Bharada E Mengaku Diperintah Atasan untuk Menembak Brigadir J
Bharada E mengaku diperintah atasan untuk menembak Brigadir J. Mahfud MD pun meminta agar masyarakat terus mengawal kasus ini.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, DIAN DEWI PURNAMASARI, NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu telah mengungkap kepada penyidik Kepolisian Negara RI bahwa ia diperintah oleh atasannya untuk menembak Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Hal itu disampaikan kuasa hukum Eliezer, Deolipa Yumara, saat mendatangi kantor Badan Reserse Kriminal Polri, Senin (8/8/2022) malam.
Pengakuan Eliezer itu berbeda dengan dugaan penyebab tewasnya Nofriansyah yang disampaikan Polri saat kasus ini pertama kali diungkap, yaitu Nofriansyah tewas akibat saling tembak dengan Eliezer di rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Saat itu, Polri menyebut saling tembak itu dipicu perbuatan Nofriansyah yang melakukan pelecehan terhadap istri Ferdy, Putri Candrawathi.
Pengakuan Eliezer tersebut, menurut Deolipa, telah tertuang dalam berita acara pemeriksaan. Hingga saat ini, dengan status Eliezer sebagai tersangka tewasnya Nofriansyah, pengakuan itu tidak berubah. Selain itu, Eliezer juga mengaku tidak ada tembak-menembak pada peristiwa tewasnya Nofriansyah.
Deolipa mengatakan, perintah menembak yang diterima kliennya itu harus dipatuhi karena perintah tersebut datang dari atasannya. Sebelumnya, Polri telah menyebutkan bahwa baik Nofriansyah maupun Eliezer merupakan ajudan Ferdy. ”Ya, namanya kepolisian, dia harus patuh perintah sama atasan. Kita juga kalau jadi karyawan patuh perintah sama pimpinan kita. Kan sama sajalah,” ujar Deolipa.
Lebih lanjut disampaikan Deolipa, saat ini Eliezer berada dalam kondisi baik. Sejauh ini tidak ada ancaman yang diterima. Orangtua Eliezer juga sudah berada di Jakarta, tetapi mereka belum bisa bertemu dengan Eliezer.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga mengungkap bahwa tewasnya Nofriansyah ini adalah kasus pembunuhan. Hal ini, sebelumnya, juga telah diungkap oleh Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Edwin Partogi Pasaribu (Kompas, 8/8/2022).
”Dulu kan katanya tembak-menembak, sekarang enggak ada tembak-menembak, yang ada sekarang pembunuhan. Sesudah dilacak lagi siapa saja yang terlibat, mulai menyentuh banyak orang,” tutur Mahfud.
Namun, kata Mahfud, upaya Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk mengungkap kasus ini sudah lumayan. Sebab, menurut dia, kasus yang terjadi di institusi yang memiliki budaya code of silence, ini sudah mulai diperiksa oleh para pejabat tingginya di Polri.
Kode senyap itu antara lain merujuk pada subkultur menyimpang pada personel kepolisian untuk menutupi kesalahan rekan sejawat.
Hingga kini, selain Eliezer, Polri menetapkan Brigadir Ricky Rizal sebagai tersangka. Baik Eliezer dan Ricky disebut sebagai ajudan Putri, istri Ferdy. Selama beberapa hari terakhir ini, mereka diperiksa dan ditahan di Bareskrim Polri.
Adapun Ferdy ditempatkan di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, untuk menjalani pemeriksaan pelanggaran kode etik. Ia merupakan satu dari 25 personel kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan tidak profesional dan menghalangi penyidikan. Dalam hal ini, Ferdy diduga mengambil dekoder kamera pemantau di kompleks rumah dinasnya, tempat Nofriansyah tewas.
Hingga kini, selain Eliezer, Polri menetapkan Brigadir Ricky Rizal sebagai tersangka.
Ferdy diperiksa oleh tim khusus Polri yang langsung dipimpin oleh Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, Senin, mengatakan, hingga saat ini, tim khusus Polri masih fokus mendalami keterangan para saksi. Pendalaman dilakukan secara simultan, baik di Mako Brimob maupun di Bareskrim Polri.
”Timsus semuanya (yang bekerja) langsung dipimpin oleh Pak Wakapolri, kemudian Pak Irwasum (Inspektur Pengawas Umum Polri), kemudian semuanya dalam proses pendalaman. Termasuk di Bareskrim, semuanya sama,” kata Dedi.
Namun, hingga kini, pihak kepolisian belum mengungkap dugaan penyebab tewasnya Nofriansyah. Mahfud pun mengingatkan agar masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan media massa untuk mengawal kasus ini. Dengan demikian, pemerintah mendapatkan umpan balik yang bagus. Ia pun meminta Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyelesaikan kasus ini secepatnya.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga menambahkan bahwa Presiden Joko Widodo juga sudah tiga kali menyampaikan dengan sangat terbuka bahwa kasus ini jangan ada yang ditutup-tutupi sehingga harus dibuka apa adanya. ”Itu kan arahan Presiden sehingga diharap bisa terselesaikan supaya citra Polri tidak babak belur seperti saat ini,” ujarnya.
Selain telah menyampaikan pengakuan yang berbeda dengan pemeriksaan awal Polri, Eliezer juga mengajukan diri sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap perkara kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menanggapi permohonan itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyampaikan, dengan adanya keterangan baru dari Eliezer terkait tewasnya Nofriansyah, LPSK akan berkoordinasi kembali dengan Bareskrim Polri untuk mendalami keterangan baru Eliezer.
”Apabila Bharada E (Eliezer) bukan pelaku utama dan ingin membuat terang perkara ini, tentu dia punya kualifikasi sebagai justice collaborator,” ucapnya.
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengungkapkan, budaya code of silence atau kode senyap seperti disinggung Mahfud itu cukup kental di institusi Polri. Kode senyap itu adalah budaya menutupi kesalahan rekan sejawat.
”Saat kasus ini mengemuka, muncul di hati saya bahwa ada code of silence merayap di institusi Polri. Ada kelompok atau geng di Polri yang berusaha menyimpangkan agar kasus tidak obyektif dan tuntas,” terang Reza.
Oleh karena itu, menurut Reza, komitmen dan soliditas Polri saat ini diuji untuk mengungkap kasus ini secara terang.