Kendati draf RKUHP sudah diperbaiki, masih ditemukan pasal-pasal bermasalah. Bahkan, temuan masyarakat sipil, jumlah pasal bermasalah terus bertambah.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elemen masyarakat sipil masih menemukan sejumlah masalah di dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP versi terakhir, 4 Juli 2022. Dari semula 20 pasal, kini bertambah menjadi sekitar 73 pasal yang ditemukan bermasalah. Pemerintah dan DPR diminta tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP mengingat pentingnya undang-undang tersebut sebagai landasan pemidanaan setiap warga negara.
Sebanyak 73 pasal bermasalah itu salah satunya ditemukan oleh Maidina Rahmawati, peneliti Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR). Bukan hanya dari rumusan dan kesalahan teknis, substansi sejumlah pasal juga masih bermasalah.
ICJR sudah menyerahkan catatan pasal-pasal bermasalah tersebut kepada pemerintah. Diharapkan, catatan itu nantinya bisa dibahas dalam dalam rapat dengar pendapat umum di DPR. ”Nanti DIM (daftar inventarisasi masalah) dari masyarakat, DPR membahas bersama dengan pemerintah,” ujarnya.
Adapun daftar-daftar pasal tersebut terdapat di Buku I yang tersebar di empat bab dan Buku II di 12 bab. Pasal-pasal itu antara lain mengatur tentang living law, asas legalitas, asas universalitas, asas nasionalitas aktif, batas usia aduan anak, aduan Lembaga negara, strict liability, pertanggungjawaban pidana disabilitas, pedoman pemidanaan, judicial pardon, pidana mati, komutasi pidana seumur hidup, gugurnya kewenangan penuntutan, kedaluwarsa penuntutan, dan lainnya. Pasal-pasal ini terdapat di dalam Buku I RKUHP.
Sementara itu, pada Buku II yang mengatur tindak pidana, ada sejumlah ketentuan yang perlu dicermati. Di antaranya tindak pidana terhadap keamanan negara dan martabat presiden/wakil presiden, makar, penghinaan terhadap golongan pendudukan, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, dan penghasutan untuk melakukan tindak pidana dan melawan penguasa umum. Selain itu, penyebaran kebencian, membuat gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadah, penghinaan terhadap orang yang menjalankan ibadah atau memimpin penyelenggaraan ibadah, menodai bangunan tempat ibadah, pornografi, dan lain sebagainya.
Maidina mengungkapkan, saat ini bola pembahasan RKUHP ada di DPR. Ia berharap DPR dapat mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil terutama catatan atas puluhan pasal yang bermasalah.
Sebelumnya, Dewan Pers telah bergerilya menemui fraksi-fraksi di DPR, seperti Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Gerindra. Dewan Pers juga memberikan sejumlah catatan atas pasal-pasal di RKUHP yang dinilai bisa berpotensi untuk mengancam demokrasi dan kebebasan pers (Kompas, 9/8/2022).
Ketua Tim Komunikasi RKUHP Albert Aries mengakui bahwa hingga Senin (8/8/2022), pihaknya sudah menerima tiga kali revisi usulan atau masukan dari ICJR dan LeIP (Lembaga Advokasi dan Kajian untuk Independensi Peradilan) yaitu pada 4 Juli, 30 Juli, dan 7 Agustus. ”Artinya, usulan dan masukan teman-teman ICJR patut diasumsikan belum benar-benar final dan fixed baik dari sisi urutan maupun substansinya karena mungkin masih ada susulan masukan lainnya,” ujarnya.
Meskipun demikian, pemerintah tetap akan berupaya menerima, membahas, dan mempertimbangkannya bersama tim ahli/sosialisasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal itu dilakukan untuk memenuhi partisipasi bermakna, khususnya hak untuk didengar (the right to be heard) dan hak untuk dipertimbangkan (the right to be heard).
”Terlepas bagaimana keputusan bersama dari pemerintah dan DPR nanti,” kata Albert. Namun, ia mengungkapkan bahwa DIM RKUHP sudah selesai dibahas pada 2019.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengingatkan agar pemerintah dan DPR memastikan adanya partisipasi bermakna seperti diingatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya. Ada tiga prasyarat terjadinya partisipasi bermakna, yaitu hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dipertimbangkan. Pemerintah dan DPR perlu memberikan penjelasan terhadap semua pihak atas pendapat yang sudah didengarkan dan dipertimbangkan, mengapa diakomodasi ataupun mengapa tidak.
Kalau prosesnya ugal-ugalan dan nirpartisipasi, kita khawatir RKUHP banjir gugatan formil ke MK seperti undang-undang sebelumnya.
Dalam konteks RKUHP saat ini ketika masih ada banyak keberatan dari berbagai elemen masyarakat, Allan menyarankan agar pemerintah dan DPR membuka kembali proses pembahasan dengan mengedepankan tiga prasyarat sebuah partisipasi menjadi partisipasi yang bermakna. DPR perlu memublikasikan naskah akademik, draf RKUHP, dan DIM serta perkembangan terbaru pembahasan. Setelah itu, pemerintah dan DPR perlu membuka diskusi dan pembahasan dengan berbagai elemen, yang bisa dilakukan secara daring maupun luring.
Allan sepakat apabila pembahasan RKUHP dimulai dari awal. Selain karena pembahasan draf RKUHP dilakukan oleh anggota DPR yang berbeda, RUU ini sudah dibahas sejak lama. dengan demikian, besar kemungkinan ada berbagai perubahan terkait perkembangan hukum pidana yang sangat dinamis.
”Kalau prosesnya ugal-ugalan dan nirpartisipasi, kita khawatir RKUHP banjir gugatan formil ke MK seperti undang-undang sebelumnya,” kata Allan.
Ia berharap DPR dan pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP mengingat pentingnya rancangan undang-undang tersebut sebagai wujud pembaruan hukum pidana nasional.
Perlu keseimbangan
Pengajar hukum pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar, berharap, agar RKUHP juga berfungsi sebagai alat kontrol baik bagi warga negara maupun petugas negara dalam menjalankan kewenangannya. KUHP ke depan diharapkan dapat memberikan keseimbangan, tidak hanya masyarakat kecil yang bisa dipidana, tetapi juga petugas negara yang melakukan penyelewengan kekuasaan.
”Selama ini kan belum ada. Penyelewengan petugas negara dipandang seolah-olah sebagai kesalahan administrasi. Padahal, seharusnya bisa dipidana. Ini harus diseimbangkan,” ujarnya.
Ia mencontohkan, petugas keamanan kota yang menertibkan/membongkar bangunan yang tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan). Di satu sisi, ada legalitas bagi petugas untuk melakukan penertiban, tetapi di sisi lain ada hak masyarakat untuk memperoleh permukiman. Sebaiknya, jika tak ber-IMB, perdebatan tersebut seharusnya dilakukan di pengadilan mengingat sebenarnya yang bersangkutan sudah memegang bukti kepemilikan tanah yang sah.
”Kalau kepemilikan jelas, itu legal. Harus dihargai. Kalau ada bangunan di atas tanah tersebut meskipun tanpa IMB, pemda tidak bisa membongkar begitu saja. Harus ada akses masyarakat untuk mempertahankan hal itu. KUHP harus memfasilitasi hal ini,” katanya.