Di mata publik terungkapnya pelaku pembunuhan Brigadir J merupakan ujian bagi Polri. Papan karangan bunga dikirimkan sebagai wujud dukungan. Hal ini bisa dijadikan modal sosial bagi Polri untuk bekerja profesional.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Belasan papan karangan bunga berjejer di depan pagar gedung Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara RI, Rabu (10/8/2022). Kalimat-kalimat dukungan, seperti ”Dukung Polri” dan ”Save Polri”, serta apresiasi dan dukungan terhadap Polri terpampang di papan bunga itu. Dukungan mengalir karena Polri dinilai berhasil membongkar kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Warna-warni papan bunga yang dikirim warga, organisasi, dan komunitas itu tampak mencolok di Jalan Trunojoyo Nomor 3, Jakarta. Mayoritas pengirim mengapresiasi kinerja Polri untuk menegakkan keadilan bagi Nofriansyah dan keluarga. Mereka juga memberikan dukungan kepada Polri agar terus menjaga obyektivitas, akuntabilitas, dan transparansi dalam penanganan kasus ini.
Karangan bunga antara lain dikirim oleh Pomparan Sir Janabarat Sedunia, Pemuda Batak Bersatu, Advokat Pengawal Konstitusi, serta beberapa kantor hukum dan advokat. ”Save Polri, Tuntaskan Kasus Pembunuhan Brigadir Yosua” tulis pengirim papan bunga dari Kantor Hukum Tarigan Sianturi dan rekan.
”Apresiasi dan Dukungan kepada Polri, Komnas HAM, Tim Khusus gabungan, LPSK, pengacara keluarga, dukungan masyarakat dan pihak-pihak lainnya atas kasus kematian Yosua Hutabarat semakin jelas,” tulis pengirim, Pomparan Sir Janabarat Sedunia.
Salah satu pengirim bunga, Aan Rohaeni, dari kantor advokat dan konsultan hukum di Purwokerto, Jawa Tengah, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, mengatakan, karangan bunga dikirim sebagai wujud apresiasi terhadap kinerja Polri menangani kasus pembunuhan terhadap Nofriansyah.
Aan menilai penetapan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Inspektur Jenderal (Pol) Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan Nofriansyah adalah pembersihan besar-besaran terhadap anasir-anasir Polri yang telah bertindak tak profesional. Dalam kasus ini, Polri juga menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumia, Brigadir Ricky Rizal, dan Kuat.
Selain itu, lebih dari 30 anggota polisi juga menjalani pemeriksaan pelanggaran kode etik karena dianggap merekayasa kasus ini demi melindungi atasan dan kolega sesama seragam coklat.
”Ucapan selamat dan terima kasih harus kami sampaikan agar Bapak Kapolri mendengar sendiri suara hati kami. Rakyat Indonesia yang menaruh harapan tinggi agar Polri jadi pengayom, pelindung masyarakat, dan jadi ujung tombak penegakan hukum,” kata Aan.
Melihat sikap Kapolri yang berani, bekerja transparan dan profesional menyidik koleganya yang berpangkat jenderal bintang dua, Aan merasa punya harapan Polri bisa lebih profesional.
Dia juga mengucapkan selamat kepada Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang dianggap telah berhasil melewati ujian mahaberat, yaitu menindak dan menyidik koleganya. Sebagai advokat, dia mengetahui benar betapa sulitnya beperkara melawan orang besar, terutama keluarga dan kolega pejabat Polri.
Melihat sikap Kapolri yang berani, bekerja transparan dan profesional menyidik koleganya yang berpangkat jenderal bintang dua, Aan merasa punya harapan Polri bisa lebih profesional. Dia berharap semangat yang sama akan menular ke jajaran polda dan polres di seluruh wilayah.
Sesuai pengalamannya sebagai kuasa hukum, gangguan terbesar penyidik Polri untuk bersikap profesional ada dua hal, yakni adalah atensi dan intervensi atasan langsung atau pejabat Polri yang memiliki jabatan lebih tinggi. ”Pesan moralnya, tidak ada orang yang kebal hukum di Republik Indonesia, sekalipun itu berpangkat jenderal,” kata Aan.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto berpandangan, dukungan dari masyarakat terhadap Polri bisa menjadi modal sosial bagi Polri untuk memperbaiki profesionalitas dan soliditas internal institusi tersebut. Meskipun respons Polri terlambat karena kasus baru terungkap 30 hari setelah kejadian, menurutnya, kinerja tim khusus yang dibentuk Kapolri tetap layak diapresiasi. Modal sosial itu, lanjutnya, bisa dibangun untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sempat koyak karena kejanggalan-kejanggalan di awal penanganan kasus ini.
Dia berpendapat, jika modal sosial ini bisa digunakan oleh Kapolri untuk ”bersih-bersih” internal kelembagaan, bukan tak mungkin kepercayaan publik bisa kembali direbut. Skeptisisme dan publik yang berisik di kasus ini, menurut peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) ini, justru bentuk dukungan terhadap Polri. ”Tanpa ada publik yang nyinyir, rasanya kasus tidak akan terungkap,” ujar Bambang.
Catatan survei Litbang Kompas, citra Polri di hadapan publik terus menurun. Citra Polri sempat melesat di angka 78,7 persen pada April 2021. Kemudian, pada Oktober 2021, angka itu turun menjadi 77,5 persen. Di medio tahun ini citra korps Bhayangkara bahkan turun lagi menjadi 65,7 persen.
Sejak awal Oktober 2021 lalu, profesionalitas Polri dalam menangani kasus-kasus pidana dipertanyakan publik. Publik tak puas terhadap pelaporan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasan itu diungkapkan dengan beramai-ramai merekam pengalaman mereka saat mengurus kasus pidana di media sosial dengan tagar #Percumalaporpolisi. Sejumlah video yang merekam kekerasan polisi saat bertugas juga viral di jagat maya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga mengapresiasi kinerja Polri, khususnya Kapolri, yang dinilai serius mengusut dan membuka perkara ini secara terang benderang. Ia mengibaratkan kasus ini seperti orang yang hendak melahirkan tetapi kesulitan, dan akhirnya dilakukan operasi sesar. Kapolri akhirnya bisa mengeluarkan bayi itu dengan menetapkan Ferdy sebagai tersangka.
”Yang pokok (Ferdy) dijadikan tersangka karena perannya. Nanti mungkin akan menyambung perbuatan menghalang-halangi penegakan hukum. Kami terus mengawal dan mendorong agar kasus ini dibuka secara terang benderang,” kata Mahfud.