Fraksi Golkar di MPR Sebut Belum Ada Kesepakatan PPHN, Ketua MPR: Saya Heran Kenapa Dipersoalkan Partai Sendiri
”Saya juga heran kenapa yang lain tidak mempersoalkan, kok dari partai saya sendiri dipersoalkan. Ada apa? Ini, kan, publik melihatnya aneh,” kata Ketua MPR Bambang Soesatyo terkait pernyataan Ketua Fraksi Golkar di MPR.
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Golkar di Majelis Pemusyawaratan Rakyat menyebut belum ada kesepakatan terkait Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN. Fraksi Golkar juga menolak apabila PPHN akan dibentuk melalui konvensi ketatanegaraan. Alasannya, konvensi ketatanegaraan tak dikenal dalam hierarki perundang-undangan.
Sebelumnya, dalam pidato pembukaan Sidang Tahunan MPR, Rabu (16/8/2022), Bambang menyampaikan dalam rapat gabungan pimpinan MPR dengan pimpinan fraksi partai politik dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 25 Juli 2022, telah disepakati PPHN dan selanjutnya akan dibawa dalam sidang paripurna dengan agenda tunggal, yakni pembentukan panitia ad hoc.
Ketua Fraksi Golkar MPR M Idris Laena melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (18/7/2022), mengatakan, pernyataan Bambang tidak benar dan cenderung menyesatkan. Sebab, kebijakan di institusi MPR harus diambil sesuai mekanisme yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR.
”Betul, tanggal 25 Juli 2022 telah dilaksanakan rapat gabungan. Namun, sesuai dengan Pasal 50 Tata Tertib MPR, itu baru sebatas mendengarkan laporan dari Badan Pengkajian MPR yang telah merumuskan rancangan substansi PPHN serta kajian tentang produk hukumnya,” ujar Idris.
Adapun dalam Pasal 50 Tata Tertib MPR disebutkan, Badan Pengkajian bertugas mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945, serta pelaksanaannya. Badan Pengkajian juga bertugas melaporkan hasil pelaksanaan tugas dalam rapat gabungan.
Baca juga : Usulan Amendemen Terbatas Setelah Pemilu 2024 Menguat
Idris menuturkan, sikap dari kelompok fraksi parpol dan kelompok DPD baru akan didengarkan dalam Rapat Paripurna MPR. Rapat Paripurna MPR tersebut akan diadakan khusus untuk membahas PPHN.
Konvensi ketatangeraan tidak dikenal dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Jadi, jelas, Fraksi Partai Golkar akan menolak.
”Jika mayoritas anggota MPR menyetujui PPHN tersebut, baru ditindaklanjuti. Jadi, prosesnya masih sangat panjang,” kata Idris.
Baca juga: Kehadiran PPHN untuk Jamin Keberlanjutan Pembangunan IKN
Fraksi Partai Golkar MPR memahami ada keinginan untuk membuat PPHN, Namun, fraksinya menolak apabila produk hukum untuk mengatur PPHN itu harus dipaksakan, misalnya dengan membuat konvensi ketatanegaraan.
”Konvensi ketatangeraan tidak dikenal dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Jadi, jelas, Fraksi Partai Golkar akan menolak,” ucap Idris.
Yang bersangkutan saja hadir dalam rapat itu. Saya juga heran kenapa yang lain tidak mempersoalkan, kok dari partai saya sendiri dipersoalkan. Ada apa? Ini, kan, publik melihatnya aneh.
Berkukuh sudah disepakati
Seusai peringatan Hari Konstitusi 2022 dan Hari Ulang Tahun Ke-77 MPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis ini, Bambang yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Golkar mengatakan heran dengan pernyataan Ketua Fraksi Golkar MPR. Sebab, kesepakatan untuk membentuk PPHN sudah diputuskan dalam rapat gabungan.
”Yang bersangkutan saja hadir dalam rapat itu. Saya juga heran kenapa yang lain tidak mempersoalkan, kok dari partai saya sendiri dipersoalkan. Ada apa? Ini, kan, publik melihatnya aneh,” ujar Bambang.
Jika ada ketidaksesuaian, lanjut Bambang, seharusnya hal tersebut dibicarakan di level internal partai dan tidak perlu sampai diumbar ke publik. Apalagi, ini menyangkut marwah MPR. Sebab, jika bicara soal konstitusi, MPR membutuhkan kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi.
”Kita tidak boleh memaksakan kehendak. Kita harus menghargai perbedaan, menghargai keinginan banyak suara. Karena, apalagi di MPR ini, kita tidak bisa ’pokoknya’ atau tidak bisa menang-menangan,” ujarnya.
Bambang enggan menegur Idris dan meminta agar penolakan tersebut tidak dikaitkan dengan Partai Golkar. ”Justru tanya yang bersangkutan, kenapa bisa begitu. Karena, di notulensinya jelas, kok. (Fraksi Golkar MPR) Memang menolak. Tidak setuju. Tetapi, kan, akhirnya kami sepakat setuju karena aklamasi dengan poin-poin yang sudah saya sampaikan. Jadi, kalau kalian bingung, apalagi saya,” tuturnya.
Dalam rapat gabungan, diputuskan beberapa hal. Pertama, menyetujui laporan Badan Pengkajian MPR soal kajian sistem ketatanegaraan. Kedua, menyepakati untuk membentuk panitia ad hoc untuk menindaklanjuti hasil Badan Pengkajian MPR. Panitia ad hoc nantinya akan menyusun subtansi PPHN sebagai pegangan pemerintahan dalam jangka panjang serta merekomendasi produk hukum PPHN.
Beberapa waktu lalu, Badan Pengkajian MPR telah menemukan terobosan hukum untuk menghadirkan PPHN dengan bentuk hukum berupa konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam ataupun ke luar. Jalan amendemen konstitusi tidak dipilih karena dikhawatirkan akan disisipi berbagai macam kepentingan politik.
”Nah, tugas dari tim ad hoc adalah mengkaji sejauh mana konvensi ketatanegaraan ini efektif dan bisa diwujudkan. Kami pasti akan mengundang para ahli dari sisi ketatanegaraan, hukum, apakah boleh pakai konvensi ketatanegaraan. Jadi, masih akan dibahas secara terbuka dalam panitia ad hoc ini,” kata Bambang.
Ia mengakui, dalam rapat gabungan, muncul wacana dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk memasukkan PPHN dengan melakukan amendemen terbatas di sela-sela waktu antara setelah Pemilu 2024 dan sebelum berakhirnya masa jabatan MPR periode sekarang. Namun, MPR tidak memilih jalan itu karena semua kembali lagi tergantung pada tiap-tiap partai politik.
”Tetapi, saya sihberkeinginan, MPR hari ini merekomendasikan ke ketua MPR yang akan datang itu untuk melakukan kajian secara mendalam tentang UUD 1945,” katanya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid sependapat dengan Bambang bahwa sudah tidak ada lagi perbedaan dalam menghadirkan PPHN. Semua kelompok fraksi di MPR sudah setuju secara aklamasi membentuk PPHN. ”Tinggal produk hukumnya saja yang belum diputuskan karena masih dikaji oleh panitia ad hoc. Sejauh ini diusulkan lewat konvensi ketatanegaraan, tidak cukup waktu untuk amendemen konstitusi,” ujarnya.
Tidak etis
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menilai, proses amendemen yang dilakukan pada akhir masa jabatan ini bisa dikatakan sebagai situasi bebek lumpuh (lame duck). Artinya, dalam situasi tersebut, secara etika, mereka tidak boleh mengotak-atik konstitusi.
”Menurut saya, tidak patut itu karena kalau orang sudah di detik-detik akhir masa jabatan itu, kan, tidak membuat suatu putusan yang fundamental. Jadi, kalau akan membuat suatu putusan yang fundamental, itu harus dilakukan oleh mereka yang baru menjabat dan masih punya waktu sehingga perdebatan masih bisa dilakukan, ruang mendengar masukan publik juga masih terbuka,” kata Susi.
Susi mengingatkan, jika berbicara mengenai perubahan UUD 1945, perubahan tersebut harus didasarkan pada kepentingan generasi yang akan datang, bukan generasi sesaat. Ia mengkritik PPHN yang kini ingin dibentuk MPR justru didasari untuk mengunci keberlanjutan pembangunan ibu kota negara (IKN) yang baru. Jika hal tersebut yang terjadi, publik akan melihat perubahan konstitusi ini hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik, bukan dalam rangka melindungi hak asasi.
”Kalau perubahan itu hanya untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik, perubahan itu dipertanyakan. Jadi, jangan perubahan itu hanya didasarkan pada concern-concern sesaat. Itu bahaya banget,” tuturnya.