PDI-P Bakal Inisiasi Amendemen Konstitusi untuk PPHN Setelah Pemilu 2024
Dokumen konvensi ketatanegaraan terkait Pokok-pokok Haluan Negara yang akan ditetapkan pada Sidang Paripurna MPR, September mendatang, akan digunakan untuk menginisiasi kembali perubahan UUD 1945.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN tidak melalui amendemen UUD 1945, melainkan konvensi ketatanegaraan. Amendemen konstitusi belum dijadikan pilihan karena dikhawatirkan justru akan memicu kegaduhan di tengah tahun politik. Meski demikian, keinginan untuk menghadirkan PPHN melalui amendemen konstitusi tak sirna. PDI-P berencana mengusulkannya kembali setelah Pemilu 2024 usai.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo dalam jumpa pers persiapan Sidang Tahunan MPR Tahun 2022 di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (15/8/2022), mengatakan, salah satu bahasan yang akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR pada Selasa (16/8/2022) adalah perkembangan pembahasan PPHN.
Berdasarkan perkembangan terakhir, MPR telah menggelar rapat gabungan dengan seluruh kelompok fraksi di DPR dan DPD untuk menyetujui pembentukan panitia ad hoc. Panitia ad hoc ini akan menyusun substansi dan mencari bentuk dasar hukum PPHN yang akan diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR pada September mendatang.
Bambang menuturkan, beberapa waktu lalu, Badan Pengkajian MPR telah menemukan terobosan hukum untuk menghadirkan PPHN dengan bentuk hukum berupa konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam ataupun ke luar. Jalan amendemen konstitusi tidak dipilih karena dikhawatirkan akan disisipi berbagai macam kepentingan politik.
”Nah, kami sepakat, amendemen tidak bisa kami jalankan dengan situasi politik sudah dekat di tahun politik. Kami menghindari adanya kegaduhan baru, pro dan kontra di antara pengguliran amendemen tersebut,” ujar Bambang.
Dalam konferensi pers tersebut, hadir Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Demokrat Syariefuddin Hasan, dan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani.
Bambang melanjutkan, PPHN dibutuhkan karena sering kali terjadi stagnasi bahkan kemunduran dalam program-program yang sudah susah payah dikerjakan, baik di level bupati, wali kota, gubernur, maupun di level nasional. Keresahan ini pula disampaikan Presiden dalam pembicaraan dengan sejumlah pimpinan lembaga tinggi negara beberapa waktu lalu.
Untuk itu, dibutuhkan PPHN yang tidak dapat diintervensi oleh presiden periode berikutnya. Hal ini dianggap penting karena PPHN ini akan menjadi peta jalan pembangunan Indonesia ke depan. Misalnya, soal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Pembangunan IKN yang akan dimulai pada periode ini dengan anggaran sekitar Rp 700 triliun diperkirakan selesai 15-20 tahun kemudian. Itu artinya melewati 3-5 periode kepresidenan yang akan datang.
”Jangan sampai ada satu sen pun anggaran yang dikutip dari rakyat melalui pajak itu kemudian menjadi sia-sia, menjadi besi tua, dengan proyek-proyek yang mangkrak karena terjadinya pergantian pemimpin, baik di daerah maupun secara nasional,” ucap Bambang.
Selain itu, pembangunan IKN juga akan melibatkan investor-investor besar dari luar negeri. Menurut Bambang, para investor tersebut membutuhkan kepastian agar proyek-proyek jangka panjang ini dapat berjalan tanpa hambatan sampai selesai. Karena itu, PPHN sangatlah dibutuhkan untuk memberikan jaminan bagi para investor tersebut.
”Jaminan itulah yang perlu kami sampaikan, kami berikan kepada siapa pun yang ingin berinvestasi di Indonesia. Sebab, kalau tidak, setiap lima tahun, para investor pasti deg-degan, ’siapa lagi yang bisa dilobi nih, siapa lagi calon presidennya nih, saya mesti deketin lagi nih, partai mana nih yang bakal menang lagi nih. Ini, kan, repot,” kata Bambang.
Referensi amendemen
Ahmad Basarah menambahkan, konvensi ketatanegaraan ini merupakan praktik bernegara yang melengkapi sistem kenegaraan Indonesia, yang tidak terdapat dalam norma hukum apa pun, tetapi tidak bertentangan dengan norma hukum lain, dan seluruh organ negara mau mempraktikkannya. Itu sama seperti Sidang Tahunan MPR yang akan digelar pada Selasa besok.
”Sidang tahunan itu, kan, tidak ada di UUD kita. Tetapi, karena bertahun-tahun kita mempraktikkan ini setiap jelang Proklamasi, dia menjadi konvensi ketatanegaraan,” ujar Basarah.
Jika pada September mendatang, dalam Sidang Paripurna MPR, PPHN diputuskan menjadi keputusan MPR, konvensi ketatanegaraan ini akan diusulkan kepada lembaga-lembaga negara lain untuk dijadikan pedoman. Salah satunya dijadikan bahan untuk menyusun kembali peta jalan pembangunan Indonesia selama 20 tahun ke depan sampai tahun 2045 dengan merevisi UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Sebagaimana diketahui, UU No 17/2007 harus diperbarui pada 2025.
”Nah, konvensi ketatanegaraan yang dimaksud ketika MPR belum berhasil mengubah UUD dan memberikan payung hukum yang kokoh terhadap PPHN itu, maka kami usulkan kepada pemerintah dan DPR menggunakan dokumen yang sudah disepakati oleh MPR sebagai keputusan MPR dalam bentuk PPHN itu dijadikan pedoman, untuk menyusun road map pembangunan 20 tahun yang akan datang,” ucap Basarah.
Untuk amendemen terbatas, PDI-P akan menginisiasi kembali setelah Pemilu 2024. Amendemen terbatas ini salah satunya untuk mengembalikan kewenangan MPR menetapkan PPHN, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), atau Pembangunan Semesta Berencana. ”Nanti terminologinya akan disepakati kemudian,” kata Basarah.
Ia mengakui dokumen konvensi ketatanegaraan yang akan ditetapkan dalam Sidang Paripurna MPR, September mendatang, akan digunakan untuk menginisiasi kembali perubahan UUD 1945. Dengan begitu, proses amendemen tidak akan mulai dari nol lagi.
”Bagi PDI-P, dokumen (konvensi ketatanegaraan) ini akan kami jadikan referensi, saya menyebutnya sebagai dokumen kearifan. Kalau periode MPR 2024-2029 mau melakukan amendemen UUD, MPR periode berikutnya tidak perlu memulai dari nol lagi, tinggal melanjutkan saja. Sebab, tidak ada sistem carry over dalam sistem di MPR,” ujar Basarah.