Internalisasi Moderasi Beragama Mesti Diwujudkan dalam Program Nyata
Moderasi menjadi cara pandang yang harus dipegang teguh dalam kehidupan yang beragam. Internalisasi moderasi beragama harus diwujudkan dalam program nyata agar terintegrasi ke dalam segenap aspek kehidupan.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pengarusutamaan, pembelajaran, dan pemahaman terhadap moderasi beragama memerlukan proses dan tahapan–termasuk melalui jalur pendidikan–agar terintegrasi ke dalam segala aspek kehidupan. Hal ini perlu diwujudkan dalam program nyata secara struktural, baik melalui kebijakan yang tepat dari pemerintah pusat dan daerah maupun jalur kultural, yakni pendidikan formal dan informal, serta sejumlah forum dialog dan kerja sama.
”Moderasi mengarahkan warga kepada sikap saling menghormati perbedaan, selain menginternalisasikan ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan, membangun kemaslahatan masyarakat, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan secara daring pada pembukaan Kongres Nasional Pendidikan Agama Islam ke-5 Tahun 2022 yang digelar di Universitas Negeri Yogyakarta, Kamis (11/8/2022).
Wapres Amin menuturkan bahwa moderasi beragama pada hakikatnya adalah sikap toleransi berperikemanusiaan dan berbudi luhur yang sudah menjadi nilai kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Dengan demikian, moderasi beragama atau wasathiyyatul Islam bukanlah barang baru, melainkan merupakan bagian dari jati diri dan sekaligus sebagai sumber resiliensi atau ketangguhan bangsa dalam menghadapi aneka permasalahan.
Moderasi mengarahkan warga kepada sikap saling menghormati perbedaan, selain menginternalisasikan ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan, membangun kemaslahatan masyarakat, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Namun, dalam perkembangan akhir-akhir ini muncul tantangan berupa paham-paham radikal atau ekstrem, baik yang berorientasi pada agama maupun ideologi-ideologi lain, seperti liberalisme dan sekularisme. ”Oleh karena itu, kita perlu memperkuat pemahaman dan sikap keagamaan yang moderat, (yakni) melalui sejumlah gerakan khususnya di bidang pendidikan agama,” kata Wapres Amin.
Menurut Wapres Amin, dosen pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum dapat menjadi garda terdepan dalam menumbuhkan moderasi beragama yang dapat mencegah paham radikal. Mereka juga berperan memberi landasan ideologi serta bekal ilmu pengetahuan yang lurus bagi mahasiswa untuk menjadi pelopor dan pembawa kemaslahatan bagi masyarakat dalam wujud khazanah ilmu dan peradaban Islam yang merupakan rahmat bagi semesta.
Pada kesempatan tersebut, Wapres Amin meminta Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam untuk memperhatikan lima hal penting dalam menghadapi tantangan di era kemajuan teknologi saat ini. Pertama, peningkatan kompetensi dan pengetahuan semua dosen pendidikan Islam sehingga pengajaran dan pendidikan agama Islam tidak tertinggal, tetapi makin berkualitas dan relevan dengan perkembangan zaman.
Kedua, peningkatan kompetensi di bidang teknologi informasi agar mampu memenuhi harapan kapabilitas komunikasi multimedia dengan generasi muda. Ketiga, penerapan segera budaya kemandirian belajar dalam pendidikan dan pengajaran agama Islam agar keunggulan ilmu dan peradaban Islam makin dikenal, berkembang, dan maju.
Keempat, para rektor di perguruan tinggi umum hendaknya melakukan tindakan-tindakan proaktif untuk memperkuat moderasi beragama di kampus. Hal ini misalnya dengan mengarahkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler keagamaan, termasuk pengelolaan masjid kampus, yang berorientasi pada moderasi beragama.
”Kelima, perkuat kerja sama dengan sejumlah lembaga dan instansi untuk kampanye moderasi beragama serta kemajuan pendidikan nasional dan peradaban bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Wapres Amin.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia Aam Abdussalam menuturkan, Kongres Nasional Pendidikan Agama Islam V kali ini mengusung tema ”Pengarusutamaan Moderasi Beragama untuk Kemanusiaan dan Peradaban Dunia”. ”Dengan tema pengarusutamaan moderasi beragama, maka betul-betul diharapkan kongres dan konferensi ini mampu menelurkan pemikiran-pemikiran terbaik untuk bangsa,” katanya.