dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan aturan lain, terutama dengan aturan mengenai kewenangan penunjukan penjabat oleh Mendagri dan presiden dalam Undang-Undang Pilkada.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), peneliti Perludem, Kahfi Adlan, mengatakan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan yang sifatnya konstitutif untuk menciptakan satu kondisi hukum yang baru berupa aturan pelaksana sebelum adanya penunjukan penjabat kepala daerah.
Kahfi menegaskan, MK merujuk pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Karena itu, kepala daerah yang dipilih melalui mekanisme penjabat kepala daerah juga harus dipilih secara demokratis. MK dalam pertimbangannya meminta adanya aturan pelaksana yang harus menjamin mekanisme pengangkatan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif bagi masyarakat di daerah.
Menurut Kahfi, sejauh ini belum ada keseriusan dari Mendagri dalam menanggapi keputusan MK dan tindakan korektif dari ORI. ”Kita bisa simpulkan bahwa ada tindakan yang serampangan, terutama dalam konteks penunjukan penjabat kepala daerah. Karena lagi-lagi soal aturan pelaksana dan juga soal transparansi dan sebagainya,” ujarnya.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menegaskan, berdasarkan Pasal 86 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengangkatan penjabat kepala daerah harus diatur melalui PP, bukan Permendagri.
Ia mengingatkan, tindakan korektif dari ORI merupakan kewajiban hukum bagi seorang pejabat publik. Hal tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 16 Peraturan Ombudsman Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi atas Prakarsa Sendiri.
Tindakan korektif dari ORI merupakan kewajiban hukum bagi seorang pejabat publik.
”Jadi, sebenarnya karena tenggat yang diberikan sudah lewat, jelas sekali bahwa Mendagri telah melanggar peraturan perundangan, karena peraturan itu, kan, termasuk dalam rumpun bagian peraturan perundangan di Indonesia,” kata Kurnia.
Ia menunggu proses pemberian rekomendasi ORI kepada presiden. Dalam Pasal 38 Ayat (1) UU Ombudsman ditegaskan bahwa rekomendasi itu wajib dijalankan bukan hanya terhadap terlapor, melainkan juga oleh atasan terlapor dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Anggota Divisi Hukum Kontras Andrie Yunus berharap Presiden menegur Mendagri. Bahkan, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan mencopot Tito sebagai Mendagri karena tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan dan mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola penunjukan penjabat kepala daerah sebagaimana disampaikan ORI.