Peneliti kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, menyatakan, pembunuhan Brigadir J yang libatkan eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri disebabkan lemahnya pengawasan Polri.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS
Mahfud MD menyebut sudah ada tiga tersangka dalam kasus kematian Brigadir J.
JAKARTA, KOMPAS — Pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo merupakan puncak gunung es dari rekayasa kasus yang kerap terjadi di kepolisian. Hal itu disinyalir terjadi karena lemahnya pengawasan institusi, baik secara internal maupun eksternal.
Peneliti kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, membenarkan, polemik pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah yang diiringi dengan upaya membuat skenario fiktif dan menghalangi penyidikan oleh sejumlah polisi bukanlah hal baru di kepolisian. Berdasarkan informasi di lapangan, upaya personel kepolisian untuk merekayasa kasus dan menutupi kesalahan rekan sesama anggota juga kerap terjadi, tetapi tidak mengemuka di masyarakat.
”Salah satu yang menonjol dan menjadi perhatian publik adalah kasus Ajun Komisaris Besar Brotoseno yang dipertahankan dengan alasan prestasi, meskipun sudah divonis 5 tahun penjara dan menjalani hukuman penjara 3 tahun. Peraturan kapolrinya jelas, tetapi tetap saja dilanggar oleh internal,” kata Bambang saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (23/8/2022).
Selama penyidikan perkara Nofriansyah berlangsung, tim khusus Polri telah memeriksa 83 personel yang dinilai terlibat menghalangi penyidikan. Melalui surat telegram nomor ST/1751/VIII/KEP./2022 tanggal 22 Agustus 2022, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga memutasi 24 personel mulai dari yang berpangkat komisaris besar hingga bhayangkara dua. Mereka sebelumnya bertugas di berbagai tempat, mulai dari Divisi Propam, Bareskrim Polri, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Tengah, dan Polres Metro Jakarta Selatan.
Itu merupakan mutasi kedua yang dilakukan Kapolri selama menangani pembunuhan Nofriansyah. Sebelumnya, ada 10 perwira tinggi dan perwira menengah yang dicopot dari jabatannya, salah satunya Irjen Ferdy Sambo.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Samuel Hutabarat memegang foto anaknya, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, di Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sabtu (23/7/2022).
Oleh karena itu, lanjut Bambang, pasca-penanganan kasus pembunuhan Nofriansyah, Polri memiliki pekerjaan rumah untuk mendekonstruksi lalu merekonstruksi sistem secara keseluruhan. Mulai dari pembagian kewenangan, kontrol, hingga pengawasan yang bisa memastikan sistem yang baru berjalan dengan benar. ”Pembangunan sistem sangat mendesak untuk memastikan ke depan tidak ada lagi konsorsium-konsorsium jahat di tubuh Polri,” ujar Bambang.
Salah satu yang menonjol dan menjadi perhatian publik adalah kasus Ajun Komisaris Besar Brotoseno yang dipertahankan dengan alasan prestasi meskipun sudah divonis 5 tahun penjara dan menjalani hukuman penjara 3 tahun. Peraturan kapolrinya jelas, tetapi tetap saja dilanggar oleh internal.
Namun, hal itu tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kapolri yang tengah menjabat. Pembangunan sistem yang dapat kembali menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada kepolisian juga membutuhkan dukungan politik dari Presiden sebagai pemberi mandat Kapolri.
Secara terpisah, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, pembunuhan Nofriansyah yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo dan sejumlah polisi yang diduga terlibat menghalangi penyidikan merupakan dampak dari lemahnya pengawasan terhadap institusi. Secara internal, Polri diawasi oleh inspektorat pengawasan umum dan divisi profesi dan pengamanan. Meski banyak pelanggaran personel yang bisa ditangani, pengawasan internal masih perlu dioptimalkan.
Begitu juga pengawasan eksternal Polri yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas tidak memiliki kewenangan dan anggaran yang sepadan untuk mengawasi Polri. Lembaga yang diatur peraturan presiden (perpres) dengan anggaran sebesar Rp 14 miliar itu harus mengawasi institusi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri, dengan jumlah anggota lebih dari 330.000 personel, dan anggaran lebih dari Rp 100 triliun.
”Dalam kerangka penguatan negara demokrasi, pengawasan eksternal Polri harus ditata ulang, salah satunya dengan memperkuat Kompolnas,” kata Arsul.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Keluarga dekat memakai kaus bergambar Brigadir J selama proses penggalian kubur hingga otopsi ulang Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Kaus itu bertuliskan #SaveBrigadirJ.
Penguatan Kompolnas, ujarnya, dapat dilakukan melalui revisi UU Polri. Melalui revisi tersebut, pengaturan struktur pengawasan Kompolnas dapat ditingkatkan ke UU sehingga kewenangan dan anggarannya bisa lebih memadai.
Arsul mencontohkan, pengaturan itu bisa membagi jenis pelanggaran yang cukup ditangani pengawas internal atau membutuhkan penanganan pengawas eksternal. Dapat pula dibuat koneksitas antara pengawas internal dan eksternal Polri untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Ada usulan yang ingin memasukkan itu (revisi UU Polri) ke dalam Prolegnas Prioritas 2023.
Ia menambahkan, revisi UU Polri saat ini memang ada dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020-2024, tetapi belum ada di Prolegnas tahunan. Oleh karena itu, usulan penguatan Kompolnas melalui revisi UU Polri akan berpulang pada Komisi III dan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menambahkan, wacana untuk merevisi UU Polri memang sudah mulai muncul dari Komisi III. Sebab, pembunuhan Nofriansyah yang melibatkan Ferdy Sambo dinilai bisa menjadi momentum untuk reformasi kepolisian.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Menghadapi aksi mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, aparat bertindak tegas. Di depan pintu masuk halaman Gedung MPR/DPR, sekitar 150 anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jakarta Timur melakukan aksi bungkam. Sebelumnya pengunjuk rasa diminta membubarkan diri, tetapi karena permintaan tak digubris, aparat keamanan dengan paksa menggiring pengunjuk rasa untuk dibawa ke Markas Polda Metro Jaya.
Ia menilai, revisi UU Polri juga diperlukan mengingat UU tersebut sudah berusia 20 tahun. Selama itu pula, perjalanan kepolisian sudah perlu dievaluasi. ”Ada usulan yang ingin memasukkan itu (revisi UU Polri) ke dalam Prolegnas Prioritas 2023,” kata Baidowi.
Akan tetapi, keputusan akan bergantung pada hasil rapat kerja Baleg dengan Menteri Hukum dan HAM untuk merevisi Prolegnas. Menurut rencana, rapat kerja tersebut akan dilakukan pada 25 Agustus.