Hasil jajak pendapat Litbang ”Kompas” yang dilakukan pekan lalu mengungkap persepsi publik bahwa saat ini kontrol atau pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan sudah semakin baik.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Publik menilai saat ini pengawasan masyarakat terhadap pemerintahan sudah semakin baik. Salah satunya dalam hal penegakan hukum. Peran masyarakat sipil yang semakin kuat dan bersatu akan memperbaiki kondisi demokrasi yang beberapa tahun terakhir dinilai mengalami pemburukan.
Dalam negara demokrasi, masyarakat sipil berperan mengawasi dan mengevaluasi jalannya pemerintahan. Masyarakat sipil menjadi penyeimbang atas dominasi negara sehingga mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut. Perhatian publik yang begitu intens dalam mengawal kasus penembakan Brigadir J yang melibatkan jenderal bintang dua di lingkup kepolisian telah memberi sinyal bangkitnya kekuatan masyarakat sipil. Masyarakat sipil bersatu mengawal penegakan keadilan.
Situasi ini sedikit banyak meredakan polarisasi yang selama ini mewarnai ruang publik kita. Media sosial yang selama ini riuh dengan pendapat yang selalu terdikotomi kini lebur dalam empati yang sama. Pengetahuan diarahkan untuk menguji fakta-fakta dalam mengungkap kebenaran dan keadilan.
Kekuatan masyarakat sipil yang bersatu ini menjadi modal kuat menjelang penyelenggaraan pemilu dua tahun ke depan. Muncul harapan bahwa polarisasi bisa diredam dan masyarakat lebih bijak untuk tak jatuh ke dalam polarisasi. Dengan demikian, demokrasi akan lebih baik.
Sebagaimana laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) secara reguler, Indeks Demokrasi Indonesia menurun sejak 2016. Pada tahun itu, Indeks Demokrasi Indonesia mendapat skor 6,97, turun dibandingkan tahun 2015 yang berada di skor 7,03. Penurunan skor terus berlanjut hingga tahun 2020 dengan angka 6,30.
Dari rentang skala 0-10, semakin tinggi skor, semakin baik kondisi demokrasi suatu negara. Hal ini berarti, selama lima tahun kondisi demokrasi Indonesia cenderung memburuk. Skor pada 2020 merupakan yang terendah sejak EIU menyusun Indeks Demokrasi pada 2006. Namun, di tahun 2021, Indeks Demokrasi Indonesia membaik dengan skor 6,71.
Demokrasi Indonesia masih digolongkan oleh EIU sebagai demokrasi yang cacat (flaweddemocracy). Maknanya, masih terdapat kekurangan dalam kehidupan berdemokrasi meski tentu ada pula kelebihannya.
Salah satu aspek yang dinilai dalam Indeks Demokrasi versi EIU ini adalah kebebasan masyarakat sipil. Pada tahun 2021, Indonesia pada aspek ini mendapat skor 6,18, naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mendapat skor 5,59. Dengan kian menguatnya peran masyarakat sipil, kita optimistis kondisi demokrasi akan terus membaik.
Kebebasan sipil
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pekan lalu mengungkap persepsi publik bahwa saat ini kontrol atau pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan sudah semakin baik. Hal ini disampaikan oleh mayoritas responden (60,8 persen). Hanya 35 persen yang menyatakan sebaliknya. Namun, diakui oleh 77,3 persen responden, polarisasi atau keterbelahan masyarakat dapat memperlemah peran masyarakat sipil dalam mengawasi pemerintahan.
Jika dirunut berdasarkan tiga bentuk pengawasan yang lazim dilakukan masyarakat sipil, bentuk yang dianggap efektif dan sangat efektif adalah kebebasan masyarakat sipil dalam mengekspresikan pemikiran atau pendapatnya melalui berbagai platform, termasuk media sosial. Sebanyak 81,5 persen menyatakan demikian.
Terdapat 14,4 persen responden yang menyatakan bentuk itu tak efektif atau sangat tidak efektif. Jawaban ini muncul ditengarai akibat adanya kekhawatiran publik soal kebebasan berpendapat masih diintai oleh jeratan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sementara itu, pengawasan dalam bentuk unjuk rasa terkait kebijakan pemerintah dan partisipasi dalam pembahasan undang-undang saat ini dinilai berada di derajat lebih rendah. Unjuk rasa hanya dianggap efektif oleh 66,4 persen responden, sedangkan partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang dianggap efektif oleh 68,5 persen responden.
Terkait unjuk rasa, meskipun masyarakat dari berbagai elemen dapat melakukan aksinya dengan turun ke jalan, dampak dan daya dorongnya untuk perubahan kebijakan pemerintah sering kali tak sesuai harapan. Misalnya terkait kebijakan ekonomi, seperti kenaikan upah dan stabilisasi harga-harga kebutuhan pokok, serta unjuk rasa terkait pemberlakuan atau perubahan undang-undang.
Partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang juga terasa minim. Hal itu terlihat dari pembahasan sejumlah undang-undang yang dikebut pemerintah dan DPR yang banyak menjadi sorotan publik, seperti UU Cipta Kerja, UU tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, atau pembahasan RKUHP.
Selain itu, arah perbaikan demokrasi juga masih dibayangi oleh polarisasi yang mudah dipicu perbedaan preferensi politik. Publik menilai, polarisasi lebih mudah terjadi jika terkait dengan isu-isu politik dan pemerintahan ketimbang isu terkait kemaslahatan bersama, seperti isu kesehatan atau penegakan hukum.
Sebanyak 55,2 persen responden menyatakan masyarakat terbelah terkait dengan isu politik, seperti pemilu atau pencapresan. Adapun 58,5 persen responden juga menganggap masyarakat terbelah terkait isu pemerintahan, seperti soal pemindahan ibu kota negara. Bisa jadi ini lebih karena masalah fokus atau prioritas pembangunan yang dianggap tidak tepat oleh sebagian masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat lebih mudah bersatu dan bersikap imparsial jika itu terkait isu penegakan hukum (50,1 persen). Hal itu terbukti pada kasus penembakan Brigadir J yang menjadi sorotan publik selama 1,5 bulan terakhir. Begitu juga terkait masalah kesehatan (69,4 persen).
Publik menyatakan, rendahnya literasi atau tingkat pengetahuan/pendidikan masyarakat menjadi faktor utama pemicu keterbelahan yang dapat mengancam demokrasi (34,3 persen). Disusul oleh penyebaran secara masif informasi yang tidak benar atau hoaks (29,8 persen) dan keberadaan orang-orang yang kerap memprovokasi dan memperkeruh persoalan yang sering disebut sebagai pendengung (17,4 persen).
Namun, publik masih memiliki keyakinan di masa mendatang bahwa masyarakat sipil tetap dapat berperan dalam melakukan kontrol terhadap pemerintahan. Masyarakat tidak ingin demokrasi kita berjalan mundur.