Masyarakat Sipil Berharap Sosialisasi RKUHP Tak Searah
Pembahasan RKUHP diharapkan menerapkan prinsip partisipasi publik bermakna. Ini berarti sosialisasi harus dilakukan melalui diskusi produktif, bukan paparan satu arah dari pembentuk undang-undang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan membuka ulang partisipasi publik seluas-luasnya terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP, pembentuk undang-undang diminta menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah diharapkan tidak dilakukan secara searah.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, Minggu (7/8/2022), mengatakan, publik berharap ada partisipasi bermakna dalam sosialisasi RKUHP. Menurut dia, partisipasi publik bermakna adalah diskusi produktif, bukan satu arah.
Harapan itu disampaikan karena sosialisasi RKUHP yang selama ini dilakukan hanya sebatas paparan tim pemerintah. Padahal, harapan dari masyarakat sipil, pasal-pasal bermasalah, seperti pasal yang tak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi serta pasal yang merepresi hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan sipil, bisa dihapus.
”Kami sudah berkali-kali bilang seperti itu sejak sebelum RKUHP gagal disahkan pada 2019. Namun, tetap saja partisipasi publik yang bermakna belum terjadi,” ujar Julius.
PBHI khawatir partisipasi publik bermakna akan sulit tercapai jika sosialisasi dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Pasalnya, Kemenkominfo dinilai tak memiliki kapasitas untuk menampung partisipasi publik yang bermakna. Apalagi, tugas pokok dan fungsi terkait RKUHP ini sebenarnya ada di tangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM.
”Kalau diberikan kepada Kemenkominfo untuk sosialisasi, kami khawatir itu bukan tupoksi mereka,” kata Julius.
Hingga sepekan setelah pernyataan agar pemerintah membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya untuk RKUHP, belum ada undangan secara terbuka dari pemerintah untuk sosialisasi. Namun, menurut Julius, masyarakat sipil mendapatkan informasi bahwa menurut rencana, RKUHP akan dibahas lagi per kluster permasalahan.
”Sampai saat ini partisipasi publik yang bermakna itu belum kami dapatkan. Ini masih dengan pola-pola tampung aspirasi saja,” imbuh Julius.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, RKUHP adalah rancangan undang-undang inisiatif dari pemerintah. Oleh karena itu, pasca-pernyataan presiden untuk membuka partisipasi publik seluas-luasnya, ruang keleluasaan ada di tangan pemerintah selaku inisiator. ”Jangan sampai kemudian apa yang sudah dilakukan pemerintah diklaim sebagai meaningful participation, tetapi kemudian menurut masyarakat itu masih dianggap jauh dari itu,” kata Arsul.
Arsul juga berharap sosialisasi digelar dengan memenuhi prinsip partisipasi publik bermakna. Karena saat ini DPR sedang masa reses, seharusnya pemerintah membuka kesempatan kepada publik untuk menyampaikan pandangan atau aspirasi secara tertulis.
Sampai saat ini partisipasi publik yang bermakna itu belum kami dapatkan. Ini masih dengan pola-pola tampung aspirasi saja
Tunggu surpres
Sementara itu, meski pemerintah telah menyerahkan draf RKUHP hasil perbaikan kepada Komisi III DPR, sampai saat ini surat presiden (surpres) berisi usulan pembahasan kembali draf RKUHP belum juga diterima parlemen. Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar memastikan belum ada surpres usulan pembahasan RKUHP dari pemerintah.
Sebelum reses awal Juli lalu, Sekretariat Jenderal DPR hanya menerima tiga surpres; dua terkait dengan pembentukan daerah otonomi baru di Papua dan satu surpres tertutup yang langsung diterima Ketua DPR Puan Maharani.
Oleh karena itu, RKUHP tidak mungkin disahkan sebelum 17 Agustus seperti target awal pemerintah. Pembahasan bersama pemerintah dan DPR belum bisa dilakukan selama surpres belum diserahkan.
Selain itu, menurut Indra, Badan Keahlian DPR juga berpandangan masih diperlukan diskusi bersama antara masyarakat, pemerintah, dan DPR terkait 14 isu krusial. DPR juga masih perlu mendengarkan pandangan pakar selain masukan dari masyarakat.
Arsul juga menyebut mustahil jika RKUHP disahkan sebelum 17 Agustus. Sebab, pada hari pertama masa persidangan 16 Agustus, anggota DPR sudah memiliki jadwal padat. Selain rapat paripurna pembukaan masa persidangan I tahun sidang 2022-2023 yang dilanjutkan dengan pembacaan pidato pengantar nota RAPBN 2023, DPR juga harus mengikuti sidang tahunan MPR. Sementara pada 17 Agustus, mengikuti upacara HUT Kemerdekaan di Istana Merdeka, Jakarta.
”Terus, kapan mengesahkannya (RKUHP)? Tidak mungkin,” ucap Arsul.