Kemiskinan Jelang 77 Tahun Merdeka
Di usia Republik Indonesia jelang 77 tahun masih ada jutaan warga miskin ekstrem. Ketepatan penanganan sasaran dengan dukungan data akurat dibutuhkan untuk mengentaskan mereka dari kerak kemiskinan. Terwujudkah nanti?
Bidiklah bulan sehingga kalaupun Anda meleset setidaknya akan mendarat di antara bintang-bintang. Kutipan Les Brown ini populer disandingkan dengan dorongan mematok target tinggi demi meraih pencapaian seoptimal mungkin ketika pencapaian maksimal tak tergapai.
Dalam konteks kesejahteraan sosial di negeri ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem di tahun 2024 mendatang. Sebuah target yang tidak bisa dibilang remeh karena tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia pada tahun 2021, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), berada di angka 4 persen atau berjumlah 10,86 juta jiwa.
Dampak pandemi Covid-19 hingga tantangan ekonomi global, termasuk pergerakan harga pangan, yang terjadi belakangan ini pun menambah tantangan tersendiri dalam menurunkan kemiskinan ekstrem. “Cukup sulit untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem karena orang yang berada dalam kerak kemiskinan yang paling dasar cenderung sensitif terhadap pergerakan harga pangan,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira ketika dihubungi, Jumat (5/8/2022).
Artinya, kenaikan harga pangan sedikit saja akan berdampak memperbanyak lagi orang miskin yang bergabung ke kemiskinan ekstrem. Apalagi, selama hampir tiga tahun menghadapi pandemi Covid-19 terjadi tekanan besar terhadap pendapatan 40 persen kelompok pengeluaran terbawah.
Baca juga: Wajah Kemiskinan Pulau Jawa di Masa Pandemi
Hal ini terbukti dari rasio Gini yang masih bertahan di angka 0,384 per Maret 2022. Artinya, Bhima menuturkan, kecepatan pemulihan orang dengan penghasilan tinggi dibanding orang miskin semakin jauh. Letak masalahnya bukan hanya harga barang naik, tetapi juga ketersediaan lapangan kerja.
Menurut Bhima untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem secara signifikan juga butuh percepatan dalam masalah sanitasi, penanggulangan gizi buruk, akses kesehatan, hingga akses pendidikan. Hal ini semua menyangkut masalah fundamental.
Baca juga: Wapres: Pemerintah Terus Berupaya agar Kemiskinan Ekstrem Nihil pada 2024
Sementara itu, di sisi lain, ada keterbatasan anggaran. “Jadi, sepertinya, target angka kemiskinan ekstrem nol persen harus direvisi. Menahan angka kemiskinan ekstrem (agar jangan) naik, itu sudah prestasi untuk konteks saat ini,” kata Bhima.
Jadi, sepertinya, target angka kemiskinan ekstrem nol persen harus direvisi. Menahan angka kemiskinan ekstrem (agar jangan) naik, itu sudah prestasi untuk konteks saat ini.
Sebelumnya, pada Rabu (3/8/2022), Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin Rapat Pleno Khusus Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tentang Pelaksanaan Inpres Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem digelar di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 6, Jakarta Pusat.
Saat menyampaikan keterangan kepada pers seusai rapat pleno tersebut, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto menuturkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia di awal pandemi Covid-19 sebesar 9,7 persen dan saat ini turun di angka 9,54 persen.
“Jadi, sudah ada perbaikan. Kemudian kemiskinan ekstrem di tahun 2021 ada 2,14 persen dan di bulan Maret 2022 turun ke 2,04 persen, jumlah orangnya sekitar 5,59 juta orang. Jadi, dengan program yang dilakukan dan perlinsos (perlindungan sosial), ini kelihatan sudah ada perbaikan,” kata Menko Airlangga.
Kemiskinan ekstrem di tahun 2021 ada 2,14 persen dan di bulan Maret 2022 turun ke 2,04 persen, jumlah orangnya sekitar 5,59 juta orang. Jadi, dengan program yang dilakukan dan perlinsos (perlindungan sosial), ini kelihatan sudah ada perbaikan.
Angka kemiskinan ekstrem yang disebutkan Airlangga ini tentu menarik dicermati karena menyebutkan jumlah orang miskin ekstrem pada Maret 2022 sekitar 5,59 juta orang atau 2,04 persen. Besarannya “hanya” sekitar separuh dari data jumlah orang miskin ekstrem pada tahun 2021 yang kerap dipublikasikan sebelumnya, yakni 10,86 juta jiwa atau sekitar 4 persen.
Secara terpisah, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wapres Suprayoga Hadi kepada Kompas, Kamis (4/8/2022) petang menuturkan bahwa sebelumnya Kepala BPS telah memaparkan tentang perubahan angka kemiskinan ekstrem berdasarkan perubahan atau konversi harga. Dipaparkan bahwa batasan atau garis kemiskinan ekstrem tetap menggunakan garis kemiskinan global yaitu 1,9 dollar AS ppp (purchasing power parity) per kapita per hari.
“Nah 1,9 dolar AS ppp itu jangan terus dikalikan sama kurs dolar sekarang. PPP itu sudah memperhatikan tingkat kondisi perekonomian. Inflasi dan segala macam itu sudah diperhitungkan sehingga pada saat sekarang ini kita kemudian mengalami penurunan angka konversinya, dari sebelumnya Rp 11.900 menjadi Rp 10.700. Sehingga, angka kemiskinan ekstrem setelah dikonversi ke bawah tadi, sekarang tidak 4 persen tapi menjadi 2,04 persen. Itu kondisi Maret 2022,” kata Suprayoga.
Baca juga: Tangani Kemiskinan Ekstrem Berbasis Data Mikro Tingkat Desa
Suprayoga menuturkan bahwa penghitungan secara global memang seperti itu dengan dasar penghitungan Bank Dunia. “Kalau ditanya feasible (dapat dilakukan) atau tidak (mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem di tahun 2024) selama 2-2,5 tahun ke depan, Insya Allah bisa. Apalagi sudah ada penurunan angka yang cukup signifikan menjadi 2,04 persen. Untuk menjadi nol persen berarti kita hanya menurunkan sekitar satu persen setahun,” katanya.
Kalau ditanya feasible (dapat dilakukan) atau tidak (mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem di tahun 2024) selama 2-2,5 tahun ke depan, Insya Allah bisa. Apalagi sudah ada penurunan angka yang cukup signifikan menjadi 2,04 persen. Untuk menjadi nol persen berarti kita hanya menurunkan sekitar satu persen setahun.
Efektivitas penyaluran bansos
Ketika ditanya soal efektivitas penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat miskin ekstrem selama ini, Suprayoga Hadi menuturkan bahwa hasil evaluasi oleh BPS melalui survei, yang diistilahkan dengan “Susenas mini” atau survei sosial ekonomi nasional mini beberapa waktu lalu, menunjukkan ternyata tinggi sekali exclusion error-nya. Artinya, banyak sekali orang miskin ekstrem yang tidak mendapat bansos padahal mereka mestinya memperoleh bansos.
Survei menunjukkan separuh lebih masyarakat miskin ekstrem ternyata tidak memperoleh bansos. “Bicara kemiskinan ekstrem ini, kan, kita bicara mengenai kerak yang istilahnya desil satu (10 persen terbawah). Ternyata begitu dibuka oleh BPS, lebih dari 53 persen exclusion error-nya, jadi malah tidak kena sasaran, istilahnya,” kata Suprayoga.
Baca juga: Kunjungi Jateng, Wapres Sampaikan Bantuan Tambahan bagi Warga Miskin
Data sebelumnya yang dibangun oleh TNP2K memiliki peringkat atau desil, setidaknya sampai desil empat, karena yang mendapatkan bantuan program keluarga harapan (PKH) atau sembako itu empat puluh persen terbawah. Namun tahun lalu, Suprayoga menuturkan, data yang digunakan adalah DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial) dari Kementerian Sosial yang tidak memakai peringkat atau desil-desil.
Bantuan sosial yang sifatnya reguler seperti PKH dan bantuan pangan non-tunai (BPNT) atau sembako memang tetap menggunakan DTKS. “Itu tidak diutak-atik karena terus terang itu by law, ada undang-undangnya, yakni UU 13/2011 tentang Penangangan Fakir Miskin. Jadi, untuk (penyaluran bansos reguler) itu kita pasti menggunakan DTKS,” kata Suprayoga.
Namun, dalam konteks penanganan kemiskinan ekstrem, selain intervensi yang sifatnya pengurangan beban – dalam artian berupa bansos perlindungan sosial – juga ada yang bersifat pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi ini tidak termuat di DTKS.
Baca juga: Akurasi Data Diprioritaskan untuk Hapus Kemiskinan Ekstrem
Jadi, akhirnya disepakati pada tahun 2022 ini, belajar dari pengalaman tahun lalu yang ternyata ada exclusion error tinggi dalam penyaluran bansos untuk orang miskin ekstrem, maka data yang digunakan adalah perluasan dari DTKS, yakni data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Basis data P3KE ini adalah data Pendataan Keluarga (PK) setiap tahun dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
“Data itu kemudian sudah diolah TNP2K, sudah dibuat berperingkat sehingga ada desilnya, dan sudah by name by address. (Hal ini) karena kita sudah harus menyasar pada desil satu, paling tidak, atau desil dua, paling maksimal, yang sudah jelas nama, alamat, dan kondisi kesejahteraannya. Jadi, kita batasi di dua desil itu saja untuk (penanganan) kemiskinan ekstrem,” ujar Suprayoga.
Sebelumnya, Wapres Amin menuturkan bahwa pemanfaatan data P3KE yang memuat informasi nama, alamat, nomor induk kependudukan (NIK), sosial ekonomi keluarga yang relatif baru, dan juga peringkat kesejahteraan keluarga tersebut melengkapi DTKS. “Dan, sekaligus meningkatkan akurasi penyasaran program untuk menjangkau keluarga miskin ekstrem yang belum mendapat program, yaitu yang exclusion error,” kata Wapres yang juga ketua TNP2K.
Kelompok exclusion error tersebut, menurut Wapres Amin, sedapat mungkin mendapatkan alokasi tambahan dari Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan juga Kementerian Agama.
Baca juga: Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Butuh Orkestrasi Kebijakan
Pada sesi konferensi pers seusai rapat pleno Wapres Amin menuturkan bahwa semua yang berhak mendapatkan bansos diusahakan untuk memperolehnya. Nantinya akan dilakukan integrasi data dari BPS dengan data DTKS dari Kementerian Sosial, data dari BKKBN, dan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
“(Data-data ini) diintegrasikan sehingga semuanya ini kemudian disatukan menjadi satu data yang diharapkan itu sudah bisa memenuhi. Andaikata nanti ada yang tertinggal itu masih akan ada validasi lagi, perbaikan lagi, menyusul lagi. Itu barangkali. Oleh karena itu kita libatkan juga nanti pemerintah daerah”
“(Data-data ini) diintegrasikan sehingga semuanya ini kemudian disatukan menjadi satu data yang diharapkan itu sudah bisa memenuhi. Andaikata nanti ada yang tertinggal itu masih akan ada validasi lagi, perbaikan lagi, menyusul lagi. Itu barangkali. Oleh karena itu kita libatkan juga nanti pemerintah daerah,” kata Wapres Amin.
Senada, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menuturkan bahwa P3KE adalah data final dari triangulasi atau pemutakhiran melalui penyortiran data-data yang ada; yakni data survei BPS, DTKS yang ada di Kemensos, data keluarga dari BKKBN, dan data SDGs Desa dari Kemendes PDTT. “Jadi, paling tidak ada 4 (data). Nanti ada tambahan dari Kementerian Kesehatan, dari kementerian-kementerian di bawah Menko Ekonomi. Nanti akan kita kompilasikan, kita cross (silangkan) di situ, untuk memastikan siapa yang betul-betul menjadi target grup,” katanya.
Seandainya nanti ada yang belum memiliki NIK, menurut Muhadjir, proses ini justru menjadi kesempatan untuk memastikan warga miskin ekstrem yang selama ini tidak mendapat bansos – padahal seharusnya mendapat bansos – untuk dapat memperolehnya.
Memberikan hak kepada yang berhak memang harus selalu menjadi pegangan. Apalagi, hingga saat ini masih ada jutaan warga miskin ekstrem di Tanah Air yang mesti dimerdekakan agar terangkat dari kerak kemiskinan.