Koalisi LSM Desak Polri Transparan Tangani Kasus Brigadir J
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta agar berbagai fakta hukum yang terjadi dalam insiden penembakan Brigadir J untuk dibuka. Penanganan dan pengungkapan kasus jadi pertaruhan bagi Polri.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri diminta untuk transparan dalam proses penanganan kasus tewasnya Brigadir J. Hal ini menjadi pertaruhan bagi Polri untuk bisa meraih kembali kepercayaan masyarakat.
Reformasi Polri 1998 mensyaratkan perlunya penghormatan pada prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. ”Ada persoalan kultural tubuh Polri kita lihat di kasus Brigadir J, masalah transparansi jadi indikator, seperti kasus ini,” kata Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam jumpa pers yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Kamis (28/7/2022).
Selain PBHI, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi yakni Imparsial, Human Rights Watch Group (HRW), Kontras, ICW, YLBHI, Indonesia Choice for Justice Reform (ICJR), Setara Institute, LBH Pers, Elsam, dan Walhi. Mereka menggarisbawahi proses hukum terhadap kasus ini perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel. Berbagai fakta hukum yang terjadi perlu dibuka dengan terang benderang kepada masyarakat dan tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Siapa pun yang diduga terlibat dan juga menghalang-halangi penyelidikan kasus kematian ini secara akuntabel bisa kena jerat pidana, tidak hanya berhenti pada soal etik dan disiplin.
Proses penegakan hukum harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Julius mengatakan, dalam banyak kasus, pelaku dari Polri, saksi dari Polri, dan penyidik dari Polri telah sering terjadi. Ia menekankan, banyaknya versi yang beredar di masyarakat yang menyudutkan Polri akibat kurangnya transparansi dan akuntabilitas. ”Siapa tersangka dan korban, harus terang sejak awal,” kata Julius.
Direktur Indonesia Choice for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menekankan, dalam sebuah negara hukum, tidak boleh ada institusi yang merasa dirinya superpower. Erasmus juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas.
Direktur HRWG Daniel Awigra meminta Polri tidak hanya menyampaikan kronologi, tetapi juga transparan tentang aktor di balik kematian tersebut. Senada dengan Julius, Daniel menggarisbawahi kultur kekerasan yang terjadi di tubuh Polri. Ia bahkan menekankan agar reformasi Polri berlanjut terutama dalam mengatasi masalah-masalah internal, seperti kasus Brigadir J.
Dalam kerangka reformasi sektor keamanan tersebut, koalisi menilai institusi kepolisian sebagai bagian dari institusi penegakan hukum perlu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional, akuntabel, dan transparan. Dalam perjalanannya, proses reformasi kepolisian masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait dengan masih terjadinya penggunaan kekuatan dan penyalahgunaan kewenangan yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi-aksi kekerasan serta tindakan sewenang-wenang lainnya. Dalam beberapa kasus, beberapa praktik penyiksaan dan pelanggaran HAM lainnya masih terjadi.
Suasana menjelang otopsi jenazah Brigadir Nofriansyah di Tempat Pemakaman Umum Suka Makmur, Sungai Bahar, Muaro Jambi, Rabu (27/7/2022). Jenazah Nofriansyah mulai digali sekitar pukul 07.30.
Koalisi menilai beragam spekulasi dan kejanggalan yang berujung pada pertanyaan di publik dan keluarga korban terkait dengan kasus ini perlu dijawab secara transparan dan akuntabel oleh tim yang telah dibentuk oleh Polri. Kerja tim dalam menyelesaikan kasus ini akan menjadi perhatian serius oleh masyarakat sehingga pengawasan oleh masyarakat menjadi bagian elemen penting dalam menuntaskan kasus ini.
Lebih dari itu, peran-peran lembaga pengawasan eksternal, seperti Kompolnas dan Komnas HAM, perlu juga melakukan pengawasan yang efektif terhadap kasus ini. Peran lembaga-lembaga eksternal itu perlu bekerja secara profesional dan penting untuk menjaga jarak di dalam melakukan pengawasannya demi terciptanya pengawasan yang independen dan akuntabel.
Khusus penggunaan kekuatan senjata api oleh kepolisian, koalisi menilai hal itu jadi masalah serius lain yang perlu dibenahi dalam institusi kepolisian. Aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.
Terdapat tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi, yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity), dan proporsional (proportionality). Kalaupun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan. Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.
Penggunaan senjata api jelas sebagian kecil dari problem kewenangan besar kepolisian yang minim pengawasan dan kontrol sehingga berujung pada pelanggaran HAM dan tindakan sewenang-wenang lainnya. Laporan dari Komnas HAM menunjukkan ada 71 tindakan kekerasan dan 39 tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yaitu 2020-2021. Data lain dari Kontras, pada Juni 2021 hingga Mei 2022, terdapat 31 kasus penyiksaan polisi. Rangkaian data itu menunjukkan bahwa tindakan sewenang-wenang kepolisian dari mulai penyiksaan sampai penggunaan kekerasan berlebih selalu berulang terjadi tanpa ada evaluasi serta penyelesaian kasus yang transparan dan akuntabel.
Koalisi menilai, masalah yang ada sistematik dan struktural. Oleh karena itu, mereka meminta Presiden dan DPR untuk menjadikan kasus ini sebagai catatan tersendiri bagi perlunya sebuah mekanisme akuntabilitas pemeriksaan yang efektif. Adanya konflik kepentingan dan wewenang mutlak penyidikan Polri menjadi alasan untuk memikirkan sebuah mekanisme khusus atau lembaga eksternal independen yang diberi kewenangan menyidik kasus seperti ini.
Koalisi mempertanyakan posisi dari Irjen Ferdy Sambo yang dalam Surat Perintah Kapolri Nomor Sprint/1583/2022 sebagai Kasatgassus Polri yang dengan jabatannya sangat mungkin memengaruhi proses pemeriksaan ulang yang sekarang sedang berjalan. Perbaikan di sektor perundangan jelas dibutuhkan, KUHAP dan aturan lain yang menyangkut pengawasan kewenangan kepolisian sudah tak lagi efektif, perlu politik hukum yang kuat untuk membenahi hal ini.
Lebih dari itu, reformasi kepolisian juga harus meliputi reformasi di level instrumental dan juga reformasi kultural. Reformasi kepolisian harus dapat menempatkan institusi kepolisian untuk dapat bekerja dalam koridor prinsip negara hukum yang menghormati prinsip due process of law. Penghormatan atas hak-hak asasi manusia dalam menangani masalah hukum yang terjadi penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi praktik kekerasan yang berlebihan. Reformasi kepolisian juga menuntut agar kepolisian dapat bekerja profesional, akuntabel, dan transparan. Dalam konteks itu, penuntasan kasus J adalah bagian dari ujian proses reformasi kepolisian itu sendiri.