LPSK Siap Proses "Justice Collaborator" Selama Bharada E Bisa Buktikan Bukan Pelaku Utama
LPSK menilai sejak proses awal penanganan tewasnya Brigadir J kurang tepat karena yang dibuka ke publik adalah dugaan pencabulan dan percobaan pembunuhan. Padahal, fakta peristiwa ini adalah pembunuhan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan diri bersikap terbuka untuk memproses permohonan justice collaborator atau pihak yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan, jika pihak Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu mengajukan hal itu. Sejauh ini, berdasarkan informasi dari pihak kompeten yang diperoleh LPSK, Eliezer bukan pelaku utama dalam insiden penembakan yang menewaskan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Namun, menurut Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, Eliezer tetap harus bisa membuktikan dirinya bukan sebagai pelaku utama dalam pembunuhan terhadap Nofriansyah. Oleh karena itu, LPSK pun berharap agar kasus ini tidak berhenti pada penetapan tersangka terhadap Eliezer.
”Kami sangat terbuka untuk memproses permohonan JC (justice collaborator) Bharada E (Eliezer) sepanjang dia bisa membuktikan atau menerangkan bahwa dia bukan pelaku utama,” kata Edwin saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (7/8/2022).
Fari penelusuran dan konfirmasi yang dilakukan oleh LPSK kepada pihak yang kompeten dan dapat dipercaya tentang peristiwa ini, menurut Edwin, Eliezer bukan pelaku utama.
Lebih lanjut disampaikan Erwin, berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, salah satu syarat perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku, yakni bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya. Selain itu, pemohon harus mau mengungkap dan membuat terang perkara.
Saat ini, lanjut Edwin, LPSK belum mengetahui apakah Eliezer sebagai pelaku utama atau bukan. Namun, dari penelusuran dan konfirmasi yang dilakukan oleh LPSK kepada pihak yang kompeten dan dapat dipercaya tentang peristiwa ini, menurut Edwin, Eliezer bukan pelaku utama.
Sebelumnya, Polri menyebutkan, Nofriansyah tewas dalam insiden saling tembak dengan Eliezer di rumah dinas mantan Kepala Divisi Profesi Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Polri menyebut saling tembak itu dipicu oleh tindakan Nofriansyah yang melakukan pelecehan terhadap istri Ferdy, Putri Candrawathi.
Sejauh ini, dari kasus tersebut, baru Eliezer yang ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat pasal dengan Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 338 KUHP mengatur tentang pembunuhan. Adapun Pasal 55 dan 56 KUHP terkait persekongkolan dalam tindak pidana.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, pihak Eliezer menyatakan keinginannya menjadi justice collaborator. Hal itu, antara lain, disampaikan oleh penasihat hukum Eliezer yang ditunjuk Bareskrim Polri, Deolipa Yumara. Untuk itu, Deolipa menyatakan, pihaknya akan berkomunikasi dengan LPSK terkait permohonan perlindungan dan kesediaan Eliezer menjadi justice collaborator (Kompas.id, 7/8/2022).
Jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka, menurut Edwin, Eliezer dan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi sudah mengajukan permohonan kepada LPSK untuk mendapatkan perlindungan sebagai saksi. Namun, hingga kini, LPSK belum memutuskan apakah keduanya akan diberikan perlindungan. Untuk itu, LPSK masih memiliki waktu untuk menelaah permohonan keduanya sampai 15 Agustus 2022.
Ferdy Sambo Ditempatkan di Mako Brimob Selama 30 Hari
Penanganan kurang tepat
Edwin pun menyoroti penanganan kasus ini yang kurang tepat karena yang dibuka ke publik adalah dugaan peristiwa pencabulan dan percobaan pembunuhan. Padahal, fakta dari peristiwa ini adalah terjadinya pembunuhan terhadap Nofriansyah.
”Pembunuhan itu levelnya nomor satu tertinggi. Karena dia dalam istilah kriminal itu disebut sebagai the mother of crime. Jadi, kalau diargumentasikan, matinya harusnya itu menjadi fokus. Perhatian utama untuk dibuktikan dulu,” kata Edwin.
Ia menambahkan, pengungkapan kasus ini pada hari keempat pascaperistiwa juga telah membuat banyak orang bertanya-tanya. Begitu juga dengan proses olah tempat kejadian perkara dan pemeriksaan terhadap 25 personel Polri yang telah dinyatakan ada yang tidak sesuai prosedur membuat orang semakin melihat adanya keganjilan dalam peristiwa ini.
Karena Presiden Jokowi dan Mahfud memberikan perhatian pada kasus ini, maka apa yang dianggap awalnya biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa dan mampu mendorong Polri untuk profesional.
Edwin menegaskan, mesin penggerak proses hukum dalam kasus ini ada pada Presiden Joko Widodo serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Karena Presiden Jokowi dan Mahfud memberikan perhatian pada kasus ini, maka apa yang dianggap awalnya biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa dan mampu mendorong Polri untuk profesional.
Ia berharap, penanganan perkara ini tidak hanya berhenti pada proses penetapan tersangka terhadap Eliezer dan penempatan Ferdy di tempat khusus di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok. ”Penetapan (Ferdy) itu dalam konteks etik. Jangan hanya berhenti sampai di situ. Jangan tanggung,” kata Edwin.
Menurut Edwin, pengungkapan perkara ini akan berpengaruh terhadap citra Polri. Apabila Polri menindak tegas semua pihak yang terlibat dalam perkara ini adalah sebuah prestasi. Ketegasan itu menunjukkan Polri berdiri di tengah-tengah dan tidak menjadi berat sebelah ketika pelakunya adalah anggotanya. Itu merupakan bentuk akuntabilitas, transparansi, responsif, dan imparsialitas.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman menilai, langkah-langkah yang dilakukan oleh Kepala Polri beserta jajaran, sudah tepat dengan menerapkan sistem penindakan dua jalur. Pertama, dilakukan pengusutan pidana untuk mencari apakah benar terjadi tindak pidana dalam peristiwa tewasnya Nofriansyah dan mengejar siapa pelakunya.
Sementara kedua, dilakukan pengusutan apakah ada oknum-oknum anggota Polri yang bersikap tidak profesional dan melanggar kode etik terkait penanganan awal perkara tewasnya Nofriansyah.
”Yang paling penting, jajaran Polri yang mengusut kasus tersebut harus terus tegak lurus bekerja berdasarkan bukti-bukti yang ada, serta tidak terjebak pengaruh opini dan spekulasi,” ujar Habiburokhman.
Ia pun berharap, tim khusus bentukan Kapolri dapat mengusut kasus ini secara tuntas. ”Jangan juga ada bias antara penyidikan pidana dengan pengusutan dugaan pelanggaran kode etik,” katanya.