Kasus Ferdy Sambo Cermin Persoalan Struktural di Polri
Psikolog forensik Reza Indragiri mengungkap, personel polisi tahu persis yang sebabkan mereka alami degradasi adalah atasan. Ketika publik ditenangkan dengan narasi bahwa banyak polisi baik, tetap tak terjawab jumlahnya.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dinilai bukan persoalan oknum atau individu, melainkan merupakan masalah organisasi. Penegakan hukum harus diikuti dengan pembenahan terhadap personel Polri di masa pendidikan dan pembinaan ketika bertugas.
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berpandangan, kasus yang melibatkan Ferdy Sambo tersebut memunculkan pertanyaan, apakah itu kelakuan jahat (misconduct) individu atau sebagai masalah organisasional. Sebab, jika ini dilihat sebagai ”buah” dari sebuah pohon, maka bisa jadi institusi tersebut sudah membusuk.
”Maka ini masalah yang sifatnya sistemik, masalah organisasi. Ini masalah terstruktur,” kata Reza dalam webinar ”Masa Depan Reformasi Lembaga Penegak Hukum” yang diselenggarakan IM57+ Institute, Sabtu (27/8/2022).
Reza memaparkan, kasus tersebut memunculkan pertanyaan, seberapa banyak polisi oknum seperti itu ada di kepolisian. Sebaliknya, ketika publik coba ditenangkan dengan narasi bahwa banyak polisi yang baik, tidak terjawab pula berapa sebenarnya jumlah polisi yang baik.
Menurut Reza, berdasarkan survei yang pernah dibuat terhadap personel kepolisian, tindak kejahatan pertama kali dilakukan seorang anggota polisi persis setelah selesai menjalani pendidikan atau ketika masuk penugasan atas pengaruh atasan. Agar bisa memperbaiki diri, masih dalam survei, mereka membutuhkan penguatan dan keteladanan dari pimpinan atau atasan langsung serta dari senior di kepolisian.
”Poin menariknya bahwa personel polisi itu tahu persis bahwa yang menyebabkan mereka mengalami degradasi adalah atasan sekaligus. Bahwa untuk memperkuat mereka, butuh dukungan dari atasan,” kata Reza.
Di sisi lain, institusi Polri selama ini tidak membangun barikade untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh personelnya. Kalaupun terjadi pelanggaran, tidak dilakukan penindakan atau sanksi tegas. Sementara, muncul suatu sub kultur menyimpang yang ditandai dengan kecenderungan atau kebiasaan untuk menutupi penyimpangan atau kejahatan rekan sejawatnya. Bahkan, bisa jadi terbentuk konsorsium tertentu sebagaimana isu yang muncul belakangan ini.
Untuk memperbaiki hal itu, penindakan bagi mereka yang melanggar adalah jalan yang biasanya diambil. Namun, dari riset yang pernah dilakukan, penindakan terhadap personel kepolisian yang bermasalah tidak berdampak signifikan dalam menghilangkan pelanggaran.
Institusi Polri selama ini tidak membangun barikade untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh personelnya. Kalaupun terjadi pelanggaran, tidak dilakukan penindakan atau sanksi tegas.
Benahi lembaga pendidikan
Oleh karena itu, Reza berpandangan, perbaikan yang terdepan adalah membenahi lembaga pendidikan serta memberikan pembinaan secara terus menerus. Selain itu, seorang personel di tempat penugasan, mekanisme pembinaan dan supervisi bisa dibangun dengan melibatkan atasan atau personel senior sebagai mentor.
”Lembaga pendidikan dan sumber daya manusia merupakan dua sentra yang sangat strategis untuk membenahi persoalan di lembaga penegakan hukum. Masalahnya, orang-orang yang masuk lembaga pendidikan tampaknya tidak antusias. Bahkan, sepertinya yang masuk adalah personel yang bermasalah atau ruang bagi mereka yang mau purnatugas,” ujar Reza.
Menurut Reza, alih-alih menghabiskan energi yang besar pada penindakan, ia menilai pembenahan pada Polri akan lebih efektif jika dilakukan pada aspek pendidikan. Sebab, pengaruhnya akan lebih bersifat menyeluruh, tidak parsial.
Terkait kasus yang terjadi di tubuh Polri, Dewan Penasihat IM57+ Institute Novel Baswedan meyakini bahwa kejahatan yang memperlihatkan adanya kelompok atau faksi khusus tersebut berawal dari penyimpangan atau pelanggaran kecil. Penyimpangan yang tidak terdeteksi itu menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik penegak hukum maupun pihak eksternal, dengan memanfaatkan kewenangan penegak hukum.
”Jika dibiarkan, maka terbentuk kelompok-kelompok yang ketika itu terakumulasi menjadi kelompok yang cukup besar dan menguasai atau dominan di dalam lembaga penegak hukum. Tapi saya yakin itu tidak hanya terjadi di satu institusi penegak hukum saja,” tutur Novel, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga mantan anggota Polri ini.
Kelompok semacam itu, lanjut Novel, berpeluang untuk dimanfaatkan demi kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik. Dengan demikian, terjadi korupsi di sektor penegakan hukum yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan negara.
Oleh karena itu, Novel mendesak agar dilakukan perbaikan di sektor penegakan hukum secara menyeluruh. Sebab, ia meyakini yang terjadi saat ini hanyalah puncak dari gunung es dan masih ada banyak masalah di baliknya.
Perlunya perbaikan secara menyeluruh juga diungkapkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurut Usman, saat ini institusi kepolisian dinilainya sedang terjatuh di lubang yang terdalam pasca-transisi dan perubahan positif yang telah dilakukan pascareformasi. Kejatuhan itu menyangkut masalah yang sifatnya struktural karena melibatkan banyak personel.
”Tampak bahwa polisi memiliki ketergantungan pada pihak lain, yakni pada sumber-sumber yang bukan sumber legitimasi hukum, melainkan justru dari sumber di luar atau sumber ilegal, seperti judi dan tambang,” kata Usman.
Usman mengamini bahwa munculnya kelompok-kelompok di dalam tubuh kepolisian yang memanfaatkan kewenangan untuk mendapatkan keuntungan itu berawal dari penyimpangan kecil. Kompetisi yang terjadi di antara mereka berakibat pada melemahnya loyalitas kepada negara karena lebih mementingkan sumber yang menguntungkan mereka.
Munculnya kelompok-kelompok di dalam tubuh kepolisian yang memanfaatkan kewenangan untuk mendapatkan keuntungan itu berawal dari penyimpangan kecil.
Dari pucuk pimpinan
Untuk memperbaiki hal itu, Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat STH Jentera Law School Asfinawati berpandangan, pembenahan bisa didorong melalui pucuk pimpinan institusi kepolisian dengan dibarengi desakan publik. Pembenahan juga mungkin dilakukan dengan membenahi peraturan terkait penegakan hukum. Yang paling sulit adalah dengan melakukan reformasi sistem hukum secara keseluruhan.
Dari kondisi yang ada saat ini, menurut Asfinawati, pembenahan itu bisa dilakukan dengan desakan terus-menerus dari masyarakat agar institusi kepolisian melakukan reformasi. Jika hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan terjadi pembenahan atau perbaikan.