Amendemen Terbatas Konstitusi Rawan Disusupi Kepentingan Politik
Amendemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 sebaiknya dilakukan secara komprehensif untuk menghindari munculnya kepentingan elite politik yang muncul selama proses pembahasan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Ketua MPR Bambang Soesatyo memimpin Upacara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 dalam sidang paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Wacana amendemen konstitusi secara terbatas tetap rawan disusupi berbagai kepentingan politik kendati dilakukan setelah Pemilihan Umum 2024. Salah satunya kepentingan untuk mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Ilahi, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (10/8/2022), mengatakan, rencana MPR mengubah konstitusi terbatas setelah Pemilu 2024 tidak pas. Amendemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 sebaiknya dilakukan secara komprehensif untuk menghindari munculnya kepentingan elite politik yang muncul selama proses perubahan berlangsung.
”Kalaupun mau melakukan amendemen terbatas dengan memasukkan frasa PPHN, saya kira ini bukan waktu yang pas. Karena nanti konsekuensinya MPR akan berada pada titik kuasa yang tertinggi lagi. Kalaupun kita harus melakukan perubahan konstitusi, kita harus melihat angle-nya dulu. Hal-hal apa saja yang perlu diubah. Kalau mau melakukan perubahan terhadap konstitusi, tentu harus dilakukan secara komprehensif,” ujar Beni.
DOKUMENTASI MPR
Ketua MPR Bambang Soesatyo bertemu dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa di kantor DPP PPP di Jakarta, Jumat (1/7/2022). Pimpinan MPR belakangan tengah gencar bersilaturahmi dengan sejumlah partai politik dalam rangka menyerap aspirasi terkait PPHN.
Sebelumnya diberitakan, MPR masih membuka kemungkinan untuk mengatur PPHN dengan mengamendemen konstitusi secara terbatas. Namun, untuk menghindari masuknya berbagai macam kepentingan politik, proses amendemen diusulkan agar dilakukan setelah Pemilu 2024.
Beni sepakat jika amendemen dilaksanakan setelah Pemilu 2024. Namun, amendemen tidak dibahas oleh MPR periode 2019-2024, tetapi MPR periode selanjutnya hasil Pemilu 2024. Sebab, waktu yang tersisa selama enam bulan tidak akan cukup untuk membahas perubahan UUD.
Tak hanya itu, pascapemilu tensi politik dipastikan sudah turun dibandingkan pada saat persiapan Pemilu 2024. Anasir-anasir politik yang ingin menumpang amendemen juga diperkiraan tidak sebanyak saat sebelum pemilu.
Kalaupun mau melakukan amendemen terbatas dengan memasukkan frasa PPHN, saya kira ini bukan waktu yang pas. Karena nanti konsekuensinya MPR akan berada pada titik kuasa yang tertinggi lagi.
MPR harus memulai proses tersebut dengan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai perlu tidaknya dilakukan amendemen. Selain itu, MPR juga harus melakukan konsultasi publik, apabila harus diubah, materi apa saja yang mendesak untuk dilakukan perubahan. MPR perlu menjaring suara dari kampus-kampus dan stakeholder yang lain.
Fokus dua pasal
Dihubungi terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan, dalam draf substansi PPHN, sejauh ini tidak ada klausul meminta pertanggungjawaban Presiden kepada MPR. Ia menyebut, jika nanti pilihannya adalah mengamendemen konstitusi, hanya akan terbatas pada dua pasal.
Kedua pasal tersebut adalah Pasal 3 UUD 1945 terkait kewenangan MPR menetapkan PPHN, dan Pasal 23 UUD 1945 tentang persetujuan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh DPR yang harus merujuk garis-garis kebijakan PPHN.
Untuk diketahui, MPR telah sepakat membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji payung hukum yang tepat untuk mengatur PPHN. Sejauh ini, ada empat alternatif payung hukum yang diusulkan untuk dikaji, yakni amendemen konstitusi, UU, Ketetapan MPR, dan konvensi ketatanegaraan.
Panitia ad hoc akan ditetapkan dalam Sidang Paripurna MPR pada 5 September atau 7 September mendatang. Adapun panitia ad hoc ini akan terdiri dari 10 unsur pimpinan MPR dan 45 anggota dari fraksi-fraksi partai politik di MPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
KOMPAS/NINA SUSILO
Bambang Soesatyo
Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin menyampaikan, pada prinsipnya, apa pun yang disampaikan atau menjadi sikap dari fraksi-fraksi di DPR, sah-sah saja. Ini termasuk usulan dari PPP yang menginginkan amendemen terbatas setelah Pemilu 2024 dan sebelum berakhirnya masa jabatan MPR periode sekarang.
”Kekhawatiran akan membuka kotak pandora itu cukup beralasan karena publik selalu mengkhawatirkan isu ini,” tutur Sultan.
Namun, semua ini masih berproses. Semua alternatif payung hukum akan dikaji terlebih dahulu oleh panitia ad hoc yangakan dibentuk pada September nanti. ”Tentu, di panitia ad hoc itu akan timbul perdebatan, dinamika, dan aspirasi dari masyarakat luas,” ujarnya.
DOKUMENTASI PRIBADI
Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin
Sultan mengungkapkan, dari beberapa kali diskusi dengan pimpinan dan anggota MPR, di luar amendemen, ada salah satu cara yang bisa ditempuh agar PPHN bisa segera dilakukan, salah satunya melalui konvensi ketatanegaraan. Konvensi ketatanegaraan ini pun memungkinkan jika semua bersepakat.
Meski demikian, alternatif payung hukum berupa konvensi ketatanegaraan juga masih harus dikaji lebih dalam lagi. Sebab, kebijakan yang lahir melalui konvensi ini tidak akan serta-merta memiliki konstruksi hukum yang kuat.
”Artinya, kan, ya, namanya konvensi, atau kesepakatan, setiap saat itu bisa berubah atau bisa juga bersepakat. Tetapi, poinnya, kami ingin PPHN ini benar-benar baku dan semacam inkrah sebagai sebuah pedoman arah, juga semacam kompas, yang mana dia final, inkrah sebagai pedoman pembangunan nasional jangka panjang yang berkelanjutan,” kata Sultan.
DPD pun menginginkan agar PPHN nanti tidak bisa dilepaskan dari bagian DPD. Artinya, pembagian kewenangan lembaga perwakilan haruslah proporsional. Dengan begitu, PPHN diharapkan betul-betul menjadi arah pembangunan nasional yang tidak hanya didominasi oleh aturan-aturan, peraturan perundang-undangan, atau keputusan politik yang saat ini hanya didominasi oleh lembaga eksekutif dan DPR.
DOKUMENTASI MPR
Ketua MPR Bambang Soesatyo bertemu dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa di kantor DPP PPP di Jakarta, Jumat (1/7/2022). Pimpinan MPR belakangan tengah gencar bersilaturahmi dengan sejumlah partai politik dalam rangka menyerap aspirasi terkait PPHN.
”DPD sebagai perwakilan daerah tentu tidak ingin PPHN hanya skeadar berorientasi untuk menyelamatkan agenda jangka pendek. Tentu ini harus jangka panjang sehingga kami tidak ingin agenda konstitusional ini dilakukan dengan cara-cara yang terburu-buru sekali meskipun ada pintunya melalui konvensi,” tutur Sultan.
Ketua Kelompok DPD di MPR Tamsil Linrung menambahkan, Badan Pengkajian Kelompok DPD MPR setuju agar bentuk hukum PPHN melalui amendemen. Namun, itu harus harus dilakukan secara komprehensif. ”Tidak masalah hal tersebut dilakukan dengan mengacu pada waktu yang diusulkan oleh PPP,” katanya.
Ia mengakui, jika mengambil waktu pembahasan antara sesudah Pemilu 2024 sampai akhir masa jabatan MPR periode sekarang, itu akan sangat mepet dan menjadi kendala. Namun, menurut dia, PPHN ini sudah dibahas bertahun-tahun sehingga terkait substansi semestinya tidak ada masalah.
Sementara itu, amendemen komprehensif yang diusung DPD RI terkait dengan penataan kewenangan dan juga sudah dibahas cukup lama. Naskah Akademik sudah sejak tahun lalu kami sudah siapkan. ”Jadi, ini betul-betul hanya bentuk hukumnya saja yang menjadi ganjalan karena kekhawatiran akan disusupi dengan kepentingan lain,” tutur Tamsil.