PDI-P Sebut Pilpres Idealnya Hanya Dua Paslon, Demokrat: Justru Memperbesar Polarisasi
Ketua Bapilu Partai Demokrat Andi Arief menyatakan polarisasi dinilai tak terhindari jika Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon. Namun, pendapatnya ditepis PDI-P karena pandangan itu sesuai ambang batas capres.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, Nobertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrat menilai usulan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto terkait idealnya Pemilihan Presiden 2024 hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden tidaklah beralasan. Justru, jika hal tersebut yang terjadi, polarisasi tidak akan terhindarkan.
Sebagaimana diberitakan, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyebut, idealnya, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanya diikuti dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Hal ini disebabkan kondisi bangsa yang baru mengalami pandemi Covid-19 dengan dampak yang dahsyat. Pertimbangan lainnya adalah pemulihan ekonomi yang belum begitu baik, persoalan geopolitik perang Rusia-Ukraina, serta ketegangan yang terjadi di Laut China Selatan.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Arief saat ditemui di kantor DPP Demokrat, Jakarta, Jumat (26/8/2022), mengatakan, usulan Sekjen PDI-P tersebut tidak cukup beralasan. Begitu pula dengan alasan negara masih dalam situasi pandemi Covid-19 serta untuk penghematan anggaran, menurut Andi, argumentasi tersebut tidaklah relevan.
Dasar argumentasi karena Covid-19 tidak tepat. Secara anggaran juga masih terjangkau.
”Dasar argumentasi karena Covid-19 tidak tepat. Secara anggaran juga masih terjangkau,” ujar Andi.
Alih-alih melihat keterkaitan alasan tersebut dengan pelaksanaan Pemilu 2024, Andi justru melihat wacana yang dilontarkan Hasto itu sebagai bagian dari strategi dan upaya PDI-P untuk memenangi Pemilu 2024. Andi menduga hal itu terkait dengan sosok tertentu yang hendak dicalonkan PDI-P dalam kontestasi pemilihan presiden pada 2024.
”Artinya, ada calon yang mungkin kuat yang akan diusung PDI-P pada Pilpres 2024. Ada simulasi yang menyatakan bahwa calon PDI-P kalau cuma dua pasangan itu menang. Itulah pasti,” tutur Andi.
Andi menambahkan, jika kontestasi pilpres hanya diikuti dua paslon presiden-wakil presiden, kemungkinan terjadinya polarisasi semakin besar. Berkaca dari negara lain yang pemilihan presidennya hanya diikuti dua paslon, seperti Brasil, polarisasi bisa terjadi tidak hanya berupa agama, tetapi bisa juga terkait yang lain, termasuk sosial ekonomi. Oleh karena itu, Andi menilai wacana pilpres hanya diikuti dua paslon semata-mata terkait dengan strategi PDI-P.
Efisienkan biaya
Secara terpisah, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira sependapat dengan pandangan Hasto soal pilpres dengan hanya dua paslon. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, secara konstitusional diatur bahwa capres yang memenangi kontestasi pilpres harus didukung oleh 50 persen + 1 untuk bisa maju sebagai capres.
Artinya, jika pilpres hanya dua paslon, pemilu hampir pasti hanya berlangsung satu putaran. Dengan begitu, ini akan lebih mengefisienkan pembiayaan demokrasi dari segi finansial ataupun waktu.
Anggaran pilpres untuk putaran kedua bisa dihemat, begitu pula bangsa ini bisa lebih berkonsentrasi untuk bekerja menghadapi berbagai tantangan lain yang tidak kalah penting.
”Anggaran pilpres untuk putaran kedua bisa dihemat, begitu pula bangsa ini bisa lebih berkonsentrasi untuk bekerja menghadapi berbagai tantangan lain yang tidak kalah penting,” ucap Andreas.
Dari segi proses politik, lanjut Andreas, ini juga akan lebih memudahkan pembentukan positioning pemerintahan ke depan sejak awal. Sebab, yang memenangi kontestasi berada di pemerintahan, sementara yang kalah berada di luar pemerintahan. Jika lebih dari dua pasangan, justru akan menimbulkan perombakan positioning yang menghadapi putaran kedua. Tentu, hal ini akan berakibat pada kerekatan relasi proses politik ke depan.
”Namun, tentu ini semua sangat bergantung pada proses dialog dan deal politik elite yang akan berlangsung dalam masa pra-pendaftaran capres-cawapres,” ujar Andreas.
Ketiga, menurut Andreas, potensi terjadi polarisasi, terutama soal politik identitas, tidak bergantung pada dua pasangan, tiga pasangan, atau lebih yang bertarung di pilpres nanti. Namun, itu akan lebih bergantung pada satu pasangan capres-cawapres nanti. Mereka harus sadar bahwa penggunaan politik identitas di Indonesia akan sangat berbahaya bagi polarisasi politik yang bisa mengarah pada keretakan sosial.
”Kasus Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta 2017 justru terjadi berawal dari tiga pasangan cagub-cawagub (calon gubernur-calon wakil gubernur) yang bertarung di putaran pertama dan semakin meruncing justru pada putaran kedua,” kata Andreas.