Protes Mahasiswa Warnai Acara Peluncuran Sosialisasi RKUHP
Sambil membawa poster bertuliskan ”Semua Bisa Kena” dan ”Stop Kriminalisasi Urusan Privat”, sejumlah mahasiswa dan aktivis melontarkan protes. Protes diluapkan saat Wamenkumham Eddy OS Hiariej tengah presentasi RKUHP.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memulai sosialisasi dan dialog publik terhadap pasal-pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dialog publik yang setidaknya akan diselenggarakan di 11 kota dan melibatkan sembilan kementerian/lembaga tersebut akan dilakukan selama sebulan ke depan.
Pemerintah secara resmi memulai sosialisasi dan dialog publik ditandai dengan acara peluncuran yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (23/8/2022). Kegiatan ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej, serta tim penyusun RKUHP.
Bersamaan dengan itu, Komisi III DPR juga mengundang Dewan Pers dan Ikatan Dokter Indonesia untuk didengarkan masukannya mengenai RKUHP. Seperti diketahui, Dewan Pers sebelumnya mengajukan keberatan terhadap sejumlah pasal di RKUHP yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers.
Saat acara peluncuran sosialisasi dan dialog publik RKUHP, Mahfud MD menjelaskan alasan KUHP harus diganti. Menurut dia, hukum merupakan pelayan masyarakat di mana hukum tersebut berlaku. Selaku pelayan masyarakat, hukum haruslah memuat atau berisi hal-hal yang sesuai dengan tempat dia berlaku. Apabila masyarakat berubah, hukum pun harus berubah.
Baca juga : Menggugat Semangat Dekolonisasi di RKUHP
”Karena masyarakat Indonesia sudah berubah, dari sebelumnya terjajah menjadi merdeka, hukum kolonial harus diganti dengan hukum nasional. Oleh karena itu, politik hukum perubahan KUHP itu merupakan perintah pertama pada hari pertama UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945,” ujarnya.
Pembuatan hukum pidana nasional sudah dimulai pada 1963 atau lebih kurang 59 tahun lalu. Politik hukum RKUHP, kata Mahfud, menganut double track system, yaitu dengan mengatur sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan ini belum diatur di dalam KUHP yang berlaku saat ini. Selain itu, RKUHP juga memberi tempat penting bagi keadilan restoratif dan mengakui hukum yang hidup di dalam masyarakat sepanjang berdasarkan prinsip Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Dalam sidang kabinet terbatas pada 2 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo meminta agar RKUHP kembali disosialisasikan kepada masyarakat. Presiden meminta kementerian dan lembaga untuk mendiskusikan RKUHP ini dengan para akademisi, organisasi kemasyarakatan, organisasi mahasiswa, organisasi profesi, dan elemen masyarakat yang lain. Dalam konteks inilah, pemerintah kembali melakukan sosialisasi dan dialog publik RKUHP.
Baca juga : Masyarakat Sipil Berharap Sosialisasi RKUHP Tak Searah
Johnny G Plate mengungkapkan, sosialisasi tambahan dilakukan guna memastikan sumbangsih dan aspirasi masyarakat seluruh Indonesia terhadap substansi RKUHP, terutama 14 isu krusial. Diharapkan tidak ada lagi residu lain setelah pembahasan RKUHP. ”Sosialisasi akan dilaksanakan di seluruh penjuru Nusantara, tetapi percuma kalau partisipasi minim. Ini baru berhasil jika ada partisipasi aktif masyarakat tetapi rasional untuk menghasilkan RKUHP yang berbobot dan berkualitas,” katanya.
11 kota dalam sebulan
Pemerintah sebenarnya sudah menyosialisasikan RKUHP di 12 kota pada 2021. Namun, menurut Yasonna, pemerintah akan kembali melakukan dialog publik di 11 kota pada tahun ini. ”Kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah, DPR, dan masyarakat perlu terjalin kuat untuk mewujudkan KUHP nasional yang baru,” katanya.
Yasonna mengutip pendapat almarhum Profesor Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro yang sebelumnya menjadi ketua tim penyusun RKUHP dari pemerintah, bahwa kunci keberhasilan KUHP adalah dialog yang masif. Oleh karena itu, pihaknya berjanji pemerintah akan membuka dialog yang luas dan menerima pendapat masyarakat terkait RKUHP sehingga nantinya terwujud KUHP nasional untuk menggantikan produk lawas warisan kolonial yang sudah diberlakukan sejak 1818.
Sementara itu, Eddy OS Hiariej mengatakan, sosialisasi dan dialog publik itu akan melibatkan sembilan kementerian/lembaga, yaitu Kemenko Polhukam, Kemenkominfo, Kemenkumham, Kantor Kepala Staf Presiden, Staf Khusus Presiden, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, Badan Intelijen Negara, dan Kementerian Agama.
”Menteri Agama akan turun ke pesantren-pesantren untuk sosialisasi. Ini baru permulaan,” kata Eddy.
Menurut rencana, pemerintah akan menggelar sosialisasi hingga satu bulan ke depan. Proses tersebut, tambah Eddy, berjalan paralel dengan pembahasan RKUHP di DPR. Usulan dari masyarakat mengenai RKUHP akan dicatat dan disampaikan di dalam pembahasan di DPR.
Ditanya mengenai target audiens, Eddy mengatakan, pihaknya ingin sebanyak mungkin pihak terlibat dalam sosialisasi. Namun, pihaknya tetap mengedepankan sisi kualitas masukan yang diharapkan. ”Sebanyak mungkin yang terlibat lebih baik. Namun, sebetulnya bukan dalam segi kuantitas, tetapi pada kualitas masukan seperti apa,” katanya.
Ditanya apakah pemerintah menjamin bahwa aspirasi masyarakat betul-betul akan diserap, Eddy mengatakan, ”Kalau tidak mengapa harus melakukan itu? Kami mempertimbangkan, tetapi jangan diartikan bahwa kami harus mengikuti. Karena setiap hal yang kami formulasikan di dalam RKUHP, kami bisa mempertanggungjawabkannya secara akademis,” tambahnya.
Sosialisasi satu arah
Saat Eddy memaparkan isi dari draf RKUHP terbaru, beberapa orang, seperti mahasiswa dan aktivis, melontarkan protes mereka. Dengan membawa poster bertuliskan ”Semua Bisa Kena” dan ”Stop Kriminalisasi Urusan Privat”, mereka maju ke depan ruangan dan menyela presentasi yang dilakukan oleh Eddy.
Namun, petugas, termasuk juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, dan staf Kantor Staf Presiden, Firman Wijaya, mengajak mereka ke luar ruangan dan membujuk mereka untuk menyampaikan aspirasinya segera setelah Eddy selesai presentasi.
Pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum, mengatakan, pihaknya menolak forum yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika tersebut. Sebab, kegiatan tersebut menjadi forum sosialisasi satu arah, padahal yang namanya partisipasi tidak satu arah. Mengingat RKUHP tersebut mengecilkan ruang gerak masyarakat, seluruh elemen masyarakat haruslah didengar dan tidak terbatas pada elite tertentu yang diundang dalam acara dengan fasilitas elite pula.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Adam Firdaus Putra juga menolak forum tersebut. ”Forum hari ini satu arah. Di undangan kami lihat acaranya sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat. Kami di sini akan diedukasi. Kami hadir bukan untuk didengarkan. Kami yang harus mendengarkan, padahal di dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemerintah yang harus mendengarkan,” katanya.
Pihaknya juga tersinggung dengan ungkapan Wamenkumham bahwa yang protes belum baca buku ke-1 RKUHP. Menurut Adam Putra, RKUHP masih memuat pasal-pasal kolonial, seperti pasal penghinaan terhadap presiden, pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, yang semuanya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK juga melarang pasal serupa dihidupkan kembali dalam hukum pidana.
”Mereka kekeuh (ngotot) RKUHP sudah meninggalkan pasal-pasal warisan kolonial. Mana buktinya? Tadi Prof Eddy juga bicara bahwa RKUHP bisa mengatasi overcrowding (kelebihan penghuni lembaga permasyarakatan) karena RKUHP tidak selamanya soal pidana. Namun, kami demonstrasi tanpa izin saja bisa dipidana. Padahal, di undang-undang sebelumnya, UU No 9/1998, orang berdemonstrasi tanpa izin hukumannya dibubarkan. Sekarang RKUHP mau memenjarakan (orang) demonstrasi. Itukah yang disebut dekolonialisasi?” tanya Adam Putra.
Wamenkumham saat dikonfirmasi menganggap protes tersebut biasa saja dan merupakan bagian dari demokrasi. Hanya saja, pihaknya menyayangkan para pemrotes yang tidak bersedia mendengarkan yang disampaikan pemerintah mengenai draf RKUHP. ”Kan, urutan acara itu paparan dulu baru masukan (masyarakat). Tetapi ini belum mendengar dan (kemudian) protes. Tetapi itu sesuatu yang wajar, namanya juga mahasiswa. Saya dulu seperti itu, kok,” ujarnya.
Baca juga : ICJR: 73 Pasal di RKUHP Masih Bermasalah
Namun, ia berharap protes yang dilayangkan dilengkapi dengan solusi konstruktif. Pihaknya memuji protes yang dilakukan Dewan Pers atas sejumlah pasal yang dinilai berpotensi mengekang kebebasan pers dan Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR) yang menengarai ada 73 pasal bermasalah di dalam RKUHP. Protes-protes yang dilayangkan disertai dengan daftar inventarisasi masalah (DIM), komentar mereka, dan solusi formulasi pasal yang diusulkan.