Menagih Komitmen DPR Lebih Mendengar Suara Rakyat
Dalam sejumlah kesempatan, Dewan Pers selalu menggarisbawahi bahwa kedatangan mereka ke fraksi-fraksi di DPR bukan untuk menolak pengesahan RKUHP, melainkan memberikan sejumlah catatan.
Puluhan pasal dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP masih menuai polemik di masyarakat. Bahkan, di antaranya berpotensi mengancam demokrasi dan kebebasan pers. Pembentuk undang-undang diharapkan membuka ruang partisipasi masyarakat lebih luas lagi dan tidak terburu-buru mengesahkannya.
Beberapa pekan ini, Dewan Pers sibuk bergerilya menemui fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, seperti Fraksi Partai Gerindra (F-Gerindra), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB). Meski DPR masih reses, kedatangan Dewan Pers tetap disambut hangat oleh para wakil rakyat.
Dalam setiap pertemuan, Dewan Pers selalu menggarisbawahi bahwa kedatangan mereka bukan untuk menolak pengesahan RKUHP, melainkan memberikan sejumlah catatan atas pasal-pasal dalam draf RUU pedoman hukum pidana nasional tersebut. Dalam kajian Dewan Pers, beberapa pasal di dalam draf RKUHP justru berpotensi mengancam demokrasi dan kebebasan pers.
”Kami tidak menentang RKUHP, tetapi kami ingin memberikan beberapa penyempurnaan, perbaikan dari pasal-pasal yang kami anggap krusial dan harus direformulasi,” ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etik Pers Yadi Hendriana dalam pertemuan dengan pimpinan dan sejumlah anggota Fraksi PKB, Rabu (10/8/2022).
Permintaan untuk memperbaiki pasal-pasal bermasalah itu juga muncul dari Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR). Dalam draf RKUHP versi terakhir, 4 Juli 2022, ICJR menemukan ada 73 pasal bermasalah, baik dari segi rumusan, kesalahan teknis, maupun ada beberapa catatan substansi. Jumlah pasal yang bermasalah ini bertambah dari sebelumnya sekitar 20 pasal.
Saat ini, bola pembahasan RKUHP ada di tangan DPR. Karena itu, ICJR berharap DPR dapat mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama catatan atas puluhan pasal yang bermasalah.
Seyogianya DPR tidak abai terhadap masukan dari sejumlah elemen masyarakat ini. Sebab, hal itu pula yang disuarakan oleh sebagian besar masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar pada akhir Juni 2022, sebanyak 70,7 persen responden berargumen masih ada beberapa pasal yang mengganjal sehingga mereka menolak RKUHP untuk disahkan.
Pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu ialah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (pasal 218) serta penghinaan terhadap pemerintah (pasal 240, 241). Pasal-pasal tersebut, termasuk pasal 246-248 tentang larangan penghasutan untuk melawan penguasa umum, dinilai akan menambah sempit ruang bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Terlebih lagi, definisi dari tindak pidana yang ada dalam pasal-pasal tersebut masih abu-abu sehingga rawan menimbulkan kriminalisasi.
Publik seakan mendapat ”angin segar” ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya memastikan masyarakat memahami semua masalah yang masih diperdebatkan di dalam RKUHP. Dalam rapat tertutup dengan sejumlah menteri di Istana Merdeka, Jakarta, awal Agustus lalu, Presiden meminta para menteri mendiskusikan lagi secara masif dengan masyarakat perihal substansi RKUHP.
Tidak terburu-buru
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, pun memastikan bahwa RKUHP tak mungkin disahkan sebelum 17 Agustus atau bersamaan dengan peringatan ke-77 tahun hari kemerdekaan Indonesia, sebagaimana digembar-gemborkan selama ini oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Baca juga: Sosialisasi RKUHP Sasar Kelompok Strategis
Sebab, masa sidang DPR baru akan dimulai pada 16 Agustus mendatang. Setelah itu, Komisi III DPR bersama pemerintah baru bisa menyusun jadwal pembahasan RKUHP. Arsul menyampaikan, DPR tak akan terburu-buru melanjutkan proses pembahasan RKUHP, dan masyarakat sipil tentu akan dilibatkan dalam proses pembahasan tersebut.
”Agak masalah (jika usulannya memantik) perdebatan, (misalnya) perlu ada atau tidak perlu ada. Itu masalah. Namun, kalau pasal itu direformulasi, saya kira enggak masalah,” ucap Arsul.
Ketua Fraksi PKB DPR Cucun Ahmad Syamsurijal sependapat dengan Arsul. Ruang pembahasan RKUHP perlu dibuka kembali sehingga lebih menyerap aspirasi publik. Dengan begitu pula, diharapkan, keberlakuannya akan panjang.
”Jangan sampai jalan sendiri, lalu diputuskan. Ini ke depan tidak baik juga. Berbahaya. Jangan sampai kita setback. Sudah reformasi, mundur lagi. Mengkritik, malah dipidana. Jangan begitu,” tutur Cucun.
Sebagai pejabat publik dan wakil rakyat, menurut Cucun, pemerintah dan DPR harus bisa membuka diri dan mendengarkan aspirasi publik. Kemudian, masukan itu harus pula diperjuangkan untuk diakomodasi dalam sebuah kebijakan atau peraturan perundang-undangan.
Jika melihat masih banyak yang dipersoalkan dalam draf RKUHP, sebaiknya pembentuk UU, baik pemerintah maupun DPR, membuka lagi partisipasi masyarakat dan mendengarkan pendapat-pendapat masyarakat mengenai pasal-pasal yang dianggap krusial. Pemerintah dan DPR tidak bisa asal menargetkan kapan RKUHP itu selesai.
”Jangan sampai baru satu tahun, RKUHP ini lalu direvisi lagi karena banyak pertentangan. Kita harus membuka diri dan mendengar bagaimana masukan publik. Mendengar, dan wujudkan seperti apa, cari jalan keluarnya. Jangan sampai tidak mau mendengar,” kata Cucun.
Memikul tanggung jawab
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti berpandangan, jika melihat masih banyak yang dipersoalkan dalam draf RKUHP, sebaiknya pembentuk UU, baik pemerintah maupun DPR, membuka lagi partisipasi masyarakat dan mendengarkan pendapat-pendapat masyarakat mengenai pasal-pasal yang dianggap krusial. Pemerintah dan DPR tidak bisa asal menargetkan kapan RKUHP itu selesai.
”Hal yang paling esensi adalah kita menginginkan KUHP yang dibuat secara demokratis,” kata Susi.
Ia mengingatkan, negara merupakan organisasi kekuasaan di mana negara dapat melakukan tindakan-tindakan koersif melalui UU yang dibuatnya. Dari sini, pembentukan UU haruslah menggunakan waktu yang wajar dan memadai sehingga memberikan kesempatan kepada rakyat untuk melihat sampai sejauh mana paksaan-paksaaan oleh negara itu nanti akan terjadi kepadanya. ”Jadi, rakyat itu harus diberi waktu yang cukup untuk memperhitungkan segala sesuatu itu,” katanya.
Baca juga: Menggugat Semangat Dekolonisasi di RKUHP
Menurut Susi, pemerintah juga tidak bisa asal menyerahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) jika pada akhirnya masih ada sebagian kalangan tidak sependapat dengan pengesahan RKUHP. Sebab, pola pemikiran seperti itu justru menjadikan MK semacam keranjang sampah di mana MK harus membereskan persoalan-persoalan yang dibuat oleh pembentuk UU.
”Padahal, menurut ajaran legisprudence, pembentuk UU itu mempunyai tanggung jawab untuk menghasilkan UU yang berkualitas. Mereka punya tanggung jawab untuk itu,” ujar Susi.
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Agustinus Pohan, pun meminta pemerintah dan DPR sebaiknya membahas ulang pasal-pasal yang masih dinilai oleh sebagian elemen masyarakat bermasalah meskipun pasal tersebut tidak termasuk dalam daftar 14 isu krusial. Hal tersebut harus dilakukan terutama jika elemen masyarakat bisa secara obyektif membuktikan adanya kekeliruan atau persoalan dalam pasal yang dimaksud.
”Mengapa pemerintah dan DPR harus bertahan (hanya membahas) di 14 persoalan. Pemerintah dan DPR jangan berpikir bahwa suatu saat nanti bisa diubah. Masalahnya, mengubah KUHP tidak sesederhana mengubah undang-undang yang lain. Jangan pikir itu mudah. Atau alasan kedua, kalau tidak sepakat, nanti ajukan ke MK. Kalau memang sudah tahu ada persoalan, kenapa tidak diperbaiki sebelum menjadi undang-undang. Kenapa harus dipaksakan untuk diperbaiki di kemudian hari,” tutur Agustinus Pohan.
Kenyataannya, tambahnya, ada beberapa pasal yang gambling atau secara jelas keliru. Salah satunya ialah pasal terkait penghinaan presiden yang dipersoalkan oleh banyak kalangan karena dinilai menghidupkan norma yang sudah dimatikan oleh MK dalam putusannya.
”Mungkin tim perumus RKUHP sudah lelah. Oleh karena itu, timnya perlu disegarkan oleh orang muda. Seharusnya libatkan generasi yang lebih muda di dalam tim. UU ini punya generasi muda, bukan kita yang sudah tua. Yang akan menegakkan generasi muda, merekalah pemilik masa depan,” tutur Pohan.
Selain itu, tim perumus jangan dikuasai oleh orang hukum. Sebab, menurut Pohan, KUHP bukanlah semata persoalan orang hukum. ”Memang namanya undang-undang hukum pidana, tetapi menyangkut kepentingan seluruh elemen masyarakat. Libatkanlah antropolog, sosiolog, budayawan, dan lainnya,” ujarnya.
Pentingnya melibatkan orang nonhukum antara lain ditunjukkan dengan salah satu klausul mengenai pembayaran denda, misalnya. Dalam RKUHP diatur bahwa apabila terpidana tidak mampu membayar denda, diganti dengan hukuman badan. Pengaturan semacam itu, tambah Pohan, sama saja dengan memenjarakan orang miskin atau tidak berpunya.
”Apakah itu sesuai dengan Pancasila. Kejam benar rasanya negara ini,” ujarnya, sembari menegaskan perlunya sudut pandang dari orang-orang dengan latar belakang nonhukum.
Terkait dengan perintah Presiden Joko Widodo agar RKUHP didiskusikan kembali dengan masyarakat, Agustinus Pohan juga memberi catatan mengenai hal tersebut. Ia berharap tim pemerintah dan DPR tidak mereduksi makna didiskusikan kembali tersebut menjadi hanya sebuah ”sosialisasi”.
Sebab, istilah sosialisasi itu lebih tepat digunakan jika RKUHP sudah disahkan menjadi undang-undang. Seharusnya, pemerintah dan DPR mengadakan konsultasi nasional atau penjaringan masyarakat dari masyarakat secara luas.
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Wiyanti Eddyono, pun menyampaikan, upaya mendiskusikan ulang RUU kepada masyarakat merupakan langkah yang tepat dan perlu dilakukan. Sebab, RKUHP ini akan menjadi payung hukum pidana di masa mendatang.
”Jadi, harus secara arif mempertimbangkan berbagai concern di dalam masyarakat. Konsultasi nasional perlu dilakukan kepada berbagai kelompok kepentingan yang beragam, misalnya kepada organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan profesi,” kata Sri.