Komnas HAM mengaku telah mengirimkan surat dan berkomunikasi dengan pihak pemerintah untuk membahas masalah Munir. Namun, belum ada respons yang kuat dari Presiden untuk membahas kasus Munir.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dianggap lamban dalam menetapkan kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib, sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, kasus ini sudah terjadi hampir 18 tahun yang lalu dan sudah dilakukan pengkajian selama dua tahun. Apabila sungguh-sungguh, Komnas HAM dianggap bisa melakukan penyelidikan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti mengungkapkan, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) telah bertemu dengan komisioner Komnas HAM dan telah disampaikan hasil kerja selama dua tahun tim kajian data, fakta, dan pendapat hukum kasus pembunuhan Munir.
Dalam pertemuan tersebut, kata Fatia, ada aspek hukum yang dapat ditindaklanjuti dengan adanya penyelidikan oleh tim ad hoc yang akan segera dibentuk. Nama-nama yang bisa menjadi anggota tim ad hoc tersebut harus segera disetorkan kepada Komnas HAM sebelum 6 September 2022.
”Kami juga memberikan beberapa catatan karena dalam penyelidikan yang sangat lama dalam kurun waktu dua tahun itu sangat mepet waktunya sampai ditetapkan sekarang harus ada tim ad hoc, padahal itu semua banyak proses yang sudah berlalu, tetapi tidak cukup efektif untuk memberikan sebuah alarm tertentu kepada Komnas HAM untuk bergerak lebih cepat,” kata Fatia di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Ia menegaskan, ketika tim pencari fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir dibentuk, hasilnya menunjukkan adanya unsur-unsur terstruktur, sistematis, dan masif. Kejahatan itu dilakukan untuk membunuh salah satu pembela HAM pada masa itu.
Menurut Fatia, apa yang dilakukan Komnas HAM saat ini sudah cukup lama. Namun, pada akhirnya hasilnya masih akan melakukan penyelidikan lagi. Ia mengapresiasi apa yang sudah dilakukan, tetapi sudah terlalu lama dan berlarut-larut. Komnas HAM seharusnya dapat menjamin presiden untuk menindaklanjuti dan mendorong Kejaksaan Agung untuk segera memproses kasus ini.
Fatia juga berharap pembentukan tim ad hoc dilakukan secara transparan dan melibatkan elemen masyarakat sipil. Proses kerja tim ad hoc tersebut juga harus dilakukan pengawasan dengan melibatkan ahli dari dalam dan luar negeri.
Mantan anggota TPF kasus meninggalnya Munir yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan lambatnya proses hukum di Komnas HAM. Menurut Usman, salah satu penyebabnya adalah Komnas HAM menerapkan mekanisme yang bertingkat-tingkat untuk merespons laporan terkait kasus pembunuhan Munir.
Menurut Usman, Undang-Undang Pengadilan HAM tidak mengenal mekanisme bertingkat dalam penyelidikan. Apabila Komnas HAM sungguh-sungguh, kata Usman, cukup membentuk keputusan tentang pembentukan penyelidikan dan gunakan seluruh wewenang Komnas HAM yang ada dalam undang-undang tersebut untuk memanggil saksi, memeriksa lokasi, mengundang ahli, dan seterusnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sangat bergantung pada komitmen dari presiden, pemerintah, dan DPR. Komnas HAM menyampaikan telah mengirimkan surat ke presiden untuk memastikan penegakan hukum kasus Munir dengan memerintahkan Kepala Polri untuk memeriksa kembali orang-orang yang diduga menjadi pelaku.
Menurut Arif, selain pelaku pembunuhan yang telah diadili seperti Pollycarpus Budihari Priyanto, ada pelaku lain yang turut serta merencanakan pembunuhan atau auktor intelektualnya. Mereka seharusnya juga diungkap dan tidak boleh ada impunitas.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik membenarkan telah mengirimkan surat dan berkomunikasi dengan pihak pemerintah untuk membahas masalah Munir. Namun, belum ada respons yang kuat dari presiden untuk membahas kasus Munir.
Taufan menolak anggapan proses di Komnas HAM bertingkat. Ia menjelaskan, tahapan pertama yang dilakukan sebelum memutuskan suatu kasus sebagai pelanggaran HAM berat adalah melalui pengkajian untuk mencari argumentasi hukum yang kuat. Selanjutnya, didiskusikan dengan ahli hukum. Jangan sampai ketika sudah diputuskan sebagai pelanggaran HAM berat, terjadi polemik hukum yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Ia juga telah meminta masyarakat sipil untuk mengusulkan nama-nama yang bisa menjadi anggota tim ad hoc di luar komisioner Komnas HAM. Menurut Taufan, orang tersebut tidak hanya memiliki kemampuan dan kredibilitas, tetapi namanya harus punya pengaruh besar agar kasus ini bisa ditangani.