Peran Mahkamah Konstitusi Penting di Tengah Tren Kemunduran Demokrasi
”Di era kemunduran demokrasi, dalam sistem yang buruk, kamu butuh keadilan konstitusional yang kuat. Kamu butuh pengadilan yang dapat memberikan kata akhir sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Tom Ginsburg.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran Mahkamah Konstitusi sangat dibutuhkan di tengah tren global kemunduran demokrasi untuk mempertahankan demokrasi konstitusional tetap berjalan. Upaya untuk mengintervensi, mengabaikan putusan-putusan yang dihasilkannya, atau bahkan mengintimidasi Mahkamah Konstitusi bisa saja dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Namun, hal itu dapat dipatahkan jika sebuah negara memiliki Mahkamah Konstitusi yang kuat.
Guru Besar Hukum Internasional dan Ilmu Politik dari Universitas Chicago, AS, Tom Ginsburg, dalam acara memperingati Hari Konstitusi di Gedung MK, Kamis (18/8/2022), mengatakan, banyak negara demokrasi yang saat ini mengalami berbagai tekanan yang nyata. Misalnya, munculnya pemimpin-pemimpin populis yang menyatakan tak butuh institusi dan munculnya pejabat eksekutif yang tidak ingin meninggalkan jabatannya.
”Ini bahaya besar di banyak negara, dan tentu saja itu bahaya bagi wacana konstitusional,” ujarnya.
Dalam konteks Indonesia, peran MK yang utama adalah membantu konsolidasi demokrasi agar berdiri tegak menyelesaikan berbagai persoalan. Di antara kekuatan politik, MK terkadang harus mengoreksi aturan lama yang diwariskan oleh rezim lama dan mengawasi aturan-aturan baru.
Saat ini, Tom melihat ada kemunculan kekuatan politik yang memandang MK sebagai cabang kekuasaan yang paling berbahaya dan berusaha mengontrol dengan berbagai cara. Mereka menyadari bahwa jika mereka dapat mengontrol MK, otomatis mereka dapat mengontrol regulasi dan negara hukum. Dalam kondisi ini, ia melihat peran yang sangat menarik dari MK.
Dia mencontohkan apa yang terjadi Malawi, salah satu negara kecil di Afrika. Selama pandemi Covid-19, presiden dari negara tersebut curang dalam pemilu. Pengadilan setempat memerintahkan agar pemilu diulang. Namun, pemerintah mengatakan hal itu tidak dapat dilakukan karena masih pandemi dan ada lockdown. Namun, pengadilan Malawi mengatakan, pemilu harus tetap dilaksanakan dan tidak boleh ada lockdown.
”Pengadilan membuat putusan yang sangat kontekstual. Kontekstual, apa yang dibutuhkan pada waktu itu. Apa yang terjadi pada akhirnya. Presiden menyelenggarakan pemilu, dan ia kalah,” katanya.
Di era kemunduran demokrasi, dalam sistem yang buruk, kamu butuh keadilan konstitusional yang kuat. Kamu butuh pengadilan yang dapat memberikan kata akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, apakah sesuatu hal itu konstitusional atau tidak (Tom Ginsburg).
Dia juga mengingatkan ada tiga cara untuk melemahkan MK, yaitu dengan mengintervensi, mengabaikan, dan mengintimidasi. Menurut Tom, salah satu bentuk intervensi adalah dengan cara mengganti personelnya. Yang kedua, dengan cara mengabaikan putusannya. Adapun MK tidak memiliki sumber daya atau memaksa institusi lain melaksanakan putusannya dan harus mengandalkan aktor-aktor lain untuk mengimplementasikan putusannya.
Ada banyak contoh tentang pengabaian putusan MK. Misalnya, kata dia, di India, pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi yang ingin mengabaikan pluralisme dalam masyarakat dan sejarah negara tersebut. Ia ingin mengontrol MK dengan menerbitkan aturan untuk membentuk judicial appointments commission sehingga ia bisa mengontrol pengadilan. Namun, MK mengatakan bahwa aturan tersebut inkonstitusional.
”Di era kemunduran demokrasi, dalam sistem yang buruk, kamu butuh keadilan konstitusional yang kuat. Kamu butuh pengadilan yang dapat memberikan kata akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, apakah sesuatu hal itu konstitusional atau tidak,” kata Tom.
Selain Tom Ginsburg, kegiatan tersebut juga menampilkan pembicara mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Dibuka oleh Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah, acara tersebut juga dihadiri Hakim Konstitusi Saldi Isra yang memberikan pidato kunci.
Kalaupun misalnya ke depan begitu rusak sistem konstitusional kita, tetapi kalau MK bisa dijaga, saya yakin Indonesia belum habis. Karena inilah gerbang terakhir, maka sangat strategis untuk berada di MK (Palguna).
Palguna juga menekankan pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi. UUD 1945 hasil perubahan telah menyediakan instrumen bagi NKRI untuk menjadi negara demokrasi konstitusional. Hanya saja, pengaturan dan pelaksanaannya di bawah belum mendorong ke arah sana. Salah satu bukti nyata ialah saat MK membatalkan regulasi yang dihasilkan pemerintah dan DPR, seperti UU Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya karena tak sesuai semangat Pasal 33 UUD.
”Anda terbayang atau tidak, andai kata tidak ada MK, akan seperti apa undang-undang kita sekarang, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 33?” kata Palguna.
Hanya saja, ia menyadari tantangan yang dihadapi oleh MK tidaklah ringan. Tantangan pertama terletak pada proses untuk menjadi hakim konstitusi yang menurut UUD 1945 haruslah negarawan dan menguasai konstitusi/ketatanegaraan. Namun, dua syarat tersebut tidak dijabarkan di UU MK sehingga tidak ada yang benar-benar tahu apa indikator menguji kenegarawanan dan parameter menguasi konstitusi/ketatanegaraan.
Tantangan kedua, kata Palguna, adalah bagaimana MK dapat mendayung antara persoalan hukum dan politis. Sebab, persoalan-persoalan yang dibawa ke MK pada hakikatnya adalah problem politik yang di dalam putusannya harus diberi pertimbangan-pertimbangan hukum.
Oleh karena itu, ia berharap ke depan MK dapat menjalankan peran tersebut dengan lebih baik. Ia berharap pemikiran kritis dari MK tetap berlangsung. ”Kalaupun misalnya ke depan begitu rusak sistem konstitusional kita, tapi kalau MK bisa dijaga, saya yakin Indonesia belum habis. Karena inilah gerbang terakhir, maka sangat strategis untuk berada di MK,” katanya.