Ganti Pengacara Lagi, Kini Bharada E Didampingi Ronny Talapessy
Bharada E, tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, menunjuk Ronny Talapessy sebagai kuasa hukum baru menggantikan Deolipa dan Burhanuddin. Selain advokat, Ronny juga aktif sebagai pengurus DPD PDI-P DKI Jakarta.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, salah seorang tersangka kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, mencabut kuasa Deolipa Yumara dan M Burhanuddin sebagai penasihat hukumnya. Eliezer dikabarkan telah menunjuk Ronny Talapessy sebagai kuasa hukum yang akan mendampinginya selama proses hukum berlangsung.
”Betul, saya sejak 10 Agustus 2022 ditunjuk Bharada E mendampingi beliau,” kata Ronny Talapessy saat dikonfirmasi, Jumat (12/8/2022).
Ronny pernah menjadi pengacara Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penodaan agama tahun 2017. Ronny juga merupakan Wakil Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Provinsi DKI Jakarta. Ia pernah menjadi calon anggota legislatif PDI-P untuk daerah pemilihan Banten II pada Pemilu 2019.
Betul, saya sejak 10 Agustus 2022 ditunjuk Bharada E mendampingi beliau.
Ronny menjadi pengacara ketiga Eliezer setelah Andreas Nahot Silitonga serta Deolipa dan Burhanuddin. Sebelumnya pada Kamis (11/8/2022) malam, beredar surat berisi pencabutan kuasa terhadap Deolipa dan Burhanuddin. Surat bermaterai itu ditandatangani langsung Eliezer pada 10 Agustus lalu.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian membenarkan keputusan Eliezer mencabut kuasa terhadap Deolipa dan Burhanuddin. ”Iya, betul (dicabut kuasa hukumnya),” tuturnya.
Sebelum kabar pencabutan kuasa Deolipa beredar, pengacara itu sempat tampil di beberapa media massa. Ia membeberkan cerita yang diklaim sebagai pengakuan Eliezer, salah satunya soal Nofriansyah ditembak di lantai dua rumah dinas mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.
Andi tidak bersedia menjelaskan alasan pencabutan kuasa hukum tersebut. Namun dengan adanya surat pencabutan kuasa itu, Deolipa dan Burhanuddin tidak bisa lagi mendampingi Eliezer dalam menghadapi proses hukum.
Sementara saat dikonfirmasi, Deolipa membantah kabar pencabutan kuasa oleh Eliezer. Ia menegaskan, hingga hari ini, masih menjadi penasihat hukum Eliezer ”Belum ada pencabutan kuasa,” ujarnya.
Deolipa menjelaskan, surat pencabutan kuasa yang sudah tersebar luas itu tidak sah. Alasannya, ia belum bertemu langsung dengan kliennya, Eliezer. Tak hanya itu, Deolipa juga tidak mengetahui siapa yang mengirim surat tersebut.
Deolipa dan Burhanuddin merupakan pengacara kedua Eliezer. Sebelumnya, Eliezer didampingi Andreas Nahot Silitonga sebagai penasihat hukum. Andreas yang mendampingi Eliezer sejak awal pengusutan perkara dugaan pembunuhan Nofriansyah itu mengundurkan diri pada 6 Agustus lalu.
Andreas tidak menyampaikan secara terbuka alasannya memilih mundur sebagai kuasa hukum Eliezer. Namun diketahui, Andreas memutuskan mundur setelah Eliezer mengubah keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Keterangan baru Eliezer itulah yang kemudian menyingkap penyebab kematian Nofriansyah. Nofriansyah meninggal bukan karena baku tembak dengan Eliezer, melainkan ditembak. Berdasarkan hasil penyidikan tim khusus Polri, Eliezer menembak Nofriansyah atas perintah atasannya, yakni mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.
Selasa lalu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengumumkan penetapan Ferdy sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah. Selain itu, Polri juga menetapkan satu tersangka lain berinisial KM yang kemudian diketahui bernama Kuat Maruf, pekerja di rumah keluarga Ferdy Sambo. Eliezer dan satu rekannya, Brigadir RR atau Ricky Rizal, sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Komnas HAM periksa Ferdy Sambo
Sementara setelah beberapa hari menunggu, akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diberi kesempatan memeriksa Ferdy. Menurut rencana, Komnas HAM akan memeriksa Ferdy dan juga Eliezer di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
“Mereka akan diperiksa di Mako Brimob pukul 15.00 nanti. Itu yang sudah kami sepakati kemarin (Kamis), dan semoga nanti itu bisa terlaksana dengan maksimal,” ujar komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
Sebelumnya, Polri juga telah memeriksa Ferdy. Dalam pemeriksaan itu, Ferdy mengaku membunuh Brigadir J karena emosi atas perlakuan ajudannya itu kepada istrinya, Putri Candrawathi. Perilaku yang dimaksud dianggap dapat melukai harkat dan martabat keluarga.
Anam menyampaikan, Komnas HAM juga berencana memeriksa Putri pada Jumat ini. Namun, Komnas HAM belum mendapatkan informasi lebih lanjut dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menangani langsung pemeriksaan terhadap Putri. ”Nanti saya akan tanyakan. Biar teman-teman tim itu menangani kasus pemeriksaan Ibu PC karena memang membutuhkan situasi yang khusus karena kondisinya juga khusus,” kata Anam.
Pembohongan sistematis
Di Jambi, kuasa hukum keluarga dan kekasih Nofriansyah, Ramos Hutabarat, menilai dugaan pelanggaran oleh tim dokter forensik yang menangani otopsi pertama masih belum tersentuh. Kejanggalan pada otopsi pertama yang mengindikasikan pembohongan sistematis dari kasus tewasnya Nofriansyah harus ditindak.
Ramos mengapresiasi upaya Kapolri menindak 31 perwira dan personel polisi yang diindikasikan melanggar karena menghalangi pengungkapan kasus tewasnya Nofriansyah. Dari jumlah tersebut, paling banyak Divisi Profesi dan Pengamanan ada 21 personel, Polda Metro Jaya tujuh personel, dan sisanya dari Bareskrim.
”Harusnya ini menyasar juga pada tim forensik yang melakukan otopsi jenazah korban di Rumah Sakit Polri,” tutur Ramos.
Ia pun menyebut terdapat perbedaan mencolok pada hasil pemeriksaan jenazah pertama dan kedua, di antaranya pada visum awal disebutkan luka lubang akibat peluru hanya pada bagian dada korban. Padahal, pada otopsi kedua yang dilakukan 27 Juli lalu, tim gabungan dokter mendapati empat luka lubang akibat peluru yakni pada bagian dada, tangan, leher, dan kepala bagian belakang.
Demikian pula pada otopsi kedua, disebutkan adanya lebam, meskipun itu masih perlu diuji penyebabnya. ”Sejumlah temuan pada jenazah tidak disebutkan pada visum pertama, kok bisa beda? Tim dokkesnya harus diperiksa untuk mengetahui apakah merupakan bagian dari penghalangan sistemastis dalam kasus ini,” lanjutnya.