Tragedi 27 Juli Melawan Kuasa Lupa
TPDI tak akan lelah mengingatkan tragedi 27 Juli 1996 sebagai cikal bakal lahirnya Gerakan Reformasi 1998. Seharusnya 27 Juli menjadi hari bersejarah, yang dikenang selalu secara nasional. Bukan kian dilupakan.
The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting. ( Milan Kundera (93), Sastrawan asal Republik Czech)
Puluhan simpatisan dan anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Kamis (11/8/2022) berkumpul di sebuah restoran di Jakarta Selatan. Para advokat yang pada 1996 menjadi pembela Megawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang tidak dikehendaki Pemerintahan Orde Baru, memperingati 26 tahun Peristiwa 26 Juli. Tragedi itu, adalah penyerbuan kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta yang dikuasai oleh pendukung Megawati.
Penyerangan terhadap puluhan warga pendukung Megawati itu, yang diyakini terencana, mengakibatkan lima orang meninggal, 149 warga terluka, dan 23 orang hilang. Selain itu, 124 warga diadili dan dihukum. Padahal, mereka itu sesungguhnya adalah korban dari penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih. Dan, pihak yang berada di balik penyerangan itu sampai kini tak terungkap.
Aktivis hak asasi manusia (HAM) Hendardi, yang hadir dalam peringatan 26 tahun peristiwa 27 Juli itu, mendukung pilihan simpatisan dan anggota TPDI yang masih terus merawat ingatan atas tragedi, yang diyakini menjadi "bibit" bagi lahirnya gerakan reformasi di negeri ini. TPDI berdiri di belakang Megawati yang saat itu memperjuangkan hak politiknya sebagai pimpinan PDI. Walaupun Pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin Presiden Soeharto menolak kepemimpinannya, Megawati tetap melawan, dan berhasil....
TPDI dibentuk oleh sejumlah pengacara dan aktivis demokrasi, yang pada awalnya dipimpin oleh Advokat RO Tambunan. Mereka terus bergerak, memperjuangkan keadilan dan demokrasi, meskipun tak harus menjadi bagian dari penguasa, termasuk saat Megawati menjabat Wakil Presiden atau Presiden pada 1999-2004.
"Saat ini reformasi dan demokrasi tergadaikan. Siapakah yang menggadaikan, kepada siapa, dan seberapa digadaikan? TPDI tak akan lelah mempertanyakan dan memperjuangkan agar reformasi dan demokrasi di negeri ini terwujud. Keadilan bagi korban pun diberikan," jelas Koordinator TPDI Petrus Silestinus.
Baca juga: Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara
Selain Petrus dan Hendardi, peringatan 26 tahun Tragedi 27 Juli itu juga dihadiri mantan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F- PDIP) DPR Tumbu Saraswati dan Matheos Pormes, mantan anggota Komisi Kejaksaan Kaspudin Noor; mantan penasihat hukum PDI versi Soerjadi, Pascalis Pieter; Turman Panggabean, aktivis mahasiswa, dan korban tragedi 27 Juli.
Erick S Paat, pengurus TPDI mengingatkan, Gerakan Reformasi 1998 tak akan lahir, apabila Megawati tak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru. TPDI, menurut Tumbu, tanpa jaminan memperoleh imbalan, langsung menyatakan mendukung Megawati, yang kini Ketua Umum PDI- Perjuangan. TPDI pun tak lelah terus memperjuangkan pengakuan bagi Megawati dan RO Tambunan sebagai pejuang reformasi di negeri ini, serta menuntut keadilan bagi korban 27 Juli, terutama yang sempat diadili dan dipidana.
Baca juga: Tabir Peristiwa 27 Juli 1996 yang Tak Kunjung Tersibak
TPDI juga mendorong siapa pun di belakang tragedi itu harus dibuka. Tak cukup penyelesaian kasus pelanggaran HAM dengan pemberian ganti rugi, atau penyelesaian secara politik. Keterbukaan dan keadilan harus diwujudkan, sehingga kasus itu bisa menjadi pelajaran bagi bangsa ini, untuk melangkah ke depan.
Namun, Hendardi mengingatkan, tak mudah mewujudkan keadilan, dan mengungkapkan pelanggaran HAM, apalagi jika berhadapan dengan penguasa dan kekuasaan. Ia mengutip pesan Milan Kundera, bahwa perjuangan seseorang melawan kekuasaan itu seperti perjuangan ingatan melawan lupa. Namun, perjuangan itu tak boleh surut, dan harus terus dilakukan. Jangan lelah....
Berantakan sedari awal
Tak mudah mewujudkan keadilan bagi korban tragedi 27 Juli itu sebenarnya sudah dapat diperkirakan sejak penanganan kasus itu. Tantangan kini kian berat, sebab penguasa negeri ini kini nyaris tak memiliki ingatan pada tragedi itu. Majelis hakim yang menangani korban 27 Juli yang dipidanakan juga mengakui, kasus itu berantakan.
"Wartawan, boleh catat omongan saya ini. Pengadilan tak pernah meminta kasus ini disidangkan di sini. Kasus ini sudah berantakan sedari awal. Catat, nama saya Zulkifli Lubis. Saya tak takut risiko atas pernyataan ini. Ya, paling berat saya dipecat," ujar Zulkifli Lubis, hakim anggota di ruang sidang empat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melontarkan kekesalannya. ( Kompas, 30 Oktober 1996).
Hakim lainnya pun menunjukkan kekesalannya. Nyaris seluruh terdakwa akhirnya dipidana sesuai dengan masa penahanan mereka.
Harian Kompas, dalam Tajuk Rencananya pada 27 Juli 1998, menuliskan, “Peristiwa 27 Juli tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan kelanjutan dari perpecahan dalam tubuh PDI. Munas PDI di Jakarta menghasilkan kepengurusan pusat dengan diketuai oleh Megawati Soekarnoputri. Kepengurusan itu digoyah oleh unsur luar dengan menggunakan friksi di dalam tubuh PDI. Dalam Kongres Medan yang menghasilkan kepengurusan di bawah pimpinan Soerjadi, tampak benar pengaruh dan campur tangan pemerintah waktu itu.”
Friksi dalam tubuh PDI berlangsung hampir secara kronis. Dalam pimpinan PDI ada perbedaan dan benih perpecahan. Pada waktu yang sama, benar pula, pihak luar, bahkan pemerintah, memanfaatkan friksi intern itu untuk mewujudkan garis kebijakan pemerintah.
Garis kebijakan itu ialah menyingkirkan figur kepemimpinan yang mandiri dan tak begitu saja mau diatur atau tunduk kepada kebijakan pemerintah, khususnya untuk mengamankan kepemimpinan nasional dan mempertahankan stabilitas. Kepemimpinan Megawati dinilai berpotensi mengganggu kepemimpinan nasional.
Patut dihargai upaya PDI, yang dipimpin Megawati, untuk mencari penyelesaian persoalan kepartaian itu melalui jalur hukum. Tumbu mengakui, jika bukan berdiri di belakang Megawati, bisa saja aktivis TPDI pada saat itu "hilang". Megawati memilih memperjuangkan haknya melalui jalur hukum agar tak gaduh, dan melindungi warga yang mendukungnya.
Menurut Pormes dan Hendardi, saat berkuasa, Megawati tak "membalas dendam" pada mereka yang mengusiknya pada masa lalu, sebab menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan partai dan dirinya. Megawati diyakini bukanlah figur yang pendendam. Namun, sikapnya itu memang mengecewakan sebagian pendukungnya, yang sejak tahun 1996 menemani putri Proklamator Soekarno itu melawati masa-masa sulit.
Penyelesaian melalui pengadilan bertele-tele. Pengungkapkan tragedi 27 Juli tak terang. Rakyat semakin menderita, apalagi saat itu Indonesia dan dunia dilanda krisis. Resesi. Penguasa Orde Baru semakin terdesak, dan lahirlah Gerakan Reformasi tahun 1998, yang antara lain memaksa Presiden Soeharto berhenti dari posisinya.
Presiden BJ Habibie, yang melanjutkan pemerintahan Soeharto, tak bisa bertemu dengan Megawati. Penyelesaian masalah PDI, sesuai dengan tuntutan reformasi, tidak juga terwujud. Megawati yang partainya memenangi Pemilu 1999, tak berhasil menjadi Presiden, karena tidak mendapatkan dukungan mayoritas di MPR.
Dalam peringatan tiga tahun tragedi 27 Juli 1996 di Istora, Senayan, Megawati mengatakan penyerbuan itu tidak berbudaya. Antikekerasan adalah cara-cara bangsa berbudaya. Hendaklah perjuangan dilakukan dengan prinsip antikekerasan. (Kompas, 29/7/1999)
Sekitar enam tahun setelah tragedi 27 Juli 1996, Kompas pada 24 Juli 2002 dalam Tajuk Rencana, menuliskan, “Sengaja kita angkat persoalan ini, karena ada pertanyaan, untuk apa "Kasus 27 Juli" yang sudah hampir enam tahun terjadi diungkap lagi?"
Pengungkapan perkara secara terang benderang penting agar kita mau belajar dari kesalahan masa lalu, agar kita tahu apa yang melatarbelakangi keputusan yang menjadikan 27 Juli 1996 itu sebagai "Sabtu Kelabu" bagi perjalanan kita sebagai bangsa. Terlalu banyak peristiwa yang kita alami dalam perjalanan bangsa ini, yang dibiarkan lewat begitu saja. Kita tidak pernah membuat catatan dan coba merekonstruksi semua perjalanan sejarah itu. Untuk apa? Untuk membuat bangsa ini paham akan perjalanan bangsanya secara utuh.
Bagi sebagian penyelenggara negara dan warga kini, nyaris tiada kenangan akan peristiwa 27 Juli. Hidup berputar, berbagai peristiwa silih berganti, sejumlah sosok bermunculan. Semoga 27 Juli bagi bangsa ini bukan hanya tanggal yang harus hadir setiap tahun….