Kicau Jenaka Penangkal Intoleransi
Kemunculan akun-akun Twitter agama garis lucu adalah respons terhadap menguatnya isu intoleransi yang terus diembuskan di media sosial. Akun tersebut membawa semangat menangkal intoleransi.
”Masa liburan memang paling enak di Bali, karena bisa tidur nyenyak sampai siang tanpa diganggu @NUgarislucu saat subuh-subuh. Rekomendasi makan yang pedas-pedas di mana Bli @GlHindu dan @BuddhisGL,” cuit akun @KatolikG pada 8 Juli 2022. Cuitan itu kemudian dibalas oleh akun @NUgarislucu, ”Itu Bli @GlHindu biasanya pagi-pagi sudah pujian di Pura”, diikuti emoticon tertawa. Unggahan itu disukai oleh 107 pengguna Twitter.
Kicauan dari akun @KatolikG itu seolah biasa saja jika diucapkan di dunia nyata. Namun, jika diucapkan di media sosial, bisa saja menyinggung ritual agama tertentu. Unggahan sederhana seperti itu juga bisa memancing warganet untuk berkomentar pedas.
Sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta tahun 2017, politik identitas seolah menjadi komoditas untuk menarik simpati masyarakat. Berbagai ujaran kebencian, misinformasi, dan disinformasi berseliweran di media sosial. Tak jarang, unggahan di media sosial itu mengandung pesan sensitif yang menyulut intoleransi dan perpecahan.
Padahal, budaya majemuk masyarakat Indonesia dengan falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika meniscayakan persatuan dan toleransi. Jika terus didiamkan, ujaran kebencian yang diunggah bebas di media sosial itu bisa menjadi bumerang yang mengoyak tenun toleransi kebangsaan.
Apalagi, kesadaran untuk bermedia sosial dengan bijak masih rendah. Ini membuat masyarakat rawan terpolarisasi. Sebab, algoritma media sosial membuat seseorang terjebak dalam ruang gemanya (echo chamber) sendiri-sendiri.
Keresahan inilah yang menggerakkan admin Twitter @NUgarislucu, @KatolikG, dan @BuddhisGL untuk menangkis sikap intoleran. Akun-akun garis lucu ini kerap berinteraksi dan membicarakan perbedaan mereka masing-masing dengan nada yang ringan dan menghibur pengguna Twitter lainnya. Sejatinya, akun itu menjadi kontra-narasi, tandingan, atau perlawanan terhadap sikap intoleran yang kian mengkhawatirkan.
Gus NU, nama samaran untuk akun Twitter @NUgarislucu, saat diskusi acara ”Berkomedi dalam Toleransi” yang diadakan Komnas HAM, Rabu (27/7/2022), mengatakan, setiap kali ada kontestasi politik atau gejolak sosial antaragama, organisasi masyarakat, dan partai politik, percakapan di medsos selalu panas. Sebelum akun @NUgarislucu dibuat pada tahun 2015, mereka belum menemukan formulasi yang tepat untuk mencairkan percakapan di medsos yang pengap itu. Gus NU kemudian teringat dengan suasana ngobrol di kampung halaman yang tak pernah membedakan latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ruang perjumpaan nyata di masyarakat justru lebih toleran dibandingkan di medsos.
”Akhirnya ketemu juga formula yang cocok, yaitu menanggapi isu intoleransi yang liar dengan guyonan. Kami sadar bahwa masyarakat Indonesia lebih suka guyonan daripada pertikaian. Dan, kami mulai rutin melempar jokes-jokes di Twitter,” kata Gus NU.
Hal senada diungkapkan oleh Minka, akun Twitter @KatolikG. Minka mengungkapkan, lahirnya akun Twitter Katolik Garis Lucu karena terinspirasi dari NU Garis Lucu. Semangat yang ingin diusung adalah menyuarakan bahwa beragama itu menggembirakan dan tidak boleh baperan (bawa perasaan). Isu agama bisa menjadi suatu hal yang menegangkan karena tercemar oleh agenda politik identitas.
”Hadirnya NU Garis Lucu itu sebenarnya realitas dari guyonan sehari-hari. Kami kalau berkumpul dengan orang NU, Muhammadiyah bisa guyonan santai tanpa ada baperan atau ketersinggungan. Ini yang coba kami gaungkan di medsos,” ujar Minka.
Minka menyebut penyakit laten orang beragama yang bisa memicu sikap intoleransi adalah ketika mereka merasa ego besar. Ego itu memunculkan perasaan merasa paling benar sendiri sehingga semua orang harus mengikuti kebenaran yang dia percayai itu. Padahal, beragama tak boleh memaksakan keyakinannya terhadap orang lain. Cukup dengan mengimani di dalam hati dan menghargai keyakinan orang lain.
”Sebagai kelompok agama minoritas, kami juga membawa semangat agar tidak merasa kerdil atau inferior di depan komunitas lain. Agama menghadirkan iman yang manusiawi. Oleh karena itu, di medsos ataupun realitas, kami bisa hadir dan bercanda bersama,” ujar Minka.
Om Budd, atau nama samaran untuk admin @BuddhisGL, juga menyebut bahwa kehadiran Buddha Garis Lucu terinspirasi oleh NU Garis Lucu. Setelah lahirnya akun @NUgarislucu pada 2015, memang kemudian muncul akun lain seperti Buddhis Garis Lucu, Protestan Garis Lucu, China Garis Lucu, dan Madura Garis Lucu. Mereka kemudian bergabung dalam satu komunitas besar bernama ”garis lucu universe”. Semangat yang ingin digaungkan oleh akun ini adalah mengajak bangsa Indonesia untuk lebih toleran dalam beragama. Beragama harus dijalani dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak boleh terlalu serius dan tegang sehingga mudah tersinggung.
”Kami ingin mengajak bangsa Indonesia untuk sama-sama beragama, jalani sungguh-sungguh, tetapi tidak harus serius, boleh tertawa, boleh bercanda dengan agama lain,” kata Om Bud.
Kebebasan berekspresi
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, kemunculan akun agama garis lucu merupakan bagian dari hak kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berekspresi yang dilindungi dan harus dihormati oleh warga negara lain. Kebebasan berkeyakinan dan berekspresi adalah hak konstitusional warga yang dilindungi oleh konstitusi. Oleh karena itu, ekspresi yang disampaikan akun-akun Twitter itu harus dijaga dan dirayakan. Lebih baik ekspresi itu disikapi dengan cara yang satire.
”Dunia ini sudah susah, kalau apa-apa kemudian dipandang serius lama-lama bisa menjadi gila. Lucu-lucu adalah bagian dari budaya kita,” terang Beka.
Meskipun demikian, kemunculan akun agama garis lucu ini juga mendapatkan tandingan dari akun lain yang lebih serius, yaitu garis lurus. Hal itu dianggap bagian dari diskursus di iklim demokrasi. Dia berharap isu atau wacana yang dilempar di medsos itu tidak bertendensi ke hal-hal yang terlalu sensitif. Sebab, jika itu dilakukan, bisa dianggap menistakan atau melecehkan agama lain. Walaupun sifatnya cuitan satir atau humor, harus diperhatikan batasan amannya.
”Jika dikelola dengan baik, diskursus mengenai toleransi dengan medium guyonan-guyonan lucu ini bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga bisa menangkal isu intoleransi yang kian meresahkan,” kata Beka.
Untuk melindungi hak-hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi itu, Komnas HAM juga sudah memiliki Standar Norma Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. SNP dikeluarkan pada akhir Januari 2022 sebagai respons Komnas HAM atas masifnya fenomena pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di masyarakat. SNP diharapkan menjadi pedoman bagi aparat negara, individu, kelompok masyarakat, serta aktor non-negara untuk menghindari tindakan yang membatasi hak.
Sejumlah poin penting yang dimuat dalam SNP adalah pidato dan ekspresi politik, ekspresi keagamaan, ekspresi seni, ekspresi simbolis, hak atas perlindungan data pribadi, kebebasan pers, hak atas internet, hak atas informasi dan informasi publik, kebebasan akademik, serta hak-hak atas keistimewaan.
SNP itu merupakan standar norma ketujuh yang disahkan oleh Komnas HAM sejak tahun 2018. SNP lainnya adalah SNP tentang Penghapusan Diskriminasi dan Etnis (PDRE), SNP tentang Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi, SNP tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, SNP tentang Hak atas Kesehatan, SNP tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, SNP tentang HAM atas Tanah dan Sumber Daya Alam, serta SNP tentang Pembela HAM.
Pesan satire
Beka menjelaskan, akun Twitter agama garis lucu harus mencontoh sikap Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang selalu mampu mengontekskan masalah sensitif agama dengan jalan humor. Jika mampu menirunya, akun itu tentu bisa menjadi pencair suasana di tengah runcingnya perbedaan di medsos yang kerap meresahkan.
Negara juga memiliki kewenangan untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat itu karena merupakan hak konstitusional yang harus dihormati dan dilindungi. Beka berharap masyarakat Indonesia bisa makin cerdas. Perbedaan pendapat seharusnya tidak disikapi dengan penegakan hukum yang subversif.
Terkait dengan fenomena pesan satire di media sosial ini, Dyan Rahmiati dalam artikelnya, ”Satire Politik dalam Lagu, Andai Ku Gayus Tambunan”, di Jurnal Ilmu Komunikasi yang dipublikasi 1 April 2011 menyebutkan, gaya pesan satire dalam suatu karya mampu memberi teguran sarat kritik dengan sisipan kemasan humor agar lebih mengena kepada audiens. Tampilan humor justru digunakan untuk memberikan tekanan terhadap obyek yang sedang dikritik. Mengajak orang lain untuk menertawakan apa yang sedang dikritik.
Oleh karena itu, pesan dengan gaya humor satire justru bisa menjadi senjata menjatuhkan, mengena bagi obyek pesan, tetapi mampu menghibur orang lain yang membaca pesan. Kondisi ini lebih ampuh diterapkan di negara yang belum siap menerima kritik secara vulgar untuk isu-isu sensitif, seperti isu agama.