Hingga saat ini, empat tersangka kasus Yayasan ACT tak ditahan. Langkah penahanan akan dibahas kembali setelah keempatnya diperiksa.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik pada Badan Reserse Kriminal Polri berencana memanggil para tersangka kasus dugaan penggelapan dana ataupun dugaan tindak pidana pencucian uang pada Yayasan Aksi Cepat Tanggap atau ACT, Jumat (29/7/2022) mendatang. Pemeriksaan menindaklanjuti penetapan empat tersangka dalam kasus ini.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Whisnu Hermawan Februanto, Selasa (26/7/2022), mengatakan, keempat tersangka dalam kasus Yayasan ACT direncanakan akan dipanggil pada Jumat mendatang. Pada kesempatan itu, mereka akan diperiksa pertama kali dengan status sebagai tersangka.
Menurut Whisnu, hingga saat ini keempat tersangka tersebut tidak ditahan. ”Nanti akan dibicarakan setelah (keempatnya) diperiksa,” kata Whisnu.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan menyampaikan, penyidik telah menetapkan empat tersangka dalam perkara dugaan penggelapan dana Yayasan ACT. Pertama adalah A yang pada saat itu menjabat sebagai pendiri, Ketua Pengurus atau Presiden Yayasan ACT 2005-2019, dan Ketua Pembina Yayasan ACT pada 2019-2022. Tersangka kedua adalah IK selaku Ketua Pengurus Yayasan ACT saat ini. Tersangka berikutnya adalah HH selaku Ketua Pengawas Yayasan ACT tahun 2019-2022. Terakhir adalah NIA selaku anggota pembina Yayasan ACT tahun 2019-2021 dan Ketua Pembina Yayasan ACT saat ini.
Ahmad mengatakan, keempat tersangka tersebut dijerat dengan pasal berlapis, yakni pasal dugaan tindak pidana penggelapan atau penggelapan dalam jabatan, dugaan pasal tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, serta tindak pidana yayasan. Penyidik juga menjerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang.
”Mens rea-nya adalah (tersangka A) mendirikan Yayasan ACT untuk menghimpun dana melalui berbagai bentuk donasi. Kemudian bersama dengan pendiri Yayasan ACT, pembina, pengawas, dan pengurus telah mendirikan (perusahaan) sekaligus duduk dalam direksi dan komisaris agar dapat memperoleh gaji serta fasilitas lainnya,” tutur Ahmad.
Pada 2020, dibuat peraturan untuk memotong dana donasi sebesar 20-30 persen. Demikian pula ketika mengikuti program dana bantuan dari Boeing atau Boeing Community Investment Fund terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610, dana dari Boeing tersebut diduga digunakan tidak sesuai peruntukannya.
Terkait dengan penetapan tersangka tersebut, penyidik akan melakukan penelitian dokumen yang telah diamankan, melengkapi administrasi penyidikan, serta melakukan gelar perkara penetapan tersangka. Selain itu, penyidik akan melakukan koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), akuntan publik, serta jaksa penuntut umum.
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Komisaris Besar Helfi Assegaf menambahkan, total dana yang diterima Yayasan ACT dari Boeing sekitar Rp 138 miliar. Kemudian, dari dana tersebut, yang digunakan untuk melaksanakan program yang telah dibuat oleh Yayasan ACT sekitar 103 miliar. Sementara sisanya sekitar Rp 34 miliar diduga digunakan tidak sesuai dengan peruntukan, antara lain untuk pengadaan truk, pembangunan Pesantren Peradaban di Tasikmalaya (Jawa Barat), koperasi syariah 212, serta gaji para pengurus.
”Sekarang sedang dilakukan rekapitulasi dan menjadi tindak lanjut kami untuk dilakukan audit pada Yayasan ACT. Selanjutnya, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk tracing aset dana-dana tersebut,” kata Helfi.
Terkait dengan indikasi aliran dana dari Yayasan ACT kepada teroris, ia menuturkan, pihaknya belum sampai ke soal itu Namun, penyidik akan melakukan pendalaman pada saat audit investigasi.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana membenarkan bahwa Jaksa Agung Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung telah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri. SPDP mengenai tindak pidana penggelapan, penggelapan dalam jabatan, atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik serta tindak pidana yayasan dan tindak pidana pencucian uang atas nama terlapor A dan terlapor IK.
SPDP tersebut, kata Ketut, diterbitkan oleh penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri tanggal 11 Juli 2022 dan diterima oleh Sekretariat Jampidum Kejagung pada 15 Juli 2022. ”Selanjutnya akan ditunjuk enam orang tim jaksa yang akan mempelajari berkas perkara yang diterima serta memberikan petunjuk lengkap atau tidaknya berkas perkara,” kata Ketut.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, dugaan penggelapan uang oleh oknum di Yayasan ACT dapat dilaporkan baik oleh penyumbang maupun masyarakat umum. Sebab, tindak pidana penggelapan bukanlah delik aduan.
”Maka, setiap orang yang mengetahui ada penggelapan uang mempunyai hak untuk melaporkan secara pidana penggelapan itu. Masyarakat, terutama yang bisa membuktikan sebagai penyumbang, selain bisa melapor secara pidana, juga bisa menggugat ganti rugi secara perdata,” tutur Fickar.
Di sisi lain, ia menilai langkah penyidik untuk menggandeng PPATK sudah tepat. Sebab, PPATK memiliki kewenangan untuk menyelidiki transaksi keuangan. Hasil penyelidikan tersebut dapat digunakan untuk melengkapi penyidikan yang dilakukan kepolisian.