Pencatutan Nama Indikasikan Problem Rekrutmen di Partai Politik
Sebanyak 30 dari 40 partai politik diduga berbuat curang dengan mencatut nama penyelenggara dan masyarakat ke dalam daftar keanggotaan parpol. Ini menunjukkan ada persoalan dalam rekrutmen politik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Setidaknya 592 nama dan nomor induk kependudukan masyarakat diduga dicatut puluhan partai politik untuk memenuhi syarat keanggotaan parpol calon peserta pemilu. Dugaan pencatutan secara masif itu menunjukkan adanya simtom atau permasalahan dalam perekrutan keanggotaan parpol. Kegagalan itu membuat parpol memilih jalan pintas, berbuat curang, agar dapat lolos menjadi peserta Pemilu 2024.
Hingga Selasa (30/8/2022), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 494 nama di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang diduga dicatut untuk keanggotaan parpol. Adapun sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menemukan 98 penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang diduga dicatut oleh parpol. Dengan demikian, jumlah sementara masyarakat yang dicatut sebagai anggota parpol mencapai 592 orang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenti, mengungkapkan, dari 494 nama yang diduga dicatut, 282 orang di antaranya merupakan pengawas pemilu. Sementara 212 lainnya masyarakat yang mengadu namanya dicatut parpol.
Berdasarkan penelusuran Bawaslu, nama-nama tersebut tersebar di 30 parpol dari 40 parpol yang mengunggah data keanggotaan di Sipol. Bawaslu telah menyampaikan surat kepada KPU dan parpol yang diduga telah mencatut nama dan nomor induk kependudukan (NIK) penyelenggara dan masyarakat. ”Atas temuan tersebut, Bawaslu telah menyampaikan saran perbaikan ke KPU untuk menghapus di Sipol dan meminta parpol menghapus nya dari keanggotaan,” ujar Lolly, Selasa (30/8).
Namun, sampai saat ini, parpol belum merespons saran dari Bawaslu untuk menghapus nama dan NIK masyarakat yang dicatut dari daftar keanggotaan. Karena itu, menurut Lolly, Bawaslu masih menunggu respons dari parpol.
Anggota Bawaslu, Totok Hariyono, menambahkan, masyarakat cukup proaktif mengadukan pencatutan keanggotaan parpol ke Bawaslu. Berangkat dari data yang dilaporkan, Bawaslu menelusuri nama dan/atau NIK. Hasilnya, terdapat NIK yang tercantum dalam daftar anggota lebih dari satu parpol. Selain itu, ditemukan pula NIK yang tercantum lebih dari satu kali dalam daftar anggota satu parpol.
Dari 494 nama yang diduga dicatut, 282 orang di antaranya merupakan pengawas pemilu. Sementara 212 lainnya masyarakat yang mengadu namanya dicatut parpol.
Anggota KPU, Idham Holik, menuturkan, surat dari Bawaslu sudah ditindaklanjuti dengan memberikan tanda tidak memenuhi syarat pada nama dan NIK yang diduga dicatut. Saat ini KPU juga tengah memberikan kesempatan bagi parpol untuk mengklarifikasi keanggotaan ganda antarparpol.
Klarifikasi
Selain KPU dan Bawaslu, dugaan pencatutan nama dan NIK oleh parpol juga menjadi temuan para pemantau pemilu. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), misalnya, mendapatkan lima laporan dugaan pencatutan nama dan NIK.
Koordinator Nasional JPPR, Nurlia Dian Paramita mengungkapkan, salah satu nama bahkan dicatut oleh dua parpol sekaligus. Bukan hanya parpol parlemen, melainkan juga partai baru yang kini mengikuti verifikasi administrasi. Dari penelusuran JPPR, sebagian masyarakat yang namanya dicatut mengaku tidak pernah memberikan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) kepada parpol. Mereka juga tidak memiliki kartu tanda anggota parpol.
Para korban pencatutan itu menduga KTP-el disalahgunakan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) yang diikutinya. Ormas tersebut terafiliasi dengan parpol sehingga identitas mereka dapat dengan mudah dicatut menjadi anggota parpol.
Menurut Mita, pencatutan nama harus segera diklarifikasi oleh KPU. Sebab, masyarakat yang dicatut nama dan NIK-nya amat dirugikan. Terlebih jika statusnya merupakan penyelenggara pemilu atau aparatur sipil negara.
Oleh karena itu, KPU mesti mengklarifikasi semua nama yang dicatut, termasuk dari parpol yang pendaftarannya tidak diterima oleh KPU. KPU harus memastikan semua nama tersebut diklarifikasi. Jika ada yang berhalangan memberikan klarifikasi, KPU mesti menjadwalkan ulang dan tidak mengabaikan masyarakat yang tidak bisa memenuhi jadwal klarifikasi. Komitmen KPU harus kuat dan jangan ada pembiaran atas pencatutan keanggotaan.
”Kami khawatir terhadap komitmen KPU kabupaten/kota untuk membersihkan nama masyarakat yang dicatut oleh parpol,” katanya.
Mita menambahkan, temuan dari KPU dan Bawaslu atas dugaan pencatutan keanggotaan parpol cukup mengkhawatirkan. Sebab, jumlah orang yang dicatut cukup banyak dan dilakukan oleh mayoritas parpol yang mendaftar sebagai calon peserta Pemilu 2024. Hal ini menunjukkan kelembagaan parpol tidak siap untuk mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Parpol cenderung tidak melakukan upaya dalam membangun basis konstituen yang valid dan sesuai dengan ideologinya.
Bahkan, kecurangan ini menunjukkan, parpol, termasuk parpol baru dan parpol di parlemen, telah gagal melakukan perekrutan dan kaderisasi kepada masyarakat.
”Saya khawatir parpol baru tidak punya platform yang jelas. Mereka ingin cepat ikut pemilu, tetapi tidak melakukan rekrutmen dan kaderisasi dalam memenuhi persyaratan, melainkan langsung mencari identitas masyarakat sebagai jalan pintas menuju kontestasi,” katanya.
JPPR, menurut Mita, juga telah meminta akses Sipol ke KPU agar pemantau bisa mendapatkan akses yang sama dengan Bawaslu. Sebab, mereka menilai, akses yang diberikan ke Bawaslu kurang optimal sehingga peran pengawas harus ditingkatkan melalui pemberian akses Sipol. ”Akses Sipol perlu dibuka secara transparan agar kecurangan-kecurangan bisa ditemukan,” katanya.